web stats
Home » Al-‘Ibādāt al-Qalbiyyah wa Ātsāruhā fī Ḥayāti al-Mu’minīn(Ibadah-Ibadah Kalbu dan Jejaknya dalam Kehidupan Orang-Orang Beriman)

Al-‘Ibādāt al-Qalbiyyah wa Ātsāruhā fī Ḥayāti al-Mu’minīn(Ibadah-Ibadah Kalbu dan Jejaknya dalam Kehidupan Orang-Orang Beriman)

by Redaksi
0 comment

Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I

Jika kita menyebut istilah al-‘ibādāt al-qalbiyyah (ibadah-ibadah kalbu), maka secara logika juga ada yang disebut al-‘ibādāt al-jismāniyyah (ibadah-ibadah jasmaniah atau fisik). Artinya, ada ibadah yang dilakukan oleh anggota tubuh secara lahiriah, dan ada pula ibadah yang bersumber dari kedalaman hati.

Nah, mari kita telaah makna qalb atau kalbu itu sendiri. Dalam beberapa penjelasan di kitab-kitab para ulama, disebutkan bahwa al-qalbu yadullu ‘alā khishshatin wa syarāf, kalbu itu menunjuk pada sesuatu yang sangat istimewa, bersih, bening, dan mulia. Kalau dalam tubuh manusia, organ yang paling vital adalah jantung—dan dalam bahasa Arab, jantung disebut al-qalb.

Saya pernah mengurus jenazah di Makkah. Dalam surat keterangan wafat tertulis: as-sabab al-maut: tawqf al-qalb — sebab kematian: jantung berhenti berdetak. Jantung adalah organ yang tidak pernah berhenti bekerja, bahkan tidak mengenal waktu istirahat. Oleh karena itu, keberadaannya sangat penting dalam kehidupan manusia.

Nah, dalam konteks spiritualitas Islam, ketika kita berbicara tentang qalb al-insān—kalbunya seorang manusia—maka itu menunjukkan bagian terdalam yang paling otentik, paling jernih, dan paling mulia dari diri seorang muslim.

Para ulama menjelaskan bahwa: al-qalbu laṭīfah rabbāniyyah lahu ‘alāqah bi al-jism — kalbu adalah sesuatu yang bersifat halus dan ilahiah, namun memiliki hubungan dengan tubuh jasmani. Jadi, jangan bertanya, “Allah itu di mana?” Karena Allah berada di tempat yang tidak dapat dijangkau oleh makhluk. Ketika dikatakan “Allāhu fis-samā’,” itu bukan berarti Allah berada di langit fisik yang kita lihat, karena langit yang kita lihat memiliki batas pandang. Yang dimaksud adalah ketinggian yang sangat agung, bukan arah atau tempat yang bisa diindera.

Allah mengirimkan tanda-tanda keberadaan-Nya melalui ayat-ayat-Nya. Ayat-ayat ini adalah jejak-jejak ilahiah di alam semesta. Tugas kita adalah merenungi ciptaan-ciptaan Allah, tetapi kita tidak diperintahkan untuk memikirkan zat Allah, karena itu mustahil untuk dijangkau akal.

Nah, jejak-jejak keberadaan Allah ini bisa disebut sebagai kelembutan ilahiah yang memiliki hubungan dengan kalbu. Jika kalbu seseorang tetap jernih, bersih, tidak ternoda, maka dia akan lebih mudah menangkap sinyal-sinyal ilahiah itu. Tapi jika kalbunya kotor, maka sinyal itu akan mental, tidak masuk.

Misalnya dalam doa: Allāhumma innaka ḥāḍirun baina aidīnā – “Ya Allah, sungguh kami merasakan kehadiran-Mu di tengah-tengah kami.” Itu bukan berarti kehadiran secara fisik, tetapi secara maknawi. Rasa hadir itu bukan seperti melihat seseorang secara fisik, tetapi dirasakan melalui kalbu.

Atau dalam doa lain: Allāhumma innaka nāẓirun ilayya – “Ya Allah, sungguh Engkau sedang menatapku.” Itu bukan berarti seperti manusia yang sedang melotot, tapi maknanya adalah bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Memperhatikan. Ini semua adalah urusan maknawi, bukan jismāniyyah (fisik).

Maka ketika kita berdoa dengan penuh kekhusyukan, rasa itu bukan muncul dari otak atau pikiran semata, tapi dari dalam qalb. Doa yang khusyuk akan terasa berbeda—karena ada getaran dari dalam kalbu.

