web stats
Home » Tafsir Tarbawi Q.S Asy Syura ayat 19 -20: Antara Rezeki Dunia dan Keuntungan Akhirat

Tafsir Tarbawi Q.S Asy Syura ayat 19 -20: Antara Rezeki Dunia dan Keuntungan Akhirat

by Redaksi
0 comment

Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A. 

اَللّٰهُ لَطِيْفٌۢ بِعِبَادِهٖ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيْزُ ࣖ مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ

Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Siapa yang menghendaki balasan di akhirat, akan Kami tambahkan balasan itu baginya. Siapa yang menghendaki balasan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya (balasan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian sedikit pun di akhirat.

Al-Imam Ibnu Katsîr dalam tafsirnya menjelaskan:

“Yaqûlu Ta‘âlâ mukhbiran ‘an luthfihi bi khalqihi fî rizqihim, annahu yarzuquhum fî dârihim wa âkhiratihim, wa lâ yansâ ahadan minhum, sawâ’an fî rizqihi al-birra wa al-fâjira.”

Artinya, Allah Subḥânahu wa Ta‘âlâ mengabarkan kepada kita semua tentang kelembutan-Nya kepada para makhluk-Nya dalam urusan rezeki yang diberikan kepada mereka. Allah tidak melupakan siapa pun dalam hal rezeki, baik yang taat dan berbuat baik (al-birr) maupun yang durhaka dan berdosa (al-fâjir).

Sebagaimana firman Allah Subḥânahu wa Ta‘âlâ:

“Wa mâ min dâbbatin fi al-arḍi illâ ‘alâllâhi rizquhâ” (QS. Hûd: 6)

“Dan tidak ada satu pun makhluk melata di bumi melainkan rezekinya dijamin oleh Allah.”

Ikhwah fîllâh, arsyâdakumullâh.

Al-Imam Al-Qurṭubî menjelaskan lebih lanjut, menukil pendapat para salaf aṣ-ṣâlih tentang makna “Allâhu Laṭîfun bi ‘ibâdih”. Di antara riwayat tersebut:

  • Ikrimah mengatakan: “Barrun bihim”, maksudnya Allah Maha Baik kepada hamba-hamba-Nya.
  • Muqâtil menjelaskan bahwa Allah Maha Lembut dan Maha Baik, bahkan kepada orang-orang yang bermaksiat pun tidak dibiarkan mati kelaparan.
  • Al-Ḥusain Ibnul Faḍl menyatakan bahwa makna “laṭîfun bi ‘ibâdih” adalah kelembutan Allah dalam bentuk penurunan Al-Qur’an, penjelasan isi kandungannya, serta tafsirnya.

Ada pula penafsiran bahwa “laṭîfun bi ‘ibâdih” adalah “laṭîfun bi awliyâ’ih”, yakni bagaimana Allah Maha Lembut terhadap para wali-Nya, orang-orang yang teguh dalam ibadah hingga menjadi kekasih-Nya.

Semua penjelasan ini saling melengkapi dan tidak bertentangan, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Al-Qurṭubî maupun Ibnu Katsîr. Semuanya menggambarkan betapa Allah bersikap lemah lembut kepada hamba-Nya, baik yang kafir, apalagi yang mukmin, lebih-lebih kepada para wali-Nya.

Allah memberikan rezeki dalam berbagai bentuk, baik yang bersifat materi maupun nonmateri. Termasuk di dalamnya adalah rezeki berupa hidayah, petunjuk, dan kemampuan memahami Al-Qur’an. Ini semua adalah bentuk kelembutan dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Allah Subḥânahu wa Ta‘âlâ juga berfirman:

“Yarzuqu man yasya’” “Dia memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”

Ini sejalan dengan penjelasan Ibnu Katsîr, bahwa salah satu bentuk kelembutan Allah adalah memberikan rezeki kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan meluaskan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki:

“Yuwassi‘u ‘alâ man yasya’.”

Semua itu adalah faḍlullâh, karunia Allah, yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Apa yang kita miliki sejatinya adalah min karamillâh, dari kemurahan Allah Subḥânahu wa Ta‘âlâ. Maka yang sepatutnya kita lakukan adalah:

“Fakkir fî mâ ‘indak, wa lâ tufakkir fî mâ laisa ‘indaka.” “Pikirkan dan syukurilah apa yang ada di tanganmu, dan jangan berangan-angan terhadap apa yang belum Allah berikan kepadamu.”

Sebab, segala sesuatu yang kita miliki adalah karamullâh—karunia dari Allah. Sedangkan apa yang belum kita miliki adalah bentuk hikmah dari-Nya. Jika kita diberi sedikit, itu adalah pemberian Allah. Jika kita diberi banyak, itu adalah kemurahan Allah. Namun jika kita belum mendapatkan apa yang kita inginkan, yakinlah bahwa itu adalah ḥikmah—kebijaksanaan dari Allah Subḥânahu wa Ta‘âlâ.

