web stats
Home » Milad Muhammadiyah ke-116: Warisan Generasi, Semangat Perjuangan, dan Visi Masa Depan

Milad Muhammadiyah ke-116: Warisan Generasi, Semangat Perjuangan, dan Visi Masa Depan

by Redaksi
0 comment

Dr. Askuri, M.Si

(Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Hari ini kita memperingati Milad Muhammadiyah yang unik. Milad Muhammadiyah selalu jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah, dua hari sebelum Idul Adha. Tahun ini, Muhammadiyah genap berusia 116 tahun, didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijjah 1330 H (1912 M). Jika dihitung hingga 1446 H, totalnya memang 116 tahun. Tidak banyak organisasi yang mampu bertahan lebih dari 100 tahun. Sebagai perbandingan, Budi Utomo—organisasi modern pertama Indonesia yang didirikan pada 20 Mei 1908 (diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional)—kini sudah tidak ada lagi. Banyak organisasi awal abad ke-20 yang punah, tetapi Muhammadiyah justru berkembang pesat.

Dulu, KH. Ahmad Dahlan bahkan harus menjual perabot rumah tangganya untuk membiayai Muhammadiyah. Kini, Muhammadiyah menjadi organisasi dengan aset terbanyak, meskipun sebenarnya tidak “kaya” dalam arti likuid. Sebagian besar asetnya adalah wakaf (tanah dan bangunan) yang tidak bisa digadaikan atau dijual. Ini bukti kepercayaan masyarakat yang mewakafkan hartanya untuk Muhammadiyah. Dalam mensyukuri Milad ke-116 ini, kita patut berbangga bahwa generasi penerus Muhammadiyah terus bermunculan. Pendirinya seperti KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo (generasi 1940-an), dan KH. Mas Mansur telah wafat, tetapi semangat mereka hidup melalui generasi baru. Bahkan ketua daerah Muhammadiyah yang kadang keliru pun tetap bangga menyatakan, “Saya Muhammadiyah!”

Generasi Muhammadiyah dari Masa ke Masa

Generasi pertama Muhammadiyah disebut silent generation (lahir sebelum 1945). Mereka bekerja tanpa publikasi, sesuai zaman kolonial yang sangat tertib administrasi. Misalnya, besluit (surat ketetapan) pendirian Muhammadiyah dari Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1912 masih tersimpan di Museum Muhammadiyah. Ciri silent generation adalah kesederhanaan dan ketertiban. KH. Ahmad Dahlan dimakamkan secara sederhana meskipun berstatus pahlawan. Namun, kelemahannya adalah kurangnya dokumentasi, sehingga kadang timbul sengketa wakaf. Dari sini, Muhammadiyah belajar pentingnya prinsip: “Lakukan yang kamu tulis, tulislah yang kamu lakukan.” Warisan terbesar generasi ini adalah jejak organisasi yang teradministrasi rapi, memudahkan generasi berikutnya mempelajari sejarah dan melanjutkan perjuangan.

Dan tidak ada satu pun organisasi yang sejak saat itu didirikan dan memiliki stambuk. Tahu stambuk? Itu bukan sembarang catatan—itu adalah daftar anggota. Dalam bahasa Belanda disebut stamboek. Nah, stambuk inilah yang kemudian menjadi cikal bakal NBM—Nomor Baku Muhammadiyah. Kalau Bapak-bapak punya NBM, itu asalnya dari stambuk dulu. Muhammadiyah sejak tahun 1912 sudah mulai menginisiasi pendataan keanggotaan. Di tahun itu, sudah ada daftar anggota. Zaman itu belum ada organisasi yang memiliki sistem keanggotaan seperti ini—kartu anggota, stambuk, atau sistem serupa. Hanya Muhammadiyah yang memilikinya. Maka, kita patut berbangga. Sampai saat ini, sudah jutaan orang yang tercatat sebagai anggota Muhammadiyah. Sebagian sudah wafat, sebagian lagi diteruskan oleh anak-anak dan keluarganya, yang tetap konsisten menghidupkan Muhammadiyah. Ini adalah sesuatu yang patut kita syukuri.

