Dr. Saiful Bahri, Lc., M.A.
Insyaallah, kita akan melanjutkan kajian tentang tazkiyatun nafs—pensucian jiwa—berdasarkan pendapat para ulama, di antaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Ibnu Rajab Al-Hanbali. Pembahasan tentang ahwālun nafs—kondisi atau macam-macam jiwa.
Qāla al-mu’allif rahimahullāhu ta‘ālā: Ahwālun nafs wa muḥāsabatuhā—bermacam-macam kondisi jiwa dan proses muhasabah (evaluasi diri). Muhasabah adalah cara menghitung, menimbang, dan memposisikan diri secara benar dalam perjalanan menuju Allah.
Para sālikīn—yaitu orang-orang yang menempuh jalan untuk mendekat kepada Allah, atau dalam istilah modern disebut “pencari Tuhan”—memiliki beragam cara dalam mendekat kepada Allah. Namun, mendekat kepada Allah tidak bisa dilakukan secara sembarangan karena telah ada syariat yang mengaturnya. Tidak bisa seseorang tiba-tiba bertapa tengah malam di atas genting rumah dan mengklaim sedang mendekat kepada Allah, karena hal itu bukan bagian dari syariat. Mendekat kepada Allah harus melalui jalan yang ditetapkan, baik melalui ibadah mahdhah (seperti salat, puasa) maupun ibadah ghairu mahdhah (seperti amal sosial dan lainnya).
Para pencari Tuhan sepakat bahwa nafs (jiwa) menjadi pemisah antara hati (qalb) dan kedekatan (wuṣūl) kepada Allah. Qalb sudah kita bahas sebelumnya—ia bisa diartikan sebagai jantung secara fisik, namun dalam konteks spiritual, qalb adalah pusat kesadaran rohani. Kedekatan kepada Allah (wuṣūl ilā Allah) tidak berarti kita benar-benar “sampai” secara fisik, tetapi maksudnya adalah pencapaian derajat tertentu di sisi Allah.
Nah, tidak ada jalan lain untuk mendekat kepada Allah kecuali dengan cara īmātatun nafs (mematikan hawa nafsu), atau lebih tepatnya, dengan daf‘u bihā (mengalahkan hawa nafsu). Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat mengenai istilah “mematikan hawa nafsu”, karena secara hakikat manusia tidak mungkin sepenuhnya kehilangan nafsu. Yang benar adalah menundukkan dan mengendalikannya.
Sebelum masuk ke pembagian nafs, saya ingin sampaikan: kenapa kita membicarakan nafs dan qalb?
Kata nafs di sini bukan berarti “nyawa” seperti dalam ayat kullu nafsin dzā’iqatul mawt (setiap jiwa akan merasakan kematian), tapi nafs sebagai dorongan, keinginan yang bersumber dari hati. Kemarin kita sudah bahas tentang zuhud, dan sekarang kita memahami bahwa nafs seringkali diartikan sebagai keinginan manusia. Dalam QS. Ali Imran disebutkan: zuyyina linnāsi ḥubbusy-syahawāt, artinya nafsu berkaitan erat dengan syahwat atau keinginan terhadap kenikmatan dunia.
Nafsu terbagi dua:
- Orang yang dikuasai oleh hawa nafsunya. Ia menjadi tunduk, dikendalikan oleh keinginan nafsu. Maka ia menjadi budak hawa nafsu.
- Orang yang menguasai hawa nafsunya. Ia menundukkan nafsunya, mengendalikannya sehingga hawa nafsu tunduk terhadap perintah dirinya. Inilah orang yang berjalan di jalan Allah dengan benar.
Menurut sebagian ‘ārifīn (orang-orang yang memiliki makrifat kepada Allah), perjalanan menuju Allah akan berakhir ketika seseorang berhasil menundukkan hawa nafsunya. Masyaallah, ini perkataan yang luar biasa. Artinya, selama nafsu masih menguasai diri, perjalanan belum selesai. Perjalanan menuju Allah tidak bisa dibandingkan dengan para nabi yang telah dipilih dan dimuliakan oleh Allah, sebab nafsu mereka sudah tunduk dengan sendirinya oleh taufik dari Allah.
Kenapa perjalanan menuju Allah selesai dengan tunduknya hawa nafsu?
Karena seluruh persaingan dunia akan berakhir dengan kematian: persaingan akademik, bisnis, jabatan, dan popularitas. Semua itu selesai ketika seseorang wafat. Namun, perlombaan menuju Allah tidak berakhir dengan kematian. Justru, kematian adalah gerbang untuk menuju perjumpaan dengan Allah.
Bagi orang beriman, kematian bukan akhir dari pahala. Pahala terus mengalir melalui tiga perkara yang disebut dalam hadis Rasulullah saw., yakni: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.
Wa nafsin wa mā sawwāhā—nafsu yang tidak dikendalikan akan membawa kerugian. Aflaha man zakkāhā—beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya. Wa qad khāba man dassāhā—rugi dan celakalah orang yang mengotori jiwanya.
