السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذي شرع للناس عيدا مباركا ونعيما مشكورا ويوما مسرورا أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله ، اللهم صل على محمد وعلى أله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين – أما بعد – فيا عبادالله أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون، وقال تعالى: يأ يها الذين أمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
Jama`ah Iedul-Adlha yang dimuliakan Allah.
Sejak hari ‘Arafah, kumandang takbir tak henti-hentinya bergema: الله أكبر، الله أكبر: Allah Maha Besar (3x). Semua kekuatan dan kekuasaan apapun adalah sangat kecil dibanding dengan Kebesaran Allah. Kita bertahlil: لا إله إلا الله وحده : Tiada Tuhan selain Diri-Nya Yang Esa, صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ yang menepati janjiNya, ونصر عبده yang menolong hambaNya, و هزم الأحزاب وحده : dan yang mengalahkan musuh-musuhNya dengan sendiriNya.
Pagi ini, kita melaksanakan syari’at Allah berupa ‘Iedul-Adlha/‘Iedul-Qurbân tujuannya mudah-mudahan untuk mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub ila-llāh), meraih cinta dan ridla Ilahi (li-llāh) dan menyempurnakan ketakwaan kita kepada-Nya. Bukankah Allah SWT berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging (qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj/22: 37)
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر و لله الحمد
Jama`ah Iedul-Adlha yang dimuliakan Allah.
Berbicara tentang qurbân, tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang خليل الله / kekasih Allah Nabi Ibrahim as. dan keluarganya. Paling kurang ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil sebagai pelajaran penting, yakni :
Pertama, tentang cinta. Pelajaran tentang penambatan cinta ini sangat penting karena sikap dan pola hidup seseorang sangat dipengaruhi kepada siapa cintanya yang utama ia persembahkan. Sebagai mu’min, seharusnya cintanya yang utama ia persembahkan kepada Allah SWT dibanding kepada yang lainnya (وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ : QS. Al-Baqarah/2: 165).
Dalam kasus Nabi Ibrahim, betapa besar cintanya kepada puteranya, Isma`il as. Sudah berpuluh tahun menunggu dan menunggu, akhirnya Allah SWT berkenan juga mengaruniai beliau dengan seorang anak laki-laki dambaan yang shaleh. Namun ketika anak tercinta sudah bisa diajak berusaha, justru diperintahkan oleh Tuhannya untuk dikorbankan. Karena perintah ini tidak masuk akal dan nurani, maka ini disebut oleh Allah: إنَّ هذَا لَهُوَ الْبَلآءُ الْمُبِيْنَ (QS. 37: 106). Betapa besar konflik batin yang terjadi pada diri Ibrahim as. Tetapi beliau menyadari bahwa cinta kepada Allah ar-Rahman ar-Rahîm, harus lebih diutamakan dibanding cinta kepada siapapun dan kepada apapun juga.
Memang suatu hal yang manusiawi bila seseorang mencintai anak, ibu, bapak, suami atau istri, harta, bisnis, pekerjaan, idola, dan lain-lain. Bersedih, menangis karena kehilangan orang-orang yang dicintai, kehilangan mata pencaharian adalah wajar, yang penting tidak sampai meratap. Namun ketika sesuatu yang kita cintai diminta kembali oleh Sang Pemilik sesungguhnya, maka kita mau apa? Maka satu-satunya jalan terbaik, kita harus mau mengikhlaskannya diambil kembali oleh Allah. Sebab kapan kita tidak secara total melepasnya, maka kita sendiri yang akan sakit & menderita. Pemilik pribadi yang teguh Rasulullah saw pun menangis ketika kehilangan istrinya: Khadijah, kehilangan pamannya: Abu Thalib, kalah & kehilangan banyak sahabat tercintanya yang wafat di medan Uhud. Rasulullah saw sangat mencintai mereka, tapi ketika disandingkan dengan kecintaannya kepada Allah, maka tidak ada satupun hal duniawi yang mengalahkannya. Inilah sebabnya, Allah memerintahkan Nabi-Nya –Muhammad saw– mengajarkan kita untuk lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya dari pada selainnya. Karena ketika kecintaan kepada mereka melebihi cinta kita kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka kata Allah فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ : “tunggu sampai Allah mendatangkan siksa-Nya.” (QS. 9: 24). Inilah pelajaran pertama yang harus kita ulang-ulang dari kisah teladan tersebut terutama pada saat orang lupa, tidak mau lagi mengambil hikmah dari banyak peristiwa besar yang terjadi di sekitar kita, tidak lagi mempedulikan batas halal dan haram, apakah ini baik atau buruk, dan apakah ini haq atau batil. Dalam berjuang, kita hanya dituntut berjuang sungguh-sungguh fi-llāh: di jalan Allahdan li-llāh: karena Allah ﵟوَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِﵞ. (QS. Al-Hajj/22: 78).Soal hasil atau tidak, tidak perlu dipikir, toh Allah tidak menuntut hasil, cukup: fatawakkal ‘ala-llāh: pasrah total pada Allah.