Itulah generasi silent—generasi senyap. Apa ciri utamanya? Ya itu tadi: tidak banyak bicara, tidak suka pamer, tapi bekerja dan berjuang dengan tulus. Contoh-contohnya bisa kita lihat dari para pendiri dan tokoh awal Muhammadiyah. Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kemudian ada Kiai Ibrahim. Ada yang tahu siapa Kiai Ibrahim? Beliau adalah pengganti Kiai Dahlan sebagai ketua Muhammadiyah setelah Kiai Dahlan wafat.

Kemudian ada Kiai Hisyam—beliau yang menginisiasi pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah pada masa awal. Lalu ada Kiai Mas Mansur. Ini tokoh besar! Beliau adalah salah satu pelopor kemerdekaan Indonesia, bersama Soekarno, pada masa penjajahan Jepang. Kiai Mas Mansur dipercaya oleh Jepang untuk membentuk PUTERA—Pusat Tenaga Rakyat—bersama Soekarno dan Mohammad Hatta. Artinya, beliau bukan tokoh ecek-ecek. Ini tokoh besar! Kiai Haji Mas Mansur adalah Ketua PP Muhammadiyah saat itu. Ketika direkrut Jepang ke Jakarta untuk mendirikan PUTERA, beliau ikut berjuang. Namun setelah Jepang kalah perang dan Belanda kembali masuk, beliau justru ditangkap dan dituduh sebagai kolaborator Jepang—dituduh sebagai antek penjajah. Dan akhirnya wafat di penjara. Itulah risiko perjuangan. Di satu zaman bisa dipahlawankan, di zaman lain bisa difitnah. Namun betapa kuatnya prinsip Kiai Haji Mas Mansur untuk terus memperjuangkan nilai-nilai yang dipegang Muhammadiyah.

Lalu ada Ki Bagus Hadikusumo. Beliau dikenal sebagai tokoh penting dalam perumusan Piagam Jakarta. Jadi, kalau kita mempelajari tokoh-tokoh Muhammadiyah zaman dulu, itu artinya kita juga sedang mempelajari sejarah bangsa ini. Kiai Haji Ki Bagus Hadikusumo adalah tokoh yang sangat ingin agar Indonesia merdeka sebagai negara Islam—dengan tetap mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Namun setelah ada veto dan kritik, terutama dari Indonesia Timur, Ki Bagus dengan legawa—dengan ikhlas—menerima perubahan itu. Beliau berkata, “Kalau memang kita ingin semua bergabung dalam satu bangsa, saya ikhlas. Negara ini tidak harus disebut negara Islam, tetapi harus berbasis pada nilai-nilai agama.” Maka sila pertama tetap dipertahankan: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Itulah perjuangan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Oleh karena itu, dengan mempelajari sejarah mereka, kita perlu terus memberi rasa hormat, meskipun sebagai manusia tetap ada pro dan kontra. Tapi satu hal yang pasti, mereka adalah orang-orang hebat pada masanya. Itulah generasi silent-nya Muhammadiyah.

Lalu, seiring berjalannya waktu, tahun 1945 Indonesia merdeka. Tanggal berapa? Ya, 17 Agustus 1945. Tahun itu juga menandai berakhirnya Perang Dunia II. Perang Dunia II sendiri dimulai tahun 1939. Saat itu Jerman menyerang negara-negara Eropa, sementara Jepang menyerang negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942, dan Indonesia merdeka tahun 1945. Tahun 1945 itu juga menjadi tanda berakhirnya Perang Dunia II, karena Jerman kalah, Jepang menyerah.