Allah SWT berfirman (QS. An-Nazi‘at: 37–41):
Wa ammā man ṭaghā, wa ātsaral-ḥayātid-dunyā, fa-innal-jaḥīma hiya al-ma’wā.
Orang yang melampaui batas dan lebih mencintai dunia, maka tempatnya adalah neraka.
Wa ammā man khāfa maqāma rabbihi wa naha an-nafsa ‘anil hawā, fa-innal-jannata hiya al-ma’wā.
Sedangkan orang yang takut akan kedudukan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka surgalah tempat tinggalnya.
Surat Ali Imran ayat 14 menyebutkan:Zuyyina lin-nāsi ḥubbusy-syahawāti minan-nisā’ wal-banīn…
Kecintaan terhadap syahwat adalah fitrah manusia—terhadap perempuan, anak-anak, harta, perhiasan, kendaraan, dan seterusnya. Itu tidak tercela selama berada dalam koridor syariat.
Seorang laki-laki mencintai perempuan, dan sebaliknya, adalah wajar. Perempuan pun suka berdandan, itu bagian dari fitrahnya. Namun, syahwat menjadi tercela jika dilampiaskan di luar batas syariat.
Misalnya: mencintai harta itu sah-sah saja. Namun jika cinta harta membuat seseorang melampaui batas—menipu, mencuri, korupsi—maka ia telah melanggar batas syariat dan disebut ṭaghā.
Lihatlah bagaimana sahabat-sahabat Rasulullah saw. memosisikan harta mereka:
- Utsman bin Affan menyerahkan 600 unta lengkap dengan perlengkapannya untuk perang Tabuk.
- Abdurrahman bin Auf menyedekahkan seluruh piutang yang dimiliki.
- Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli dan memerdekakan budak, yang saat itu senilai 10 unta—setara dengan setengah miliar rupiah jika dikonversi hari ini.
Itu menunjukkan bahwa harta hanya di tangan mereka, tidak sampai ke hati. Mereka adalah orang-orang yang menundukkan dunia, bukan ditundukkan olehnya.
Bagaimana, Ustaz, kalau orang tidak punya harta? Kita lihat para sahabat Rasulullah ﷺ yang juga tidak memiliki harta, seperti Abu Hurairah. Beliau mewakafkan seluruh dirinya untuk mengikuti ke mana pun Rasulullah ﷺ pergi. Apa pun yang Rasulullah ﷺ katakan, lakukan, dan hal-hal yang terjadi di sekitarnya, semuanya diingat dan dihafal oleh Abu Hurairah. Mengapa? Karena beliau tidak memiliki harta, tidak punya keluarga, bahkan tidurnya di emperan Masjid Nabawi. Maka dari itu, beliau disebut sebagai Ahlus Shuffah—kelompok sahabat yang hidup sederhana dan menetap di serambi masjid.
Abu Hurairah hanya membersamai Rasulullah ﷺ selama empat tahun, tetapi dari beliaulah kita mendapatkan ribuan hadis yang menjadi pedoman hidup hingga hari ini.
Ada juga sahabat lain pada masa pembangunan masjid. Ketika yang lain membawa kurma, air, batu, dan pasir, ada sahabat yang datang hanya membawa dirinya sendiri. Ia berkata, “Ya Rasulullah, saya tidak punya apa-apa, tetapi Allah memberi saya badan yang sehat. Perintahkan saya.” Mungkin dia bukan seorang arsitek, bukan ahli bangunan, dan tidak punya harta, tetapi dia menawarkan dirinya. Maka ia berjihad dengan tenaganya.
Dari sini kita belajar, dengan apa pun yang kita miliki—meskipun sangat terbatas—kita tetap bisa berkontribusi asalkan kita memiliki pola pikir kontributif.
Bapak-Ibu hadirin yang dirahmati Allah,
Dalam surah An-Nazi’at disebutkan:
“Wa amma man thagha…” “Adapun orang yang melampaui batas…”
Siapa contoh nyata dari “thagha”? Fir’aun. Ia diberi kekuasaan, tetapi menggunakannya untuk menindas. Mengapa? Karena ia tidak takut kepada kedudukan Tuhan.
Orang-orang yang takut kepada maqam (kedudukan) Allah akan mampu menahan hawa nafsunya. Karena sesungguhnya nafsu itu selalu mengajak kepada “thugyan” (melampaui batas).
Bagaimana cara membedakan keinginan normal dengan hawa nafsu? Jika sudah pada titik ketagihan—terhadap apa pun itu, baik urusan dunia maupun akhirat—maka perlu dilihat maslahatnya. Rasulullah ﷺ sendiri menyukai sikap yang moderat (tawazun).
Ada sahabat yang dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ karena terlalu ekstrem: salat malam terus, tidak tidur, puasa terus, tidak pernah berbuka, bahkan tidak ingin menikah. Maka Rasulullah ﷺ menegurnya, “Aku salat malam dan aku juga tidur. Aku puasa dan aku juga berbuka. Dan aku menikahi perempuan.”
Apa maknanya? Dalam hidup ini, diperlukan keseimbangan.
