(Imam an-Nawawi: Namanya, Tempat dan Tanggal Lahir, serta Latar Belakang Pertumbuhannya)
Oleh: Feri Septianto, Lc., M.H. (Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Kita akan membahas sebuah kitab yang bernama at-Tibyān fī Ādābi Ḥamalati al-Qur’ān. Kitab ini ditulis oleh seorang ulama besar bernama Imam an-Nawawi. Ketika kita menyebut “Nawawi”, sebagian orang mungkin mengira itu adalah Nawawi al-Bantani. Namun, yang dimaksud di sini bukanlah Imam Nawawi dari Banten, melainkan Imam Nawawi dari Nawa—sebuah daerah yang sekarang termasuk wilayah Suriah.
Untuk pertemuan perdana ini, insyaallah kita akan membahas terlebih dahulu tentang siapa sebenarnya Imam an-Nawawi. Sebelum membahas tema-tema dan topik dalam kitab ini, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu siapa beliau. Apa yang bisa kita pelajari dari sosok beliau? Apa hal menarik yang bisa kita tiru atau sampaikan kepada orang lain? Dengan mengenal biografi beliau, kita bisa mengambil pelajaran dan mendulang manfaat darinya.
Bapak Ibu rahimakumullah, Imam an-Nawawi—semoga Allah merahmatinya—akan kita mulai pembahasannya dari aspek nama (ism), kelahiran (maulid), dan nasab (asal-usul) beliau. Yang pertama, tentang namanya. Kita sering menyebutnya dengan Nawawi, namun nama aslinya bukanlah Nawawi. Ini seperti contoh KH Ahmad Dahlan, yang nama aslinya adalah Muhammad Darwis. Dulu, ada kebiasaan di kalangan para santri dari Indonesia, khususnya yang belajar di Makkah, mengganti nama ketika berguru kepada seorang syekh. Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan karena terinspirasi dari seorang ulama besar bernama Dahlan.
Demikian pula Imam an-Nawawi. Nama aslinya bukan Nawawi, melainkan Yahya bin Syaraf. Nama lengkapnya jika dirunut adalah Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jumu‘ah bin Hizām. Mungkin di antara kita ada yang hafal nasab sampai kakek ke-delapan atau bahkan ke-sepuluh? Biasanya cukup sampai buyut saja. Dalam Islam, nasab adalah hal yang dijaga. Maka, salah satu hikmah dari disyariatkannya pernikahan yang sah adalah untuk menjaga nasab. Tanpa adanya pernikahan, akan sulit mengetahui anak itu berasal dari siapa. Maka dari itu, dalam Islam nasab adalah bagian penting dari identitas seseorang.
Imam an-Nawawi disebut “an-Nawawi” karena beliau lahir di sebuah wilayah yang bernama Nawa. Maka dari itu, dinisbahkanlah nama daerah tersebut ke belakang nama beliau. Misalnya, seseorang yang lahir di Bantul akan disebut al-Bantuli, yang lahir di Jogja disebut al-Jogjawi, yang lahir di Medan disebut al-Maidani, dan seterusnya. Begitulah tradisi penamaan dalam dunia Islam: nisbah kepada tempat asal. Contoh lain adalah Imam al-Bukhari, yang dinisbahkan kepada kota kelahirannya, Bukhara.
Imam an-Nawawi dikenal sebagai as-syaikh al-‘allāmah al-‘ālim ar-rabbānī, seorang ulama besar yang bukan hanya ahli dalam ilmu, tetapi juga dalam amal. Beliau termasuk ulama yang tidak hanya pandai berbicara atau menulis, tetapi juga mengamalkan ilmunya dalam kehidupan nyata. Ini mirip dengan KH Ahmad Dahlan—rahimahullah—yang bukan hanya ahli dalam ilmu, tetapi juga dalam amal. Bukti dari amal beliau masih bisa kita rasakan lebih dari seratus tahun kemudian, melalui pengajian-pengajian dan lembaga yang beliau dirikan.
Ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah. Mungkin bisa dijadikan tempat berteduh, tapi manfaatnya tidak maksimal. Maka, ilmu itu harus melahirkan amal. Jangan sampai ilmu hanya berhenti di tingkat pengetahuan (ma‘rifah) saja. Kalau hanya sebatas tahu, maka kita hanya seperti laptop yang hanya menyimpan data di memori. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan.
Imam an-Nawawi juga dikenal sebagai seorang ulama yang rasikh dalam ilmu—yaitu memiliki pemahaman yang mendalam dan kokoh. Beliau juga seorang yang zuhud. Sering kali kita memahami zuhud secara keliru, seolah-olah orang zuhud adalah orang yang miskin atau serba kekurangan. Padahal, zuhud bukan soal penampilan. Zuhud adalah ketika seseorang memiliki sesuatu, seperti harta, namun tidak menjadikan harta itu melalaikannya dari Allah.
Orang kaya pun bisa menjadi zuhud, selama kekayaan itu hanya ada di tangannya, bukan di hatinya. Di kalangan sahabat Nabi ﷺ pun ada yang hartanya bila dikonversi ke masa kini mencapai triliunan, namun mereka tetap menjadi orang-orang zuhud. Mereka menjadikan harta sebagai wasilah (perantara) untuk meraih ridha Allah ﷻ, bukan sebagai tujuan hidup. Inilah prinsip hidup yang juga dipraktikkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah.
Imam Nawawi lahir di sebuah tempat bernama Nawa, sebuah daerah yang sebelumnya tidak begitu dikenal. Tempat ini menjadi masyhur justru karena lahirnya seorang ulama besar, Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Kampung tersebut tidaklah dikenal sebelumnya, tetapi karena keberadaan beliau, nama Nawa menjadi harum di seluruh dunia Islam.
Kalau kita bandingkan, misalnya seseorang lahir di Yogyakarta—kota yang memang sudah dikenal luas—maka tak perlu memperkenalkan lagi nama kotanya. Namun berbeda dengan Imam Nawawi. Nawa, tempat beliau berasal, menjadi terkenal justru karena jasa beliau. Bahkan, hampir tidak ada ulama lain yang menggunakan nisbah “an-Nawawi” karena memang kampung itu tidak terkenal sebelumnya. Maka, bisa dibilang kampung itu berutang nama baik kepada Imam Nawawi.
Beliau lahir dari keluarga yang ayahnya bukanlah seorang ulama. Namun, lingkungan dan dukungan dari sang ayah turut membentuknya menjadi seorang ulama besar. Ayahnya, yang bernama Syaraf, memiliki warung atau toko, dan sangat mendukung putranya dalam menuntut ilmu.
Bapak Ibu, rahimakumullah,
Seorang ulama itu bisa lahir dari tiga sebab. Pertama, karena faktor keturunan. Mungkin orang tuanya atau kakek-neneknya seorang alim, seorang kiai, atau berasal dari nasab keluarga yang dekat dengan ilmu. Meski begitu, tidak berarti jika orang tuanya ustaz, maka anaknya pasti ustaz juga. Tapi ada peluang—meski mungkin bukan orang tua langsung, bisa jadi dari buyut atau leluhur yang lain.
Kedua, karena faktor lingkungan. Meskipun orang tuanya tidak ahli ilmu, tetapi ia hidup dalam lingkungan yang mendukung, lingkungan yang mencintai ilmu dan agama, sehingga akhirnya terbentuk pribadi yang mencintai ilmu.
Ketiga, karena faktor internal—karena kemauan dirinya sendiri. Meskipun tidak ada dukungan dari keluarga dan lingkungan, tetapi Allah berikan hidayah dalam hatinya. Ia ingin belajar, ingin menjadi baik, ingin mencari ilmu. Ini tentu termasuk bentuk hidayah dari Allah subḥānahu wa ta’ālā. Maka, jangan menunggu orang lain baik dulu baru kita ikut baik. Kita harus menjadi pelopor kebaikan. Fastabiqū al-khairāt—berlomba-lombalah dalam kebaikan.