Saya beri contoh konkret. saat salat malam, ketika sujud dan berdoa, apa yang dirasakan? Apakah muncul getaran dalam hati? Bukan getaran seperti handphone, tentu, tapi getaran ruhani yang muncul karena doa dari kalbu yang tulus.

Misalnya, kita berdoa sambil membayangkan wajah orang tua yang sudah wafat. Saya pribadi, setiap membuka laptop, yang muncul pertama kali adalah foto Ibu saya. Kenapa? Karena memang saya setel seperti itu. Ketika membuka laptop, atau masuk ke ruang tengah, yang muncul pertama adalah wajah Ibu. Maka, ketika saya berdoa untuk beliau, ada rasa haru yang dalam. Itu bukan dari pikiran semata, tapi dari kalbu.

Kita bisa ucapkan kalimat yang sama dalam doa, tapi getarannya bisa sangat berbeda—tergantung seberapa dalam kalbu kita hidup dan terhubung dengan Allah. Maka mari kita jaga qalb kita agar tetap bening, agar tetap mampu menangkap sinyal dari Allah, agar ibadah kita bukan hanya gerakan jasmani, tetapi juga gerakan hati yang penuh makna dan rasa.

Mengapa Getarannya Berbeda? Karena Kalbunya Berbeda

Mengapa getarannya berbeda? Karena kalbunya berbeda. Ini yang dijelaskan oleh para ulama kita. Maka, ketika kita berdoa kepada Allah, kita tidak semata-mata menghubungkannya dengan akal, tetapi lebih menghubungkannya dengan kalbu.

Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبِ غَافِلٍ لَاهٍ

“Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati seorang hamba yang lalai dan tidak fokus.” (HR. Tirmidzi)

Kalau kita berdoa, harus fokus. Sampai-sampai kita mengangkat tangan. Betul, memang ada doa yang tanpa mengangkat tangan, bisa saja, tetapi kadang tidak selaras dengan rasa.

Dulu, waktu saya membimbing jamaah haji, ada kejadian menarik. Ada seseorang berdoa, bayangkan bagaimana ia bisa khusyuk. Mungkin ia sedang di Arafah, tapi baru saja beli es krim. Tangannya, tangan kiri, megang es krim, istrinya juga megang es krim. Akhirnya, dia berdoa sambil tangan kiri megang es krim, tangan kanan mengangkat seperti ini (mencontohkan), lalu berkata: “Ya Allah…” Nah, sekhusyuk-khusyuknya, pasti tetap terasa beda, karena es krim kelihatan, rasanya juga pasti beda.

Tapi memang itu sering terjadi saat orang wukuf di Arafah. Maka Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa di Arafah, sampai terlihat putih ketiaknya, saking tinggi dan sungguh-sungguhnya doa beliau. Terutama menjelang matahari terbenam, doa Nabi makin ekspresif.

Kami, kalau membimbing doa saat wukuf, biasanya di dalam tenda terlebih dahulu. Nanti, kalau sudah jam tertentu, kami ajak keluar. Tidak mungkin juga terus-terusan di luar tenda. Tapi itulah yang kami lakukan.

Inilah yang disebut dengan latīfatun rabbāniyyah, kelembutan ilahiah. Adanya getaran yang sangat halus. Getaran ini bergantung pada kondisi kita.

Itulah sebabnya mengapa kita jangan terlalu sering ikut grup-grup yang tidak jelas manfaatnya. Grup WhatsApp, grup media sosial—ini seringkali justru mengotori hati.

Kalbu itu tidak hanya punya koneksi dengan hal-hal gaib, tetapi juga secara fisik punya hubungan dengan kognitif kita, yaitu pikiran. Maka pikiran juga harus dijaga, karena jika kita terus-menerus berpikiran negatif, lama-lama kalbu kita juga ikut menjadi negatif.

Oleh karena itu, agar kalbu tetap bersih dan bening, salah satu caranya adalah dengan mengendalikan pikiran. Bagaimana cara mengendalikannya? Ya, jangan terlalu banyak ikut grup. Itu saja, sederhana.

Kadang, kalau keluar dari grup, kita dibilang sombong. Tapi akhirnya, kerja kita hanya menghapus-notifikasi, terus-menerus. Jujur saja, jamaah sekalian, semua kita pasti mengalami itu. Ada yang rajin kirim pesan terus-menerus—kadang tidak relevan. Akhirnya, kita sendiri yang kerepotan.

Jadi ini penting. Pikiran dan kalbu itu saling memengaruhi.