Dalam konteks qurbân, kalau Nabi Ibrahim as rela mengorbankan “Isma`il” kecintaannya demi cintanya kepada Allah, maukah kita meneladaninya dengan mengorbankan “Isma`il-Isma`il” kita dalam bentuk harta demi membuktikan cinta kita kepada Allah. Maukah kita “menolong” hamba-hamba Allah karena Allah dengan memberikan bantuan makan kepada mereka faqir-miskin, yang kelaparan, tidak punya lagi papan, dan kehilangan harapan seperti rakyat Palestina. Inilah sesungguhnya pelajaran inti pertama dalam ‘Iedul-Qurban yang dilegalformalkan dengan menyembelih ternak besar untuk dibagikan dan dinikmati bersama dengan mereka yang memang membutuhkannya. Pelajaran itu adalah kerelaan menyembelih segala kecintaan kepada hal-hal duniawi demi untuk Allah SWT semata.
الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله والله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد
Jama`ah Ied yang dimuliakan Allah.
Inilah pelajaran kedua yakni qurbân, bahwa tidak ada cinta tanpa adanya pengorbanan. Kata qurbân berasal dari kata قَرُبَ yang artinya mendekat. Seorang yang mencinta akan selalu berusaha mendekatkan diri kepada yang dicintainya, meskipun dia harus mengorbankan sesuatu yang lain yang juga dicintainya. Syari’at qurban ini tidaklah wajib, tapi sunnah yakni untuk menguji kita apakah kita lebih mencintai harta ataukah Allah? Jadi ini ujian cinta. Mu’min yang lebih mencintai Allah pasti akan berusaha senantiasa mendekati Allah dengan berbagai cara yang diridhai Allah, meskipun ia harus mengorbankan “Isma`il-Isma`il” kecintaannya.
Nabi Ibrahim ini sebenarnya sudah dipastikan oleh Allah sebagai orang yang memiliki kekuatan cinta yang luar biasa kepada Allah, di samping tentu kepada anaknya. Orang seperti ini, tidak mungkin diuji Allah dengan ujian biasa seperti umumnya kita. Karena Allah Maha Adil, maka ujian untuk hamba Allah yang memiliki kekuatan iman dan cinta luar biasa ini juga harus luar biasa sehingga makna keadilan itu bisa dirasakan dan dijadikan pelajaran bagi hamba yang berpikiran dalam. Nabi Ibrahim as benar-benar dihadapkan pada ujian yang tidak lazim (menyembelih anak), ditambah dengan godaan Syaithan dari dalam dan luar dirinya (ini disimbolkan dalam ibadah haji dengan melempar jamarat). Dan ternyata, godaan ini berhasil dihadapi Ibrahim dan anaknya dengan pengorbanan yang besar. Jadi, semakin besar qurban dan pengorbanan kita untuk mendekati-Nya, maka semakin besar pula ganjaran cinta yang kita peroleh dari-Nya. Hal ini bisa kita lihat bahwa setelah Ibrahim as dan Ismail as pasrah dengan keputusan Allah tersebut, maka Allah membalas pengorbanan mereka dengan hewan yang besar (وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ QS. 37: 107) ditambah satu lagi bonus anak shalih yang juga seorang Nabi, yakni Ishaq as. (وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ, وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ . QS. 37: 112-113)
Itulah kemudian secara formal-ritual kita sangat dianjurkan berqurban dengan menyembelih seekor kambing atau sapi sekali setahun pada setiap habis shalat Iedul Adha sampai akhir hari tasyrik tanggal 13 Dzulhijjah. Namun pelajaran yang lebih penting dari ibadah Qurban sesungguhnya adalah secara spiritual yakni melatih kita untuk senantiasa siap sedia dan rela berkorban apa saja demi ber-taqarrub/ mendekatkan diri kepada Yang Maha Memiliki dan Menguasai segalanya, tempat akhir kembali kita. Kesediaan, kesiapan dan kerelaan kita untuk berkorban apa saja dan kapan saja karena Allah menunjukkan bahwa kita lebih mencintai dan merindukan kasih sayang Allah dari pada yang lainnya. Dan, seperti halnya tujuan Allah mewajibkan puasa Ramadhan, hakikat Qurbanpun bertujuan menguji kembali sejauh mana kualitas kecintaan dan ketaqwaan kita –dua bulan pasca Ramadhan– tanpa perlu mewajibkannya. Sebab kata Allah SWT
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging qurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj/22: 37)
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله والله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد
Pelajaran ketiga adalah pendidikan, yakni: bagaimana berhasilnya Nabi Ibrahim as sebagai seorang ayah mendidik putranya: Isma`il as.
Isma‘il as tumbuh dengan bekal pendidikan yang baik dan berimbang. Sebagai ayah, Ibrahim as bukan saja mengasah kecerdasan intelektual, kreatifitas dan ketrampilannya (IQ), tetapi juga mengasah aspek emosional (EQ) dan aspek spiritualitasnya (SQ) yakni memiliki iman yang kuat dan kesabaran yang luar biasa dalam berbakti kepada Allah secara total. Sebab ketika berita dari Allah itu disampaikan kepada Isma`il, ternyata ia bukan saja dapat menerimanya dengan tabah tetapi ia juga membantu kebimbangan bapaknya untuk melaksanakan ujian berat dari Allah SWT. Dia yakinkan bapaknya bahwa dia akan sabar menerima keputusan Allah SWT (QS. 37: 102).