Imam Nawawi—rahimahullāh—tidak berasal dari keluarga ulama. Ayahnya hanyalah seorang pemilik toko. Lingkungannya pun tidak mendukung karena Nawa adalah daerah pelosok, bukan pusat ilmu seperti Damaskus atau kota besar lain di Syam.
Namun sejak kecil, Imam Nawawi sudah menunjukkan tanda-tanda keistimewaan. Ketika menjaga warung milik ayahnya, di sela-sela waktu kosong saat tidak ada pembeli, beliau memanfaatkannya untuk membaca Al-Qur’an. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya, tetapi mengisi waktunya dengan mengaji.
Bapak Ibu, rahimakumullah,
Suatu hari, Imam Nawawi kecil sedang menjaga warung. Saat sedang membaca Al-Qur’an, datanglah teman-temannya mengajaknya bermain. Itu hal yang biasa bagi anak-anak. Tapi Imam Nawawi menolak. Ketika terus dipaksa, beliau malah menangis. Beliau berkata dengan kalimat yang luar biasa:
“Lam ukhlaq li hādzā” (لَمْ أُخْلَقْ لِهٰذَا) “Aku tidak diciptakan untuk ini (bermain).”
Subḥānallāh… Ini bukan kalimat dari seorang dewasa, tapi dari seorang anak kecil. Ini bukan berarti anak-anak tidak boleh bermain, tentu ada waktunya. Tapi yang menarik adalah kesadaran yang muncul dari dirinya sendiri.
Ketika beliau menangis, lewatlah seorang guru ngaji bernama Syekh Yasin al-Marākishī. Ia melihat kejadian itu dan heran melihat anak kecil dengan prinsip sematang itu. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sang guru mendatangi ayahnya, lalu berkata, “Tolong jaga anak ini, karena bisa jadi kelak dia akan menjadi orang besar.” Dan ternyata benar.
Imam Nawawi kecil tumbuh dalam didikan orang tua yang tahu mana yang halal dan haram, meskipun bukan ulama. Keluarga ini menjaga anaknya dari hal-hal yang diharamkan Allah. Inilah salah satu kunci keberhasilan seseorang, bukan hanya kecerdasan, tapi juga penjagaan terhadap nilai-nilai syariat sejak kecil.
Beliau lahir pada tahun 631 Hijriah. Saat berusia 18 tahun—tepatnya pada tahun 649 Hijriah—Imam Nawawi diajak oleh ayahnya ke Damaskus untuk melanjutkan menuntut ilmu. Damaskus saat itu adalah pusat ilmu.
Perlu diketahui, para ulama zaman dahulu tidak akan meninggalkan kampung halamannya sebelum menimba ilmu dari guru-guru setempat terlebih dahulu. Mereka belajar dulu di tempat asal, karena suatu saat nanti mereka akan kembali ke sana, dan harus mengenal kondisi masyarakat tempat mereka berasal.
Setelah cukup belajar di kampung halamannya, barulah mereka keluar untuk mencari ilmu ke kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, dan lainnya. Begitu pula yang dilakukan Imam Nawawi. Setelah belajar di Nawa, barulah ia berangkat ke Damaskus untuk memperdalam ilmunya.
Makanya, pada usia 18 tahun, Imam Nawawi baru keluar dari kampung halamannya, Nawa, lalu pindah ke Damaskus untuk menimba ilmu di madrasah yang ada di sana. Di Damaskus, ada beberapa kisah menarik tentang beliau. Ketika belajar di sana, beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Ke mana-mana selalu membawa buku dan membaca.