Allah Maha Tahu, Allah Maha Bijaksana. Mungkin saja jika kita diberi rezeki yang banyak, justru kita lalai, terjerumus ke dalam maksiat, dan itu malah memperberat hisab kita. Banyak orang kaya yang akhirnya tidak bisa menikmati kekayaannya karena sakit-sakitan, berbagai pantangan, dan seterusnya.

Maka, lebih baik kita sehat dan bisa menikmati kehidupan meski sederhana, daripada kaya namun terjebak dalam kelalaian dan dosa. Semua ini adalah bentuk ḥikmatullâh yang tidak selalu kita pahami.

“Fakkir fî mâ ‘indak, wa lâ tufakkir fî mâ laisa ‘indaka.”

Itu akan membuat hidup kita bahagia. Karena bahagia itu bukan soal banyak atau sedikit, tapi soal bagaimana kita menyikapinya.

Ikhwah fîllâh, arsyâdakumullâh.

Allah Subḥânahu wa Ta‘âlâ menutup ayat tersebut dengan:

“Wa Huwa al-Qawiyyu al-‘Azîz.” “Dan Dia Mahakuat lagi Mahaperkasa.”

Ibnu ‘Āsyûr menjelaskan bahwa penyebutan sifat kuat dan perkasa di akhir ayat ini adalah sebagai bentuk pujian dan sekaligus penegasan bahwa kelembutan Allah bukan karena kelemahan, melainkan justru karena kekuatan dan keperkasaan-Nya.

Ini penting. Jangan sampai kita menyangka bahwa sikap lembut Allah, termasuk kepada orang-orang kafir dengan tetap memberi mereka rezeki, adalah karena kelemahan. Bukan. Allah bersamaan dengan sifat-Nya yang lembut, juga Mahakuat dan Mahaperkasa.

Dari sini kita bisa belajar, bahwa kita pun harus bersikap seimbang. Lembut di saat perlu lembut, tegas di saat perlu tegas. Bijak saat dibutuhkan, tapi juga berani menunjukkan kekuatan saat diperlukan, terutama ketika agama Allah dinistakan, ayat-ayat-Nya dihina, dan kaum muslimin diserang.

Satu hal yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya adalah bahwa pengakhiran ayat ini dengan “wa Huwal-‘Azīz, wa Huwal-Qawiyyul-‘Azīz” memberikan faedah penegasan kepada kita bahwa meskipun Allah Subhanahu wa Ta‘ala bersikap lembut, itu bukan berasal atau bermula dari kelemahan.

Kemudian, Allah berfirman: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, maka akan Kami tambahkan baginya keuntungan tersebut. Dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia, maka akan Kami berikan kepadanya sebagian darinya, tetapi tidak ada baginya di akhirat suatu bagian pun.” (Q.S. Asy-Syura: 20)

Dalam dua ayat ini terkandung prinsip-prinsip tarbiyah iqtisādiyyah (pendidikan ekonomi) yang sangat penting, namun sayangnya tidak banyak dibahas. Tarbiyah iqtisādiyyah merupakan pendidikan ekonomi atau finansial, yang hari ini masih sangat lemah diajarkan. Banyak sekolah yang menawarkan pendidikan kewirausahaan atau kemandirian ekonomi, tetapi melupakan pengajaran tentang konsep ekonomi yang benar—konsep kemerdekaan finansial yang harus diawali dari pola pikir (mindset) yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Di antara prinsip paling mendasar adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala yarzuqu mayyasyā’—Allah meluaskan dan memberikan rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Artinya, ar-rizqu maqsum—rezeki itu sudah ditentukan dan terbagi. Allah tidak akan mewafatkan seorang hamba hingga seluruh rezeki yang telah ditetapkan itu diberikan kepadanya. Rezeki yang sudah Allah tentukan itu tidak akan salah alamat, tidak akan tertukar.


Kalau rezeki kita hari ini Rp100.000, maka sebesar itulah yang akan kita dapatkan, meskipun kita bersusah payah atau bahkan melakukan kecurangan seperti mencuri atau korupsi. Jika jatah kita hari itu Rp100.000, maka tidak akan menjadi Rp110.000. Itulah makna yarzuqu mayyasyā’. Namun kita juga harus yakin bahwa Allāhu Laṭīfun bi ‘Ibādih—Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya dalam perkara rezeki. Sebagaimana firman-Nya: “Dan tidak ada satu pun makhluk melata di bumi melainkan rezekinya dijamin oleh Allah.” (Q.S. Hūd: 6)

Dari sini, kita tidak akan iri saat melihat orang lain mendapat anugerah, dan tidak akan dengki saat melihat orang lain memperoleh karunia lebih.

Prinsip kedua yang juga penting adalah bahwa siapa saja yang dengan amalnya mengharapkan keuntungan akhirat, maka Allah akan tambahkan baginya keuntungan itu.

Imam Al-Baghawi menjelaskan: “Barang siapa yang menginginkan keuntungan akhirat melalui amalnya, maka Allah akan tambahkan untuknya pahala berlipat-lipat; sepuluh kali, tujuh puluh kali, tujuh ratus kali, bahkan lebih, sesuai dengan kehendak Allah.”