Tentu hanya orang tua yang memiliki kualitas jiwa dan akal yang tinggi yang mampu melahirkan dan mendidik anak-anak dengan kualitas jiwa dan akal yang tinggi pula. [Dan tentu hanya pemimpin yang memiliki kualitas jiwa dan akal yang tinggi yang mampu mendidik rakyatnya dengan kualitas jiwa dan akal yang tinggi pula]
Apa keuntungan yang diperoleh dengan pendidikan yang seimbang? Secara duniawi –mengutip penelitian Daniel Goleman– bahwa kesuksesan para pemimpin dunia, hanya dipengaruhi sekitar 6-20% kecerdasan intelektual (IQ) mereka, sementara selebihnya banyak dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan spiritual mereka. Tapi seberapa banyak dari kita yang membekali anak kita dengan bekal spiritual yang baik. Seberapa banyak dari kita yang mengenalkan anak-anak kita tentang Tuhannya dan Rasul-Nya? Tentu, kita tidak boleh menyalahkan anak-anak kita kalau mereka ternyata hanya cerdas dan pintar secara intelektual tapi justru kecerdasan dan kepintarannya lebih banyak mengelabui orang tuanya,pintar korupsi, pintar berbohong, tidak merasa berdosa melakukan kemaksiatan dan kejahatan. Yang lebih menakutkan yakni secara ukhrawi, Allah akan minta pertanggungjawaban orang tua yang paling pertama kali, kemudian ulamâ’ dan umarâ’ (penguasa) yang turut memberikan keteladanan yang buruk.
Pelajaran penting lainnya adalah Nabi Ibrahim as mengajarkan agar kita senantiasa membuka keran komunikasi yang baik dengan anak. Sebaik apapun keinginan dan program kita tapi kalau tidak dikomunikasikan secara baik maka hasilnya bisa tidak baik. Dan ini merupakan contoh pendidikan antara pemimpin sebagai “orang tua” dan rakyat yang dipimpin sebagai “anak” agar senantiasa membuka keran komunikasi dengan baik. Dalam hal ini, meskipun Ibrahim as sebagai Bapak bisa saja memaksakan perintah Allah kepada anaknya –apalagi ia merasa yakin akan kebenaran perintah tersebut–, namun dia tetap mengkomunikasikannya kepada anaknya, karena ini menyangkut “nyawa” anaknya.
الله أكبر، الله أكبر كبيرا
Jama`ah Iedul Adlha yang dimuliakan Allah.
Akhirnya marilah kita perbaharui tekad kita dengan menjadikan Allah sebagai pusat gerak kita dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Berbagai peristiwa besar yang terjadi disekitar kita, kita jadikan sebagai media pembelajaran bagi kita untuk meningkatkan ketaqwaan kita, lebih mendekatkan diri kepada Allah, tidak jauh dari Allah dan aturan-aturanNya. Kita didik diri dan anak-anak kita dengan al-hikmah yakni dengan Al-Qur’an karena pendidikan Qur’ani mengajarkan pendidikan seimbang antara unsur jasmani, nafsu, spiritual, akal, dan sosial.
Untuk itu mari kita berdoa, bermunajat kepada Allah, mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah untuk dapat meneladani cinta, pengorbanan dan pendidikan Nabi Ibrahim as dan puteranya: Nabi Isma`il as.
الحمد لله رب العالمين حمدا يوافي نعمه ويكافي مزيده ربنا لك الحمد كما ينبغي لجلال وجهك وعظيم سلطانك . اللهم صلِّ وسلِّمْ على محمد وعلى أل محمد كما صلَّيت وسلَّمتَ على إبراهيم وعلى أل إبراهيم. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات إنك قريب مجيب الدعوات ياقاضي الحجات. اللهم أنت الملك لآ إله إلا أنت، أنت ربنا ونحن عبادك، ظلمنا أنفسنا واعترفنا بذنوبنا فاغفرلنا ذنوبنا جميعا، فإنه لايغفر الذنوب إلا أنت. ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا، ربنا ولا تحمل علينا إصرا كما حملته على الذين من قبلنا، ربنا ولا تحملنا ما لاطاقة لنا به واعف عنا واغفرلنا وارحمنا أنت مولنا فانصرنا على القوم الكافرين. ربنا اغفرلنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغارا .ربنا هب لنا من أزواجنا وذريتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار. سبحن ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين. الله أكبر، الله أكبر ولله الحمد
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Dr. Syakir Jamaluddin, M.A.
° Disampaikan di Lapangan Sampit PDM Kotim pada hari Jumat, 10 Dzulhijjah 1446 H/6 Juni 2025.
Ketua Diklat dan Kaderisasi Muballigh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam UMY