Oleh: KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I
Jumat sore, 9 Dzulhijjah 10 H, tepat pada haji wada’ yang dipimpin oleh Sayyidunā Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, Arafah dan para sahabat mulia menjadi saksi atas kesempurnaan Islam, dan dideklarasikan sebagai agama universal. Al-Imam Bukhari dan Muslim mengabadikannya dalam riwayat berikut:
Dari Umar bin Al-Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu:
“Ada seorang laki-laki Yahudi berkata, ‘Wahai Amīrul Mu’minīn, ada satu ayat dalam kitab kalian yang kalian baca. Seandainya ayat itu diturunkan kepada kami, kaum Yahudi, tentulah kami jadikan (hari diturunkannya ayat itu) sebagai hari raya (‘ied).’
Maka Umar bin Al-Khaththāb berkata, ‘Ayat apakah itu?’ Orang Yahudi itu berkata, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu menjadi agama bagi kalian.’ (QS Al-Māidah: 3)
Umar bin Al-Khaththāb radhiyallāhu ‘anhu pun menjawab, ‘Kami tahu hari tersebut dan tempat diturunkannya ayat itu kepada Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam, yaitu pada hari Jumat ketika beliau berada di ‘Arafah.’” (HR Muttafaqun ‘alaih)
Setelah empat belas abad berlalu, sore hari ini, Kamis, 9 Dzulhijjah 1446 H, kaum Muslimin sepatutnya menjadi syuhadā’ atau para saksi atas apa yang telah dipersaksikan oleh Nabiyullāh dan kaum Muslimin yang berhaji bersama beliau. Islam telah paripurna sebagai the way of life bagi umat manusia secara universal. Wukuf di Arafah merupakan momentum spiritual untuk meneguhkan keimanan atas kesempurnaan Islam di tengah derasnya arus globalisasi.
Era globalisasi menampilkan dunia yang tanpa batas—bahkan agama sekalipun. Dalam konteks hubungan dan dialog antaragama, kita mengenal istilah Abrahamic Faiths (agama-agama Abrahamik); sebuah pemikiran teologis yang mengandaikan kesatuan tiga agama Semitik: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Istilah Abrahamic Faiths populer setelah diadakannya Konferensi Muslim-Yahudi-Kristen (The Muslim-Jewish-Christian Conference) pada tahun 1979 di New York oleh American Academy of Religion. Tujuannya adalah mengupayakan komunikasi damai antartiga agama Semitik tersebut. Kaum pluralis yang menggagas teologi ini berusaha menemukan kompromi dan titik temu teologis di antara ketiganya. Mereka berasumsi bahwa ketiga agama Semitik tersebut dapat bertemu pada satu titik, baik dari sisi historis maupun teologis. Dari aspek historis, mereka berpendapat bahwa genealogi ketiga agama itu bertemu pada sosok Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim, menurut mereka, menurunkan dua bangsa: Bani Israil, yang darinya lahir agama Yahudi dan Kristen, serta bangsa Arab yang melahirkan agama Islam.
Klaim pluralis tersebut tentu tidak dapat dibenarkan, bahkan menjadi kerancuan yang ahistoris. Dalam sejarah Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wasallam, tampak beliau lebih condong menghadap ke arah Ka’bah di Makkah daripada ke Yerusalem. Secara historis, Makkah jauh lebih tua daripada Yerusalem. Yerusalem didirikan kurang lebih tiga milenium yang lalu pada masa Nabi Dāwūd ‘alaihissalām. Sementara itu, Makkah dengan Ka’bahnya dijelaskan oleh Allah SWT sebagai rumah suci pertama di muka bumi bagi seluruh manusia (QS Āli ‘Imrān: 96):
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”
Dalam catatan orang-orang Yahudi kuno, Makkah dikenal dengan sebutan Macoraba, yang berarti tempat mengorbankan atau tempat menjalankan korban. Fakta menunjukkan bahwa Ismā‘īl dan ibundanya, Hājar, tinggal di kota tua ini. Di samping itu, di area Mina terdapat jamārāt yang menjadi bukti perjalanan Ibrahim ‘alaihissalām menuju tempat penyembelihan putranya Ismā‘īl, yang dalam penuturan masyarakat Makkah dari masa ke masa terletak di salah satu sisi perbukitan—kini diabadikan dalam bentuk tugu.
Inilah yang dipertahankan oleh orang-orang yang meyakini ajaran keturunan Nabi Ibrahim dan Ismā‘īl, yang kemudian dibakukan sebagai syariat qurban dalam Islam dan dirayakan sebagai ‘Īdul Aḍḥā sepanjang masa. Sementara itu, hingga kini, di Yerusalem tidak ditemukan bekas dan jejak pengorbanan tersebut, meskipun orang-orang Yahudi meyakini bahwa anak yang disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah putranya yang lain, yaitu Ishāq ‘alaihissalām.
Dengan demikian, sangatlah logis jika Allah menegaskan dalam Al-Qur’an (QS Āli ‘Imrān: 67–68):
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا ۗ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah), dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya, dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepadanya). Dan Allah adalah Pelindung semua orang yang beriman.”
Demikianlah profil mulia seorang hamba Allah yang telah diabadikan dalam Al-Qur’an. Semoga kita sanggup dan bersedia meneladaninya:
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Kami abadikan untuk Ibrahim pujian yang baik di kalangan umat yang datang kemudian. Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ash-Shaffāt: 108–110)