web stats
Home » Bahaya Hasad dan Dengki dalam Pandangan Imam Ibnu Qudāmah

Bahaya Hasad dan Dengki dalam Pandangan Imam Ibnu Qudāmah

by Redaksi
0 comment

Oleh: Fajar Rachmadani, Lc. M. Hum., P.hD


kita akan bersama-sama mengkaji, mentadaburi, dan menyelami kata demi kata yang dituliskan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitabnya Mukhtashar Minhāj al-Qāṣidīn.

Kitab Mukhtashar Minhāj al-Qāṣidīn yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah ini merupakan sebuah rangkuman—sebagaimana namanya, mukhtashar berarti ringkasan—dari kitab aslinya yang berjudul Minhāj al-Qāṣidīn, karya guru beliau, yaitu Imam Ibnul Jauzi.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullāh wafat pada tahun 629 H. Beliau menyusun kitab ini sebagai bentuk ringkasan dari karya monumental gurunya. Adapun Imam Ibnul Jauzi sendiri adalah seorang ulama besar yang memiliki banyak karya, salah satunya adalah kitab Minhāj al-Qāṣidīn. Karena kitab tersebut sangat tebal—dalam beberapa versi cetakan bahkan mencapai 1.500 halaman—maka kemudian diringkas oleh muridnya, Imam Ibnu Qudamah, menjadi Mukhtashar Minhāj al-Qāṣidīn.

Imam Ibnul Jauzi wafat pada tahun 597 H. Kitab Minhāj al-Qāṣidīn yang beliau tulis merupakan bentuk syarḥ (penjelasan), sekaligus koreksi terhadap sejumlah riwayat dalam kitab yang sangat monumental sebelumnya, yaitu Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn karya Al-Imam Al-Ghazali, yang wafat pada tahun 505 H.

Kitab Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn merupakan karya besar yang hingga kini masih dipelajari di banyak pesantren dan lembaga pendidikan Islam. Namun, dalam kitab tersebut terdapat sejumlah riwayat yang dipandang perlu dikritisi dan dijelaskan kembali. Maka, Imam Ibnul Jauzi hadir dengan karya Minhāj al-Qāṣidīn, yang kemudian diringkas oleh muridnya menjadi Mukhtashar Minhāj al-Qāṣidīn.

Kitab ini, dalam salah satu versi cetaknya, terdiri dari sekitar 400 halaman. Imam Ibnu Qudamah membagi isi kitab ini ke dalam empat bagian besar, yaitu:

  1. Rub‘ul ‘Ibādāt: seperempat bagian yang membahas persoalan ibadah, seperti shalat dan ibadah lainnya.
  2. Rub‘ul ‘Ādāt: seperempat bagian yang membahas kebiasaan-kebiasaan manusia.
  3. Rub‘ul Muhlikāt: bagian yang membahas perkara-perkara yang bisa menghancurkan manusia.
  4. Rub‘ul Munjiyāt: bagian yang membahas hal-hal yang dapat menyelamatkan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Pada kesempatan malam hari ini, Bapak-Ibu yang dirahmati Allah, kita akan langsung masuk pada salah satu tema yang saya kira sangat relate atau relevan dengan kondisi kita saat ini. Mudah-mudahan kita tidak termasuk ke dalam golongan yang digambarkan dalam pembahasan ini oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullāh.

Adapun tema yang akan kita kaji adalah:

Bābun fil-Ḥiqdi wal-Ḥasad Bab tentang dengki dan iri hati. Ini adalah pembahasan tentang bahaya hasad dan dengki yang sangat merusak hati dan amal seorang hamba.

Penjelasan Imam Ibnu Qudamah Rahimahullāh

Qāl al-Mu’allif rahimahullāhu ta‘ālā wa nafa‘anā bi ‘ulūmihi fī dārayn — Imam Ibnu Qudamah berkata:

“Amā al-ḥiqdu fahuwa ghadabun yuqjam ‘alayhi ilā al-bāṭin.”