Nah, setelah perang usai, muncul generasi baru. Disebut generasi baby boomer. Kenapa disebut begitu? Karena pada masa perang, orang takut punya anak. Tapi setelah perang berakhir, orang berbondong-bondong ingin punya anak, bahkan banyak anak. Maka terjadilah ledakan kelahiran—baby boom. Orang-orang yang lahir pada tahun 1945 ke atas, rata-rata punya banyak saudara—bisa belasan.

Lepas dari beban Perang Dunia Kedua, orang-orang yang lahir sekitar tahun 1945 hingga akhir 1960-an—bahkan sampai awal 1970-an—disebut sebagai generasi baby boomer. Ciri khas dari generasi ini salah satunya adalah jumlah saudara yang banyak. Apa karakteristik utama generasi ini? Karakter utamanya adalah solidaritas yang tinggi. Dalam satu keluarga bisa terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang jumlahnya belasan. Ekonomi saat itu pun belum stabil. Misalnya, satu telur dadar bisa dibagi menjadi sepuluh bagian. Benar, kan, Pak? Dibagi sepuluh.

Karena kondisi seperti itu, nilai solidaritas antar saudara menjadi sangat kuat. Misalnya, jika salah satu saudara belum makan atau belum pulang, yang lain akan mencemaskan dan memperhatikan. Maka, generasi yang lahir di era 1945–1960-an ini dikenal dengan semangat solidaritasnya. Mereka tumbuh dalam kondisi ekonomi pas-pasan, tapi punya kebersamaan yang luar biasa. Kita patut memberikan penghormatan kepada mereka, generasi yang tangguh dan penuh solidaritas.

Siapa saja contoh tokoh Muhammadiyah dari generasi baby boomer? Salah satunya adalah AR Sutan Mansur, kakak dari Buya Hamka. Solidaritasnya tinggi dan menjadi bagian dari kekuatan Muhammadiyah saat itu.

Efek dari generasi baby boomer ini sangat terasa bagi Muhammadiyah. Pada era 1940–1960-an, pertumbuhan sekolah-sekolah Muhammadiyah semakin pesat dan merata. Kenapa? Karena dilandasi semangat solidaritas. Banyak orang miskin tidak bisa sekolah, maka didirikanlah sekolah di berbagai tempat agar anak-anak bisa mendapatkan pendidikan. Dengan pendidikan, mereka bisa memperjuangkan nasibnya dan masa depannya.

Kalau anak-anak tumbuh tanpa sekolah, mereka hanya akan menggantungkan hidup dari warisan. Misalnya, petani di Jawa yang memiliki lahan 1000 m², lalu dibagi kepada lima anak—masing-masing dapat 200 m². Kemudian jika satu anak memiliki sepuluh anak lagi, lahannya jadi makin sempit dan akhirnya tidak cukup untuk bertani. Inilah yang disebut dengan shared poverty, atau kemiskinan yang diwariskan. Karena itu, satu-satunya cara keluar dari kemiskinan adalah melalui pendidikan.

Di masa Kiai Hisyam, semangat pendidikan ini sudah mulai digaungkan. Lalu diteruskan oleh murid utamanya, Kiai Yunus Anis, yang sangat gencar mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Itu adalah warisan generasi baby boomer. Meski wataknya cenderung kolot, kalau sudah punya pendirian, sulit berubah. Mereka pegang teguh prinsip—garis lurus, tidak bisa ditekuk.

Jadi, orang-orang yang lahir antara tahun 1945 hingga akhir 1960-an itu disebut sebagai generasi baby boomer.

Lanjut ke generasi berikutnya—saya sampai jam berapa ini, Pak? Wah, jangan sampai besok nggak bisa sahur…

Generasi berikutnya disebut Generasi X. Kenapa disebut X, saya juga kurang tahu, tapi begitu namanya. Generasi X ini adalah orang-orang yang lahir sekitar tahun 1970-an hingga 1990-an.

