Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I
(Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Pagi ini, Rabu, 8 Dzulhijjah 1446 H/4 Juni 2025, jutaan umat manusia beriman mulai bergerak merayap; sebagian menuju Mina untuk menunaikan tarwiyah yang disunnahkan oleh Rasulullah ‘alaihissalām dengan menunaikan salat lima waktu: zuhur, asar, magrib, isya, hingga subuh esok pagi. Sementara itu, sebagian besar lainnya langsung menuju Arafah untuk persiapan wukuf sebagai puncak ibadah haji yang jatuh pada Kamis, 9 Dzulhijjah 1446 H/5 Juni 2025.
Penyebutan hari kedelapan Dzulhijjah sebagai hari tarwiyah merujuk pada dua dimensi makna: fisik dan spiritual (ruhaniah).
Dimensi fisikal dari tarwiyah dapat dipahami dari makna harfiahnya yang berarti “penghilangan dahaga”. Hal ini dijelaskan oleh Al-Bābrutī dalam kitab al-‘Ināyah Syarḥ al-Hidāyah (II/467), bahwa pada hari ini orang-orang yang berhaji menyiapkan logistik dan keperluan mereka, terutama dengan mengonsumsi air minum sepuasnya untuk menghilangkan dahaga, termasuk membawa air dalam bejana ke Arafah dan Mina.
Adapun dimensi spiritual atau ruhaniah dari tarwiyah dijelaskan oleh Imam Fakhruddīn ar-Rāzī (544–606 H) dalam karya monumentalnya Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib (V/324). Menurutnya, tarwiyah mengandung tiga makna:
Pertama, karena Nabi Adam ‘alaihissalām diperintah untuk membangun sebuah rumah, maka ketika ia membangun, ia berpikir dan berkata, “Tuhanku, sesungguhnya setiap orang yang bekerja akan mendapatkan imbalan. Maka, apa imbalan yang akan aku dapatkan dari pekerjaan ini?” Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menjawab, “Ketika engkau melakukan thawaf di tempat ini, maka Aku akan mengampuni dosa-dosamu pada putaran pertama thawafmu.” Nabi Adam ‘alaihissalām memohon, “Tambahlah imbalanku.” Allah menjawab, “Aku akan memberikan ampunan untuk keturunanmu apabila mereka melakukan thawaf di sini.” Ia kembali memohon, “Tambahlah (imbalan)ku.” Allah menjawab, “Aku akan mengampuni setiap orang dari keturunanmu yang memohon ampun saat melaksanakan thawaf dan mengesakan Allah Ta‘ālā.”
Kedua, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām bermimpi ketika sedang tidur pada malam tarwiyah, seakan-akan hendak menyembelih anaknya. Ketika pagi datang, ia berpikir dan merenung apakah mimpi itu datang dari Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā atau dari setan. Ketika malam Arafah, mimpi itu datang kembali dan diperintah untuk menyembelih. Maka, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām berkata, “Aku tahu, wahai Tuhanku, bahwa mimpi itu berasal dari-Mu.”
Ketiga, bahwa penduduk Makkah keluar pada hari tarwiyah menuju Mina, lalu mereka berpikir tentang doa-doa yang akan mereka panjatkan pada keesokan harinya, di hari Arafah.
Saya lebih condong dan memilih makna kedua di atas, sebagaimana juga ditegaskan oleh Imam al-‘Ainī (w. 855 H) dalam kitab al-Bināyah Syarḥ al-Bidāyah (IV/211). Tarwiyah bukan semata-mata aktivitas fisik dan logistik, tetapi lebih mendasar dan holistik dalam kerangka besar spiritualitas haji: “menunda sejenak demi kontemplasi atau perenungan mendalam.” Artinya, dalam menjalani hidup ini, bersabarlah. Ikuti rotasi proses manusiawi, dan ojo kesusu dalam makna seluas-luasnya. Sebab itulah, hari tarwiyah dilalui oleh jamaah haji dengan menunaikan salat lima waktu, memperbanyak talbiyah, selawat, istigfar, tobat, sedekah, dan amalan-amalan sunnah lainnya. Semua larut dalam suasana syahdu: perenungan, muhasabah, dan munajat-munajat terbaik.
Sebagai sosok yang monumental dalam peristiwa tarwiyah masa lalu, penting bagi kita untuk merenungkan kembali perjalanan spiritual Nabi Ibrahim ‘alaihissalām yang dipuji oleh Allah dalam firman-Nya (QS An-Naḥl: 120–122):
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ، وَآتَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang ummah (pemimpin) yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.”
Tak lama setelah kebersamaannya dengan istrinya, Hajar, dan putranya, Ismail ‘alaihissalām, di tanah tandus tak berpohon, Ibrahim ‘alaihissalām diperintah Allah untuk kembali meneruskan dakwahnya di Syam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Ibrahim ‘alaihissalām berpaling untuk berangkat kembali meninggalkan mereka berdua, Hajar mengikutinya dan berkata, “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi? Akankah engkau meninggalkan kami di tempat yang tak berpenghuni ini?” Berulang kali Hajar menyerukan, namun Ibrahim ‘alaihissalām sedikit pun tak menoleh. Lalu ia bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” Ibrahim ‘alaihissalām menjawab, “Benar.” Kemudian Hajar dengan penuh tawakal kepada Allah SWT berkata, “Kalau begitu, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Lalu, Ibrahim pun berlalu meninggalkan mereka. Ketika beliau telah sampai di suatu tempat di mana keluarganya tidak dapat melihatnya lagi, beliau berpaling sambil mengangkat kedua tangannya berdoa:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrāhīm: 37)
Perjalanan ruhaniah dan pergolakan spiritual Khalīlullāh Ibrahim ‘alaihissalām dalam menunaikan perintah penyembelihan sang anak kita tadabburi dalam surah Ash-Shaffāt: 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Maka ketika anak itu sampai (pada usia) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’”
Imam Ibnu Jarīr aṭ-Ṭabarī dalam tafsirnya meriwayatkan ungkapan kasih seorang anak kepada ayahnya yang teramat dicintainya menjelang penyembelihan:
“Wahai ayahku tercinta, sungguh maut itu sangat menyakitkan. Jika engkau hendak menyembelihku, maka kuatkanlah ikatan tali di tubuhku agar aku tidak mengamuk lalu menyakitimu, karena hal itu dapat mengurangi pahalaku. Tajamkanlah ujung pedangmu, agar engkau benar-benar dapat menyembelihku dengan baik, sehingga aku pun merasa lebih leluasa. Dan jika engkau membaringkanku di tempat penyembelihan, balikkanlah wajahku menghadap tanah. Janganlah engkau memandang wajahku, karena aku khawatir engkau akan merasa kasihan sehingga menghalangimu dari menaati perintah Allah. Dan jika engkau menginginkan bekas bajuku yang bersimbah darah untuk diperlihatkan kepada ibuku agar ia berbahagia denganku, aku persilakan engkau, wahai ayahku.” Ibrahim ‘alaihissalām menjawab, “Betapa engkau adalah buah hatiku yang teramat menggembirakanku dalam melaksanakan perintah Allah, wahai anakku.”
Ibrahim ‘alaihissalam menjawab, “Betapa engkau buah hati yang teramat menggembirakanku didalam melaksanakan perintah Allah wahai anakku.”
Sungguh potret kontemplasi kehidupan dan kepasrahan total yang autentik (istislām) kepada Allah Ta’ala, Tuhan Pencipta kita. Allāhu Akbar !