Bahkan, hadirin rahimahullah, ada kisah yang mungkin terdengar ekstrem. Beliau menyatakan bahwa selama dua tahun, beliau tidak pernah tidur dalam posisi berbaring. Tidurnya hanya dalam posisi duduk, dan itu pun di atas tumpukan buku. Kalau mengantuk, beliau tidur seperti itu—duduk bersandar di antara buku-buku. Dua tahun lamanya seperti itu. Kita yang hanya satu jam saja duduk mungkin sudah merasa panas atau tidak nyaman, tetapi beliau menjalaninya selama dua tahun. Ini adalah pernyataan beliau sendiri, bukan cerita orang lain.
Begitulah hakikat belajar. Belajar itu memang butuh istirahat, pengorbanan, dan perjuangan. Bapak dan Ibu yang hadir di sini juga tentu telah berkorban banyak—baik harta, tenaga, maupun waktu. Namun, ingatlah, semua yang kita korbankan karena Allah tidak akan pernah sia-sia.
Perjuangan Imam Nawawi dalam belajar membuahkan hasil. Beliau lahir pada tahun 631 Hijriah. Setelah pindah ke Damaskus, beliau belajar selama dua tahun hingga tahun 651 H. Setelah itu, beliau menunaikan ibadah haji bersama ayahnya pada usia 20 tahun.
Saat itu, menunaikan ibadah haji tidak seperti sekarang. Sekarang, untuk berangkat haji reguler, perlu menunggu lama. Bahkan untuk haji khusus pun, seperti haji plus atau haji furoda yang biayanya fantastis—mencapai 300 hingga 500 juta rupiah—tetap saja visanya tidak semua keluar. Di masa Imam Nawawi, orang berhaji cukup dengan bekal dan niat. Tidak perlu menunggu antrean panjang seperti sekarang.
Setelah menunaikan haji, sekitar usia 30 atau 40 tahun, beliau mulai menulis. Sebelumnya, beliau belajar dari para ulama pada masanya. Setelah merasa cukup, beliau mencurahkan ilmunya dalam tulisan. Imam Nawawi menulis selama kurang lebih 16 tahun, sembari mengajar di Madrasah Rawahiyah di Suriah—madrasah yang masih ada hingga kini.
Jika kita melihat perjalanan hidup beliau, mulai dari lahir tahun 631 H, belajar kepada para ulama, lalu menulis selama 16 tahun, hingga akhirnya wafat pada tahun 676 H, maka usia beliau saat wafat adalah 45 tahun. Usia yang belum terlalu tua. Namun, meskipun wafat dalam usia 45 tahun, ilmu yang beliau wariskan masih terus dirasakan manfaatnya hingga hari ini. Inilah yang dinamakan barakah usia.
Keberkahan waktu itu luar biasa. Bisa jadi, kita dalam satu jam melakukan sesuatu yang kalau dikerjakan oleh orang lain butuh waktu 20 jam. Imam Nawawi hanya hidup selama 45 tahun, tetapi ilmunya tetap hidup hingga kini. Para ulama menyebutkan, salah satu sebabnya adalah keikhlasan beliau.
Karena itu, beberapa kitab beliau dibuka dengan hadis pertama: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” Hadis ini menjadi pembuka dalam kitab Riyadus Shalihin, Arba’in Nawawi, dan Al-Adzkar. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat menekankan pentingnya niat dan keikhlasan.
Imam Malik pernah berkata: “Mā kāna lillāhi yabqā.” “Apa yang dilakukan karena Allah, maka akan kekal.” Kita pun berbaik sangka, bahwa apa yang dirintis oleh Kiai Ahmad Dahlan juga berangkat dari keikhlasan, sehingga hasilnya masih ada hingga kini—entah dalam bentuk sekolah, rumah sakit, kampus, dan sebagainya.