Artinya, dengki (al-ḥiqd) itu sejatinya adalah kemarahan yang ditekan hingga masuk ke dalam batin. Kata Imam Ibnu Qudamah, kemarahan itu ibarat api yang membara di dalam hati, namun tidak bisa diungkapkan karena seseorang merasa lemah atau tidak punya kesempatan untuk mengekspresikannya. Maka, kemarahan itu pun tersimpan dalam dada, terpendam di dalam batin, dan lama-lama mengendap menjadi kedengkian.

Jadi, menurut Imam Ibnu Qudamah, kedengkian adalah akibat dari kemarahan yang tidak tersalurkan. Pertanyaannya, apakah kemarahan itu harus diekspresikan? Ini menjadi refleksi. Orang Jawa, khususnya dari wilayah Yogyakarta, dikenal dengan sifatnya yang mampu kāẓimīn al-ghaiẓ — menahan amarah. Tapi tidak semua orang bisa demikian. Di wilayah lain, misalnya di bagian timur Jawa, ekspresi marah bisa langsung keluar dengan kata-kata kasar, lalu setelah itu selesai. Sedangkan sebagian lainnya memilih diam, namun menyimpan bara dalam hati.

Kembali ke penjelasan Imam Ibnu Qudamah: kedengkian adalah hasil dari kemarahan. Kemudian, beliau melanjutkan dengan menjelaskan bahwa salah satu ciri orang yang hatinya dipenuhi kedengkian adalah tidak senang melihat orang yang ia dengki. Ia merasa berat ketika harus berjumpa dengannya, bahkan cenderung ingin menghindar. Maka, al-ḥiqd (dengki) adalah buah dari amarah, dan al-ḥasad (iri) adalah buah dari kedengkian. Iri ini adalah ‘anak’ dari dengki.

Hadis tentang Bahaya Hasad

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwām raḍiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Dabba ilaykum da’ul-umam qablikum: al-ḥasadu wal-baghḍā’.”

Artinya: “Telah merambat kepada kalian penyakit umat-umat sebelum kalian: iri dan kebencian.”

Iri dan benci, kata Nabi, adalah penyakit lama yang sudah menjangkiti umat jauh sebelum umat Islam. Bahkan penyakit ini yang merusak kehidupan sosial dan ukhuwah.

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda pula:

“Lā tabāghāḍū, wa lā taḥāsadū, wa lā tadābarū, wa kūnū ‘ibādallāhi ikhwanā.”

Artinya: “Janganlah kalian saling membenci, jangan saling iri, jangan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Hasad Membakar Amal Kebaikan

Dalam hadis lainnya, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Innal-ḥasada ya’kulu al-ḥasanāti kamā ta’kulu an-nāru al-ḥaṭab.”

Artinya: “Sesungguhnya iri hati itu dapat memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu.”

Orang yang tampak saleh, memiliki banyak amal, tetapi hatinya kotor dengan dengki dan kebencian, maka amal-amalnya terancam hangus tak tersisa.

Kisah Sahabat yang Dijamin Surga

Imam Ibnu Qudamah kemudian mengutip sebuah hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bazzār dari sahabat Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu.

Suatu ketika, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bersama para sahabat. Beliau berkata:

“Akan datang kepada kalian seorang lelaki penghuni surga.”

Lalu datanglah seorang lelaki Anṣār yang tidak begitu terkenal. Ia datang dalam keadaan biasa saja, membawa sandal di tangan kirinya, sisa air wudunya masih menetes di jenggotnya. Ia salat, lalu pulang.

Keesokan harinya, Nabi mengatakan hal yang sama, dan yang datang adalah orang itu lagi. Tiga hari berturut-turut Nabi menyatakan bahwa lelaki itu adalah penghuni surga. Para sahabat tentu penasaran, amalan apa yang membuatnya mendapatkan jaminan surga?

Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ raḍiyallāhu ‘anhu lalu menyelidiki. Ia berpura-pura untuk bermalam di rumah lelaki tersebut selama tiga malam. Selama tiga malam itu, ia memperhatikan amal ibadah lelaki Anṣār itu. Hasilnya? Biasa saja. Tidak ada tahajud panjang, tidak banyak zikir, ibadahnya sangat standar.