Peristiwa Dibelahnya Dada Nabi

Sekarang kita membaca beberapa keterangan dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Hadis yang pertama dari sahabat Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيْلُ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الغِلْمَانِ، فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ، فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ، فَاسْتَخْرَجَ القَلْبَ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً، فَقَالَ: هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ، ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ، ثُمَّ لأَمَهُ، ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ…

“Suatu ketika Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang bermain dengan anak-anak sebayanya, lalu datang Jibril ‘alaihissalām. Jibril memegangnya, merebahkannya, lalu membelah dadanya. Jibril mengeluarkan hatinya dan mengambil segumpal darah dari dalamnya seraya berkata: ‘Inilah bagian setan darimu.’ Lalu ia mencuci hati Nabi dalam bejana emas dengan air zamzam, setelah itu dijahit kembali dan dikembalikan ke tempat semula.”
(HR. Muslim dalam Kitāb al-Isrā` wa al-Mi‘rāj)

Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu mengatakan: “Aku pernah melihat bekas jahitan di dada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.”

Ini menjadi penegasan bahwa letak kalbu itu bukan di kepala, bukan di lutut, tetapi di dada (ṣadr). Maka wajar, ketika seseorang merasa sedih atau gembira, pasti yang terasa adalah bagian dada. Saat kecewa pun, yang dipegang biasanya dada, bukan siku.

Oleh karena itu, para mufasir rahimahumullāh menafsirkan ayat:

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ۝

“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?” (QS. Asy-Syarḥ: 1)

Mereka menjelaskan bahwa ketika seseorang mengalami tekanan batin, yang terasa adalah sesak di dada. Ketika seseorang depresi, napasnya menjadi tidak beraturan. Maka wajar, dalam ilmu public speaking, salah satu hal penting adalah pengaturan napas.

Jadi, saudara sekalian, apa yang dilakukan oleh Jibril ‘alaihissalām dengan membelah dada Nabi dan mengeluarkan segumpal darah, itu adalah bagian dari proses penyucian jasmani dan ruhani Nabi. Tapi ini jangan dijadikan alasan untuk minta ke dokter bedah, “Tolong belah dada saya juga.” Itu tidak mungkin. Itu khusus untuk Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Itulah yang kita yakini: kalbu memiliki hubungan yang sangat kuat dengan perilaku jasmani

Manusia dalam psikologi Barat itu seolah tidak ada. Psikologi kita saat ini hanya membahas gejala-gejala yang timbul—seperti orang mabuk, mencuri, membunuh, na’ūdzu billāh min dzālik—semuanya itu yang dianalisis hanya aspek fisiknya saja. Lalu tidak ketemu, apa sebetulnya sebab orang melakukan hal-hal seperti itu. Ujung-ujungnya pasti aspek kognitif: entah pikiran, entah apa. Maka paling banter dia akan ditangani oleh psikiater. Ya, bukan begitu?

Jadi, kalau ada orang kemasukan jin lalu dibawa ke rumah sakit, ya paling-paling dikasih obat penenang. Padahal, persoalannya bukan di situ.

Kenapa bisa begitu? Karena memang teori-teori psikologi yang kita pakai sekarang ini adalah teori Barat, yang hanya memahami manusia dari aspek jasmaniah saja. Mereka tidak mengakui bahwa manusia memiliki aspek ruhani. Nah, inilah yang dijelaskan dalam Islam—bahwa manusia itu makhluk yang satu sisi bersifat jasmaniah, tetapi di sisi lain adalah makhluk ruhani, dengan potensi hati yang ada dalam kalbunya.

Oleh karena itu, ada hubungan timbal balik antara apa yang ada di kalbu kita dengan apa yang tampak dalam perbuatan melalui pancaindra kita.

Jamaah sekalian yang saya muliakan, bahkan kedokteran kita saat ini—termasuk kedokteran modern—belum mampu menyingkap apa sebenarnya rahasia dari segumpal daging yang disebut “’alaqah” itu, yang melekat di dalam tubuh kita.

وَأَمَّا الْوِجْدَانُ فَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى الْوُجُودِ

Dan adanya perasaan batin adalah bukti adanya sesuatu yang lebih dalam dari sekadar fisik.

Keterbatasan dunia medis dalam menyingkap hakikat terdalam dari kalbu manusia bukanlah bukti bahwa hal itu tidak ada, tetapi justru menunjukkan bahwa mereka belum menemukan jawabannya. Sekarang, coba lihat orang-orang sekuler, dari Tiongkok, Amerika, Eropa—mereka tidak percaya bahwa Jibrīl ‘alaihis salām pernah datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan membelah dadanya. Kalau ditanya pakai pisau bedah dan teknologi canggih masa kini, mereka tidak akan bisa menemukan itu.