Bapak-Ibu hadirin yang dirahmati Allah,
Kalau kita hanya tidur terus, tidak pernah salat malam. Ramadan pun tidak puasa. Itulah yang disebut “thagha”—melampaui batas. Kita diberi aturan, tapi kita memilih bagian minimalis dari kebaikan.
Pernah ada sahabat yang bertanya, “Ya Rasulullah, kalau aku hanya melakukan yang wajib, meninggalkan yang haram, tidak aku tambah dan tidak aku kurangi, apakah aku masuk surga?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Iya.”
Itulah standar minimal. Namun, untuk menopang amalan wajib yang seringkali “bolong-bolong”, Allah beri kita amalan sunah. Para ulama menyebutnya sebagai nawafil—amalan tambahan yang menjadi penambal kekurangan amalan wajib.
Allah menyeru hambanya untuk takut kepada-Nya, sementara hawa nafsu menyeru untuk melampaui batas. Kalbu (hati) kita berada di antara dua seruan itu. Kadang condong ke kanan, kadang ke kiri. Di sinilah letaknya ujian.
Allah menggambarkan jiwa manusia dalam Al-Qur’an dengan tiga sifat, insyaAllah akan kita bahas detail pada pertemuan mendatang:
- An-nafs al-muthma’innah – jiwa yang tenang
- An-nafs al-lawwamah – jiwa yang suka menyesal
- An-nafs al-ammarah bis-su’ – jiwa yang selalu mengajak kepada keburukan
Apa yang membedakan tiga jenis jiwa itu?
Jika kita melihat segala sesuatu dan menginginkan kebaikan, itu adalah nafs al-muthma’innah.
- Jika kita melakukan keburukan dan kemudian menyesal, itulah nafs al-lawwamah.
- Tetapi jika pikiran kita selalu condong kepada keburukan, itu disebut nafs al-ammarah bis-su’.
Para ulama berbeda pendapat:
- Apakah jiwa manusia itu satu dengan tiga sifat?
- Ataukah ada tiga jiwa berbeda dalam satu diri?
Tidak perlu bingung. Mayoritas fuqaha dan mufassir menyatakan bahwa jiwa itu satu dengan tiga sifat. Ahli tasawuf menyebutnya sebagai tiga bagian. Pendapat keduanya bisa dikompromikan: ketiganya bersemayam dalam satu hati (qalbu).
Kesehatan kalbu kita ditentukan oleh mana di antara tiga sifat itu yang paling dominan.
Khusus nafs al-lawwamah, bagaimana cara mengenalinya?
Kalau kita melakukan kebaikan secara normal.
- Tetapi ketika melakukan keburukan, kita merasa menyesal.
Inilah jiwa lawwamah—masih ada penyesalan. Jika penyesalan itu terus kita latih dengan taubat dan perbaikan diri, lama-lama kita akan malu berbuat salah. Jiwa menjadi lebih tenang, dan akan naik menjadi nafs al-muthma’innah.
Kita bisa merasakannya saat:
- Selesai menunaikan zakat—ada rasa plong.
- Selesai berbuka puasa—ada kebahagiaan.
- Mengajar, mendidik, menghormati, berbakti dengan penuh cinta dan ketulusan.
Itulah tanda nafs al-muthma’innah.
Rasulullah ﷺ juga pernah ditanya, “Ya Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang menunaikan syahwatnya (bersama istrinya) mendapat pahala?”Rasulullah menjawab, “Bukankah kalau ia melakukannya dengan cara haram, ia akan mendapat dosa? Maka jika dilakukan dengan halal, ia mendapatkan pahala.”
Artinya, ketenangan dan kepuasan dalam kebaikan, bahkan dalam perkara dunia, bisa bernilai ibadah.
Sebaliknya, nafs al-ammarah bis-su’ itu bisikannya selalu mengajak keburukan:
- Ada motor meleng sedikit, langsung ingin mencelakai.
- Ada uang orang lewat, langsung ingin mencuri.
Itulah dominasi jiwa yang buruk. Kalau tidak kita tundukkan, maka itu akan mengalahkan jiwa-jiwa lain yang baik.
InsyaAllah, ketiga jenis jiwa ini akan kita lanjutkan pembahasannya dua pekan yang akan datang, setelah kajian fikih disampaikan.
Hari ini kita cukupkan sekian. Mari kita tutup dengan doa dan al-Fatihah, mendoakan:
- Saudara-saudara kita di Palestina, semoga dibebaskan dari penjajahan dan kezaliman.
- Guru-guru dan orang tua kita yang telah mendahului, semoga Allah ampuni dosa mereka dan curahkan rahmat-Nya.
- Orang-orang yang berjasa pada musala ini, semoga diberkahi keluarganya dan hartanya.
- Anak-anak kita, semoga diberikan ilmu yang bermanfaat.
- Yang sakit semoga disembuhkan.
- Yang dalam perjalanan semoga selamat sampai tujuan.
- Yang punya hajat semoga Allah tunaikan.
- Yang punya tanggungan semoga Allah mudahkan.
Kita semua semoga dijauhkan dari segala fitnah, yang tampak maupun yang tidak tampak.