Akhirnya, ia bertanya jujur kepada si lelaki Anṣār, “Apa sebenarnya amalanmu yang membuatmu sampai dijamin surga oleh Rasulullah?”

Lelaki itu menjawab dengan polos:

“Mā hiya illā mā ra’ayta. Lā ajidu fī nafsī ḥiqdan li aḥadin minal-muslimīn wa lā aḥsudahu ‘alā khayrin a‘tāhu Allāh.”

Artinya: “Amalanku tidak lain seperti yang engkau lihat. Aku tidak pernah menyimpan kebencian kepada sesama muslim, dan tidak pernah iri terhadap kebaikan yang Allah berikan kepada orang lain.”

Penutup: Kebersihan Hati adalah Kunci Surga

Inilah kunci dari jaminan surga yang diberikan oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada lelaki Anṣār tersebut: kebersihan hati.

Para ulama menjelaskan bahwa ibadah itu terbagi menjadi dua: ibadah zahir seperti salat, puasa, haji, zakat; dan ibadah batin seperti ikhlas, sabar, syukur, tidak dengki, tidak sombong, tidak membenci. Ibadah batin ini sering luput dari perhatian, padahal sangat menentukan nasib akhirat kita.

Maka tidak heran jika Imam Ibnu Qudamah dalam Mukhtaṣar Minhājul Qāṣidīn menekankan pentingnya tazkiyatun nufūs — penyucian jiwa, pembersihan hati dari penyakit seperti hasad dan ḥiqd. Inilah jihad batin yang harus terus kita upayakan.

beliau mengutip sebuah hadis qudsi. Allah berfirman dalam hadis qudsi:

“Al-ḥāsid ‘aduw ni‘matī.” “Orang yang hasad (dengki) adalah musuh terhadap nikmat-nikmat-Ku.”

Orang yang selalu hasad itu sejatinya murka terhadap takdir-Ku. Ia tidak menerima, bahkan tidak beriman kepada pembagian-Ku atas hamba-hamba-Ku. Orang yang hasad adalah orang yang tidak pernah rida terhadap keputusan-Ku. Na‘ūdzu billāh.

Hadis qudsi ini menginformasikan kepada kita, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibn Qudāmah, bahwa akar dari sifat dengki dan iri hati itu adalah ketidakridaan terhadap takdir Allah. Ini berbahaya. Maka sebagian ulama mengatakan bahwa rukun iman yang paling berat adalah iman kepada qada dan qadar. Kita dituntut untuk beriman dan rida terhadap semua yang telah Allah tetapkan.

Ketidakridaan itu akan melahirkan al-baghd (kebencian), yang kemudian melahirkan al-ḥiqd (kedengkian yang membara), dan akhirnya melahirkan al-ḥasad (iri dengki). Maka, biasanya — mohon maaf — orang yang hasad itu adalah orang yang kurang bersyukur. Mengapa? Karena pandangan hidupnya bukan kepada nikmat Allah yang ia miliki, tetapi kepada nikmat yang dimiliki orang lain. Ia jarang, atau bahkan tidak pernah, melihat kepada anugerah Allah yang telah diberikan kepada dirinya sendiri.

Coba kita renungkan sejenak. Pagi tadi kita bangun dalam keadaan sehat walafiat. Kalau tidak sehat, mungkin kita tidak sampai hadir di aula malam ini. Sebagian besar dari kita mungkin sudah makan — sarapan, makan siang, bahkan makan malam. Insyaallah, kita hadir malam ini dalam keadaan aman, tidak terancam. Kalaupun ada yang ditelepon pinjol atau debt collector, itu hal biasa — bukan ancaman nyata.

Apa sabda Nabi ﷺ? Kita tidak perlu menjadi “crazy rich” seperti selebriti-selebriti, cukup:

“Barang siapa yang bangun di pagi hari dalam keadaan sehat badannya, aman lingkungannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia dan isinya telah dikaruniakan kepadanya.”
(HR. al-Tirmidzi, dinilai hasan oleh al-Albani)

Masyaallah. Tidak perlu rumah mewah, tidak perlu kendaraan mahal. Yang penting: sehat, aman, dan ada makanan hari ini. Itu sudah cukup!