Padahal sekarang teknologi sudah luar biasa. Contohnya waktu khitannya Azam. Dulu kakaknya dijahit sungguhan dan masih berdarah. Sekarang tidak ada darah sama sekali, hanya dijahit satu titik saja, selebihnya pakai lem kulit. Saya pun baru tahu, Bu, ternyata bukan pakai Alteco, tapi pakai lem khusus yang warnanya biru, teknologi medis terbaru. Canggih, ya, Pak? Masa Allah masih diragukan?

Oleh karena itu, jangan terlalu percaya pada teknologi. Dalam Al-Qur’an, surah Al-Hajj ayat 46, Allah berfirman:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang berada di dalam dada.”

Orang yang matanya normal, tidak pakai kacamata seperti kita, tapi perilakunya luar biasa buruk—itu karena hatinya yang buta. Bukan matanya.

Contohnya, suami yang berkewajiban menafkahi istri sesuai kemampuan. Tapi ada suami kerjanya cuma main gim saja. Istrinya belum diberi makan, belum diberi minum, eh malah marah-marah, lalu KDRT. Padahal sarjana, ijazah cum laude. Di kantor profesional, di rumah pelaku KDRT. Na’ūdzu billāh.

Lantas, yang buta itu apa? Matanya? Bukan. Hatinya yang buta.

Nabi ﷺ bersabda, dan ini bukan saya yang ngomong, ya—ini sabda Nabi:

“Perempuan itu, jika diberi sembilan dari sepuluh permintaannya, dan satu tidak dikabulkan, maka yang diingat adalah yang satu itu.”

Jadi, kalau minta sepuluh, dikasih sembilan, yang diingat yang tidak dikasih. Bukan persoalan gender, tapi perilaku. Nabi menyebutkan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah perempuan, bukan karena jenis kelaminnya, tetapi karena sifatnya, seperti tidak pandai berterima kasih kepada suami (yakfurnal ‘asyīr). Itu bukan saya yang bilang, itu Nabi.

Sama juga dengan kita, para bapak. Kadang kita menganggap sepele hal-hal kecil, seperti beristinja. Padahal banyak lelaki masuk neraka bukan karena syirik, tapi karena tidak bersih saat buang air kecil.

Saya pernah cerita soal perjalanan ke Cina. Kalau Bapak-Ibu ingin memahami betapa indahnya Islam, coba ke Cina. Di sana, toilet umum bersih, wangi, ada bunga. Tapi… baunya tetap ada. Kenapa? Karena mereka tidak bersuci dengan air.

Teman saya yang fanatik tisu berkata, “Ustaz, kan bisa pakai tisu?” Betul, kalau betul-betul tidak ada air. Tapi di sana air banyak, hanya saja mereka enggan menggunakannya. Semua serba digital, tidak ada keran air manual, apalagi di hotel.

Saya bilang ke teman-teman: “Teknologi Cina luar biasa, hanya satu yang kurang—enggak tahu cara cebok.” Islam itu tidak mengajarkan istinja pakai tisu, kecuali dalam keadaan darurat. Kalau air ada, ya pakai air. Itu syariat. Kalau tidak ada air, barulah tayamum, atau bersuci dengan batu (istijmār).

Jadi, standar kita adalah: istinja dengan air, istijmār dengan batu atau daun kering, kalau tidak ada air. Nah, di Cina, hidup seolah dipaksa tidak normal.

Azan? Setahun hanya boleh pakai speaker tiga kali: Jumat, malam Idul Fitri, dan malam Idul Adha. Selain itu, tidak ada azan. Untung kita bawa HP, jadi bisa dengar ceramah, tausiyah. Google tidak berlaku di sana, semua pakai sistem pencarian sendiri. Jadi, kalau mau ke Cina, beli paket data dari Indonesia dulu, supaya tidak tersesat digital.

Bapak-Ibu yang saya muliakan, selama tujuh hari di Cina, saya tidak pernah buang air besar di luar hotel. Saya sampai berdoa, “Ya Allah, jangan sampai saya sakit perut di luar hotel.” Hikmahnya? Makan pun lebih hati-hati. Karena walaupun dijamin halal, tapi tetap saja hati ini sering waswas. Akhirnya saya hanya makan nasi dan buah. Satu hal yang berhasil saya pelajari: makan pakai sumpit. Awalnya jatuh terus, lama-lama lancar juga.

Wajar kalau mereka pencapaiannya luar biasa. Tapi sayang, tidak tahu siapa Tuhannya. Sayang sekali. Profesionalisme mereka luar biasa, kerja kerasnya juga luar biasa. Tapi tidak tahu siapa yang harus disembah.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00