Sebaliknya, bagi siapa yang menginginkan keuntungan dunia semata, maka Allah akan berikan kepadanya sebatas apa yang telah ditetapkan, dan tidak akan ada bagian baginya di akhirat.

Penjelasan dari Qatādah sebagaimana dinukil oleh Imam Al-Baghawi menyebutkan bahwa:
“Allah akan memberikan sesuai dengan kadar yang telah dibagikan untuknya.”

Hal ini selaras dengan hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:


“Barang siapa yang obsesinya adalah akhirat, maka Allah akan menjadikan kekayaan (rasa cukup) dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Tetapi barang siapa obsesinya adalah dunia, maka Allah akan menjadikan kemiskinan selalu terpampang di hadapannya, mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak akan datang kepadanya kecuali sebatas yang telah ditentukan.” (HR. Tirmidzi)

Begitu juga Hadist dari Dzait Bin Tsabit radhiallahu ‘anhu



 عن زيد بن ثابت -رضي الله عنه-، أنه سمع رسول الله ﷺ يقول : مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

Dari Zaid bin Tsabit _radhiallahu ‘anhu_, ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di kedua pelupuk matanya, padahal dia tidak akan mendapatkan dari dunia ini melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya.
Dan Barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utamanya) maka Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan rendah (tidak bernilai dihadapannya).” HR. Ibnu Majah (no. 4105), Imam Ahmad (5/183), ad-Darimi (no. 229) dan lainnya dengan sanad yg shahih.

Itulah konsep tarbiyah iqtisādiyyah yang sangat penting diajarkan—baik kepada diri kita, anak-anak kita, maupun murid-murid kita. Jika konsep ini tertanam kuat, insyaallah tidak akan ada yang saling menzalimi karena harta. Tidak akan ada saudara yang saling berebut warisan hingga bermusuhan, tidak akan ada yang mengurangi timbangan, mencuri, korupsi, apalagi merampok. Karena semua sadar: kita tidak akan bisa menikmati kecuali apa yang telah Allah takdirkan.

Namun, sangat disayangkan, banyak orang yang takut akan kemiskinan, padahal itu tidak akan membuatnya kaya. Kalaupun kaya, hanya sesaat. Setelah itu mungkin jatuh miskin, terpuruk, dan tidak memperoleh apa pun selain apa yang Allah takdirkan.

Kisah menarik tentang hal ini diceritakan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (atau dalam riwayat lain dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu), ketika beliau singgah di sebuah masjid dan meminta seorang anak kecil menjaga tunggangannya. Setelah selesai salat, beliau mendapati tali kekangnya telah hilang. Beliau memerintahkan pengawalnya mencari tali kekang itu di pasar, dan ternyata anak kecil tadi menjualnya seharga dua dirham.

Sungguh, Umar tidak menangisi dua dirhamnya. Yang beliau tangisi adalah kenyataan bahwa anak itu tetap mendapatkan dua dirham—tetapi dengan cara yang haram. Padahal, seandainya anak itu bersabar, Umar berniat memberinya dua dirham sebagai upah. Itulah pelajaran tentang rezeki yang sudah dijatah—tetapi jalan mendapatkannya tergantung pilihan kita: halal atau haram.

Saya masih ingat, dahulu guru kami di kampung Jatinom, almarhum Ustaz Sirajuddin Abbas, sering berpesan ketika kami masih di TPA: “Siapa yang menanam padi, insyaallah akan tumbuh rumput di sekitarnya. Tetapi siapa yang menanam rumput, belum tentu tumbuh rumput, apalagi padi.”
Padi diibaratkan sebagai akhirat, rumput sebagai dunia. Siapa yang mengejar akhirat, insyaallah dunia akan menyertainya. Tetapi siapa yang hanya mengejar dunia, akhirat akan hilang, dan dunia pun belum tentu diraih.

Saat ini banyak orang tua sangat khawatir kalau anaknya dapat nilai matematika 76. Tapi kalau anaknya tidak bisa membaca Al-Qur’an, biasa-biasa saja. Tidak bisa salat dengan benar? Tak jadi masalah. Tidak menutup aurat? Tidak dikhawatirkan. Yang dianggap ukuran keberhasilan adalah nilai-nilai duniawi, bukan ukuran akhirat.

Padahal, kalau kita menjadikan akhirat sebagai obsesi, dunia akan datang dalam keadaan tunduk. Tetapi kalau dunia yang jadi obsesi, maka kemiskinan akan selalu menghantui benak, dan kita tidak akan dapatkan selain apa yang Allah tetapkan.

Penutup ayat itu menegaskan: “Dan orang-orang seperti itu tidak akan mendapatkan bagian apa pun di akhirat.”

Kalau obsesi kita akhirat, belum tentu kita kaya, bisa jadi memang takdir kita miskin. Tapi miskin di dunia hanya sebentar. Di akhirat, kita akan memperoleh balasan besar, tak terhingga. Namun jika dunia yang menjadi tujuan, maka yang pasti: bagian di akhirat tidak akan kita miliki.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00