Hadirin rahimani warahimakumullah, pelajaran dari biografi Imam Nawawi ini mungkin tidak jauh berbeda dari kisah orang-orang saleh lainnya. Namun, kita ingin mengambil hikmah bahwa berkah dari Allah dapat membuat sesuatu yang sedikit menjadi banyak. Imam Nawawi menulis selama 16 tahun, tetapi ilmunya sampai kepada kita hari ini, tahun 1446 Hijriah.
Kitab Riyadus Shalihin, misalnya, masih banyak dibaca. Di beberapa masjid, kitab ini dibacakan rutin setelah salat, seperti di Masjid Suja PKU Gamping yang sudah membacakan ratusan hadis. Ini menunjukkan bahwa meskipun beliau telah wafat, ilmunya masih terus mengalir.
Insyaallah, yang akan kita bahas ke depan adalah salah satu kitab beliau: At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalatil-Qur’ān. Kitab ini telah diterjemahkan, meskipun versi PDF-nya belum saya temukan. Namun, versi Arabnya tersedia luas. Kita bisa lihat cover-nya. Kitab ini menjelaskan tentang adab-adab yang harus dimiliki oleh para pengemban Al-Qur’an.
Yang dimaksud dengan ḥamalatul-Qur’ān bukan hanya penghafal, tapi juga pembaca, pengkaji, perenung, pengamal, dan penyebar Al-Qur’an. Kata ḥāmal berarti “pembawa,” bukan dalam arti fisik, tapi dalam makna spiritual dan intelektual—membaca, memahami, mengamalkan, dan mengajarkannya.
Saya yakin Bapak dan Ibu rahimakumullah adalah bagian dari ḥamalatul-Qur’ān. Al-Qur’an bukanlah bacaan musiman, hanya dibaca saat Ramadan. Ia adalah asupan harian yang perlu terus-menerus kita baca.
Kitab ini di awal membahas keutamaan-keutamaan membaca Al-Qur’an. Setidaknya, hari ini kita telah membahas biografi beliau dan pengantar tentang kitab At-Tibyān fī Ādābi Ḥamalatil-Qur’ān yang memuat 10 bab. Bab pertama membahas keutamaan membaca Al-Qur’an, lengkap dengan hadis-hadis Rasulullah ﷺ. Bab kedua membahas keutamaan orang yang membaca Al-Qur’an dibandingkan dengan pembaca lainnya—baik pembaca buku, berita, maupun informasi lainnya.
Yang ketiga adalah al-bābu ats-tsāliṡ, yaitu fī ikrāmi ahlil-Qur’ān wa ḥusni al-iʿtinā` bihim. Di sini akan disebutkan bab tentang memuliakan ahli Al-Qur’an, yaitu orang yang paham Al-Qur’an, orang yang hafal Al-Qur’an, dan orang yang sedang belajar Al-Qur’an. Juga disebutkan larangan menyakiti mereka, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Itu yang ketiga.
Yang keempat, fī ādābi muʿallimil-Qur’ān wa mutaʿallimih, yaitu adab guru dan murid dalam pembelajaran Al-Qur’an. Ini penting, Bapak Ibu. Akhir-akhir ini mungkin kita mendengar informasi atau berita yang kurang baik. Karena dua-duanya—guru dan murid—perlu belajar. Guru harus belajar bagaimana memperlakukan muridnya, dan murid pun harus belajar bagaimana memperlakukan gurunya.
Guru tidak bisa hanya menuntut muridnya beradab, sementara dirinya sendiri tidak menunjukkan adab. Misalnya, guru berkata, “Nak, kamu harus jadi orang baik,” tapi ia sendiri tidak berusaha menjadi orang baik. Maka dua hal ini—guru (muʿallim) dan murid (mutaʿallim)—harus berjalan seirama. Insyaallah nanti kita akan dibantu oleh beliau (narasumber) untuk mengetahui apa saja adab seorang guru Al-Qur’an dan apa saja adab seorang murid Al-Qur’an.
