Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.0/E/2025 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah 1446 Hijriyah. Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 28 Rajab 1446 Hijriyah, bertepatan dengan 28 Januari 2025 Miladiyah. Berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang menjadi pedoman Majelis Tarjih dan Tajdid, Idul Adha 10 Dzulhijjah 1446 H, bertepatan dengan hari Jum’at Wage tanggal 6 Juni 2025 M.
Pada Idul Adha yang jatuh pada hari Jum’at tersebut, muncul pertanyaan dan cenderung mengarah pada perdebatan terkait dengan “apakah masih terkenai kewajiban menjalankan shalat jumat atau tidak?”
Permasalahan hari raya (baik Idul Fitri maupun Idul Adha) yang jatuh pada hari Jumat sudah pernah ditanyakan dan dijawab dalam majalah Suara Muhammadiyah (SM). Selanjutnya dapat membaca kembali dalam buku “Tanya Jawab Agama” jilid II halaman 114, penerbit Suara Muhammadiyah tahun 1992.
Kemudian pada tahun 1995 permasalahannya tersebut dibahas lagi oleh Majlis Tarjih karena hari raya Idul Fitri tahun 1415 H/1995 M diperkirakan akan jatuh pada hari Jum’at tanggal 3 Maret 1995. Hasilnya termuat dalam surat Majelis Tarjih PP Muhammadiyah No. 19/C.I/MT PPM/1995 tanggal 15 Ramadhan tahun 1415 H/15 Februari 1995 M.
Intinya sebagai berikut. Ada beberapa hadis yang menerangkan adanya keringanan untuk tidak melakukan shalat jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan salat Id’. Tetapi hadis-hadis tersebut ada yang dinilai lemah, karena ada perawi yang tidak dikenal, yaitu hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ilyas bin Abi Ramlah. Ada juga yang menilai sebagai hadis mursal, yaitu hadis riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Selain itu ada juga hadis yang dinilai shahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari Abu Dawud. Hadis tersebut sebagai berikut:
حَدَّثَنِي وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ، قَالَ: «اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ، ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ»، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَصَابَ السُّنَّةَ (رواه النسائ و أبو داود)
Hadis riwayat dari Wahab bin Kasan, ia berkata: telah bertepatan dua hari raya (Jum’at dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat ke luar, sehingga matahari meninggi. Ketika matahari telah tinggi, dia pergi menuju mushola, lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar kemudian sembahyang. Dan dia tidak bersembahyang untuk orang ramai pada hari Jum’at itu (dia tidak mengadakan sembahyang Jumat lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: perbuatannya itu sesuai dengan sunnah.
Hadis lainnya adalah menerangkan bacaan shalat Nabi ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at, yaitu sebagai berikut:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ، وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ»، قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ، فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ، يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ
(رواه الجمعة الا البخرى و ابن ماجه)
Riwayat dari Nu’man bin Basyir ra ia berkata: Nabi saw selalu membaca pada sembahyang kedua hari raya dan sembahyang jum’at: sabbihisma rabbikal a’la dan hal ataka hadisul ghasiyah. Apabila berkumpul hari raya dan jum’at pada satu hari, Nabi saw membaca surat-surat itu di kedua-dua sembahyang.
Dalam memahami riwayat yang pertama, menurut Majelis Tarjih jika timbul kesan apabila hari raya jatuh pada hari jum’at maka tidak perlu menjalankan salat jum’at. Tapi pemahaman yang demikian belum selesai, mengingat adanya hadis yang kedua, yang diriwayatkan oleh segolongan ahli hadis termasuk Muslim, kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah. Dari riwayat kedua melalui pemahaman isyaratun nash, dapat kita pahami bahwa Nabi saw pada hari raya tetap melakukan shalat Jum’at.
Dengan demikian jelaslah bahwa Nabi saw tetap melaksanakan shalat Jum’at, meskipun hari itu bertepatan dengan hari raya. Adapun keringanan yang tersebut pada riwayat yang pertama adalah merupakan keringanan bagi orang yang sangat jauh dari kota untuk menuju tempat shalat hari raya dan shalat jum’at kala itu. Sehingga apabila seseorang harus bolak-balik, pulang dari shalat Id’ dan kembali lagi untuk sholat Jum’at padahal tempat tinggalnya jauh. Sangat mungkin akanmengalami kesukaran dan kepayahan.
Atas dasar itulah Majelis Tarjih berkesimpulan bahwa apabila hari raya jatuh pada hari jum’at, Nabi saw tetap melaksanakan salat hari raya dan melaksanakan salat jum’at. Oleh karenanya seluruh warga Muhammadiyah hendaknya tetap melaksanakan shalat Jum’at meski bertepatan dengan hari raya. Shalat jumat dapat dilaksanakan di masjid-masjid yang mudah dijangkau pada siang harinya setelah pada pagi harinya melaksanakan salat Id’.