Saya pribadi, dua minggu yang lalu diuji oleh Allah dengan sakit ringan di telinga. Rasanya tidak nyaman. Alhamdulillah, setelah periksa ke dokter THT dan diberi obat, lima hari kemudian sembuh. Maka, nikmat kecil sekalipun — seperti bisa mendengar dengan baik — adalah karunia besar.

Jadi, orang yang hasad itu sesungguhnya sedang memprotes takdir Allah. Dia tidak rela dengan pembagian Allah. Saat kita merasa, “Kok enak ya si Fulan?” — maka berhati-hatilah. Mungkin telah terbersit hasad dalam hati kita. Padahal, kita tidak tahu kehidupan orang lain seperti apa. Itulah yang disebut sawang sinawang. Kelihatan enak, padahal bisa jadi tidak seperti yang tampak. Mungkin ia sedang dikejar debt collector, misalnya.

Kemudian, Imam Ibn Sīrīn, seorang tabi’in, berkata:

“Mā ḥasadtu aḥadan ‘alā shay’in min amri al-dunyā.” “Aku tidak pernah hasad kepada siapa pun hanya karena urusan dunia.”

Mengapa demikian? Kata beliau:

“Li’annahu in kāna min ahlil-jannah, fakaifa aḥsuduhu ‘alā shay’in wa huwa yadhhabu ilal-jannah? Wa in kāna min ahlin-nār, fakaifa aḥsuduhu ‘alā shay’in wa huwa yadhhabu ilan-nār?”
“Jika ia termasuk ahli surga, bagaimana mungkin aku hasad kepadanya? Dan jika ia termasuk ahli neraka, untuk apa aku iri kepadanya?”

Luar biasa! Ini cara pandang yang dalam. Hidup ini tidak layak untuk diisi dengan iri dan dengki.

Dikisahkan pula bahwa Iblis pernah berkata kepada Nabi Nuh ‘alaihis salām:

“Iyyāka wal-ḥasad.”
“Jauhilah hasad, karena itu adalah sifat yang membuatku menjadi seperti sekarang ini.”

Iblis menjadi terlaknat karena hasad kepada Nabi Ādam. Allah memerintahkannya untuk sujud, tetapi ia menolak karena merasa lebih baik — diciptakan dari api, sedangkan Ādam dari tanah. Padahal, logika iblis keliru. Tanah jauh lebih bernilai, apalagi di Jogja — harganya mahal!

Imam Ibn Qudāmah rahimahullah menjelaskan bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada saudaramu, maka ada dua kemungkinan sikap dalam diri kita:

  1. Engkau membenci nikmat itu dan berharap nikmat itu hilang darinya. Inilah yang disebut dengan hasad, dan itu tercela.
  2. Engkau tidak membenci nikmat tersebut, tidak menginginkannya lenyap, tetapi engkau juga ingin memiliki nikmat serupa. Ini disebut ghibṭah, dan itu manusiawi. Tidak masalah selama tidak disertai niat buruk.

Contoh: kita melihat tetangga diberi karunia keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Jika dalam hati kita muncul harapan, “Ya Allah, semoga keluargaku juga seperti itu,” maka itu tidak apa-apa. Tapi kalau muncul rasa tidak suka dan berharap mereka bercerai, itu adalah hasad.

Begitu juga ketika melihat anak orang lain saleh, pintar, hafizh Al-Qur’an — lalu kita ingin anak kita juga demikian, itu baik. Asal tidak disertai harapan agar anak orang lain gagal.

Jadi, selama tidak ada niat untuk menghilangkan nikmat orang lain, maka itu adalah ghibṭah, bukan ḥasad. Dan itu tidak akan membakar amal kita sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Al-ḥasadu ya’kulu al-ḥasanāti kamā ta’kulu al-nāru al-ḥaṭab.” “Hasad membakar amal kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar.” (HR. Abu Dawud) Beliau menyampaikan,


أَمْ أَنَّ النَّفْسَ قَدْ جُبِلَتْ عَلَىٰ حُبِّ الرِّفْعَةِ

“Sesungguhnya jiwa manusia itu memang diciptakan dengan kecenderungan untuk mencintai kedudukan yang tinggi.”

Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa manusia secara fitrah memiliki kecenderungan untuk mencintai penghormatan, ingin dipuji, disanjung, dan memperoleh kedudukan yang mulia. Tidak ada manusia yang bercita-cita menjadi bahan olok-olok atau hinaan. Semua dari kita ingin dihargai, ingin diterima, dan diakui.

Namun, yang berbahaya adalah ketika seseorang tidak ingin orang lain menyamai atau bahkan melebihi dirinya.
Contohnya tidak boleh ada yang lebih kaya darinya, tidak boleh ada yang lebih alim dari dirinya, tidak boleh ada yang paling sunnah selain kelompoknya.

Sikap seperti inilah yang menjadi awal mula penyakit hati seperti ḥasad dan ḥiqd. Manusiawi untuk ingin mendapatkan penghargaan, tapi menjadi berbahaya saat keinginan itu disertai dengan tidak rela melihat orang lain mendapatkannya juga.

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa orang yang seperti ini akan merasa tidak senang jika ada orang lain yang menyamai atau melebihi dirinya. Bahkan dia berharap orang tersebut jatuh atau kehilangan apa yang telah dicapai. Inilah cikal bakal sifat ḥasad dan ḥiqd.

Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah berkata:

ثَلَاثٌ لَا يَنْجُو مِنْهُنَّ أَحَدٌ

“Ada tiga hal yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun: su’uzhan (prasangka buruk), ṭiyarah (menganggap sial), dan ḥasad (iri dengki).”

Namun, Nabi ﷺ juga memberikan solusi:

  • Jika kamu berprasangka buruk, jangan bertindak berdasarkan prasangkamu.
  • Jika kamu terpengaruh oleh ṭiyarah (menganggap sial karena suatu tanda), tetaplah lanjutkan urusanmu.
  • Jika muncul perasaan iri, jangan dizalimi orang yang kamu iri itu.

Sebab, kezaliman akibat hasad sangat merusak. Misalnya, seseorang tidak suka jika kawannya menjadi pemimpin, lalu dia merusak nama baiknya dengan fitnah, framing, bahkan menggunakan teknologi seperti AI untuk menyebarkan informasi palsu.

Contoh dari Al-Qur’an, Bani Israil pernah meminta seorang pemimpin. Lalu Allah mengutus Thalut sebagai pemimpin mereka. Tapi mereka tidak terima karena Thalut bukan dari keturunan mereka dan tidak kaya. Mereka iri. Padahal Allah telah memberikan Thalut kelebihan dalam ilmu dan fisik.

Sifat hasad adalah sifat yang diwariskan dari ideologi Bani Israil — tidak suka melihat orang lain lebih baik.

Cara Mengobati Hasad

Ibnu Qudamah menyebutkan tiga langkah:

  1. Ridha terhadap takdir Allah (الرضا بالقضاء) Terimalah bahwa semua nikmat dan posisi yang kita miliki sudah ditetapkan oleh Allah. Jika kita belum mendapatkan sesuatu, mungkin itu cara Allah meringankan hisab kita kelak.
  2. Zuhud terhadap dunia Jangan terlalu mencintai dunia. Zuhud bukan berarti anti-kaya. Banyak sahabat Nabi ﷺ yang kaya raya seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam. Namun kekayaan mereka tidak merusak hati mereka.
    Nabi bersabda: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya manusia akan mencintaimu.”  Artinya, dunia cukup berada di tangan, jangan sampai masuk ke dalam hati.
  3. Sadar bahwa nikmat dunia akan dihisab Semua nikmat yang kita miliki akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Jadi, jika kita melihat orang lain mendapatkan kekayaan atau jabatan, jangan iri. Mungkin Allah sengaja tidak memberikannya kepada kita agar hisab kita lebih ringan.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00