Yang kelima, al-bābu al-khāmis fī ādābi ḥāmilil-Qur’ān, yaitu adab bagi para pengemban Al-Qur’an. Entah ia bukan guru Al-Qur’an, bukan juga murid, tetapi sekadar membaca atau memahami Al-Qur’an, maka tetap ada adab yang harus dijaga. Itu yang kelima.
Yang keenam, fī ādābi al-qirā’ah wa huwa muʿāmalah al-kitāb wa maqṣūdih, yaitu adab membaca Al-Qur’an. Ini merupakan inti dari pembahasan kitab at-Tibyān. Di dalamnya nanti dibahas, misalnya: kalau kita mengaji, apakah harus berwudu? Apakah harus menghadap kiblat? Pembahasan seperti itu akan ditemukan di bab ini.
Yang ketujuh, al-bābu as-sābiʿ fī ādābi an-nāsi maʿa al-Qur’ān, yaitu adab manusia secara umum terhadap Al-Qur’an.
Yang kedelapan, fī al-āyāt wa as-suwar al-mustaḥabbah fī awqāt wa aḥwāl makhṣūṣah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu-waktu tertentu. Misalnya sebelum tidur, apa ayat yang bisa dibaca? Seperti ayat kursi, Qul huwallāhu aḥad, dan al-Muʿawwidzāt.
Karena sebentar lagi Iduladha, maka kalau mau salat Id, bacaan apa yang dianjurkan meskipun tidak wajib, tapi paling tidak kita mempraktikkan apa yang dibaca oleh Nabi Muhammad ﷺ. Atau ketika salat qobliyah Subuh (salat sunah fajar dua rakaat), rakaat pertama membaca apa, rakaat kedua membaca apa? Biasanya rakaat pertama al-Kāfirūn, rakaat kedua al-Ikhlāṣ.
Yang kesembilan, fī kitābati al-Qur’ān wa ikrām al-muṣḥaf, yaitu tentang penulisan Al-Qur’an dan memuliakan mushaf. Misalnya, bolehkah meletakkan mushaf di bawah? Mungkin karena tidak ada meja, lalu diletakkan sejajar dengan kaki—bolehkah itu? Atau, bolehkah memegang mushaf dalam keadaan tidak bersuci? Apakah boleh membaca Al-Qur’an dalam posisi terbalik? Maksudnya dibaca dari kanan ke kiri atau dari ayat terakhir ke ayat awal?
Misalnya, membaca surat yang pendek seperti Innā aʿṭainākal-kawtsar, faṣalli li rabbika wanḥar, inna syāni’aka huwal-abtar, lalu ingin dibaca terbalik: abtar, wanḥar, aʿṭainā. Bolehkah seperti itu? Ini termasuk pembahasan yang akan ditemukan di bab ini.
Kadang seseorang melakukan itu untuk menunjukkan kuatnya hafalan, misalnya membaca dari surat an-Nās sampai al-Baqarah, mundur ke al-Fātiḥah. Kita saja membaca al-Fātiḥah masih kadang bingung, apalagi dari belakang. Nah, pembahasan seperti itu akan ada di bagian ini.
Yang kesepuluh, al-bābu al-‘āsyir fī ḍabṭi alfāẓ al-kitāb, yaitu daftar istilah atau glosarium. Kalau dalam buku sekarang disebut glosarium, biasanya di akhir ada istilah-istilah asing yang dijelaskan maknanya. Masyaallah, pada zaman itu pun sistematika penulisan sudah sangat rapi. Penulis memulai dengan mukadimah, lalu menyebutkan alasan kenapa menulis kitab ini, dilanjutkan dengan struktur isi atau fihrisah (kerangka isi kitab).
Demikian, Bapak Ibu rāḥimakumullāh, yang akan kita bahas dalam pengajian malam Selasa ini, biidznillāh. Semoga ini menjadi mukadimah sebagai pengantar untuk pembahasan-pembahasan selanjutnya. Kalau ada yang ingin dikonfirmasi, silakan.
Wa Allāhu taʿālā aʿlam.