Karakter utama generasi X adalah strong, kuat, memiliki karakter tangguh. Pada masa itu, Indonesia baru saja melewati peristiwa Gestapu tahun 1965. Kondisi ekonomi porak-poranda, kelaparan masih terjadi, dan kesejahteraan belum merata. Kalau 30 tahun sebelumnya telur dibagi 10, sekarang mungkin dibagi 20.

Tapi yang menonjol dari generasi ini adalah semangat belajarnya. Sekolah sudah mulai banyak. Meski miskin, mereka tetap semangat sekolah. Saya sendiri dulu sekolah di SD Inpres, sekolah-sekolah hasil program pemerintah di tahun 1970-an.

Meskipun ke sekolah tanpa sepatu—nyeker istilahnya—mereka tetap semangat belajar dan lulus dengan ijazah asli, bukan palsu. Karena itu, saat mereka dewasa, mereka sudah mulai memetik hasil pendidikan. Lapangan pekerjaan mulai terbuka, dan dengan ijazah yang dimiliki, mereka bisa mengakses berbagai pekerjaan dan hidup lebih sejahtera.

Nah, generasi X ini umumnya minimal lulus SMA, dan paling tidak SMP. Karena itulah, saat memasuki usia dewasa di tahun 1990-an, mereka bisa hidup lebih sejahtera dibanding generasi sebelumnya. Dari sinilah lahir generasi baru: Generasi Y, atau yang dikenal sebagai generasi milenial.

Generasi milenial adalah generasi peralihan, yakni mereka yang lahir antara tahun 1990 hingga awal 2000-an. Ciri khas generasi ini adalah setengah dari masa hidupnya tidak digital, sedangkan setengah lainnya tumbuh dalam era digital. Jadi, mereka mengalami dua dunia: masa kecil bermain layangan, masa remaja dan dewasanya main gim.

Ini menciptakan karakteristik tersendiri dalam tubuh Muhammadiyah, khususnya kader-kader muda dari generasi ini yang memanfaatkan teknologi digital untuk mengekspresikan dan menyebarkan idealisme mereka. Contohnya siapa? Ustaz Adi Hidayat, salah satu tokoh generasi milenial yang lahir pada 1990-an. Ketika menyadari potensi teknologi digital, ia langsung menggunakannya sebagai sarana dakwah, dan hasilnya luar biasa.

Banyak ustaz populer saat ini berasal dari generasi ini—seperti Ustaz Abdul Somad, Adi Hidayat, Ustaz Ja’far, dan lainnya. Mereka menggunakan teknologi untuk menyebarkan dakwah secara luas. Ini menjadi karakteristik dakwah Muhammadiyah di era baru.

Coba lihat, berapa persen anak muda yang hadir dalam pengajian-pengajian Muhammadiyah hari ini? Hanya 5–10 persen. Selebihnya diisi oleh generasi tua. Kenapa? Karena anak muda lebih memilih mendengarkan ceramah Ustaz Adi Hidayat sambil nongkrong, tiduran, atau sambil mengerjakan hal lain. Sedangkan di masjid, yang mengisi pengajian seringkali itu-itu saja, tidak ada variasi.

Apakah salah anak-anak muda? Tidak bisa kita salahkan mereka. Justru kita yang harus berbenah. Bagaimana membuat masjid kembali dicintai oleh anak-anak muda? Salah satu caranya adalah dengan belajar dari masjid-masjid yang berhasil membina pemuda.

Contohnya Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, yang dikenal sebagai masjid seribu pemuda. Tapi jangan hanya sebut Jogokariyan terus. Masjid Al-Falah di Sragen juga keren, dan itu masjid Muhammadiyah. Kita, warga Muhammadiyah, juga harus punya kebanggaan terhadap masjid sendiri yang aktif membina generasi muda.

Selanjutnya adalah Generasi Z, yaitu anak-anak yang lahir mulai tahun 2000-an. Mereka tumbuh sepenuhnya dalam era digital. Sejak bayi, mereka sudah bisa mengakses internet, membuka YouTube, membuat akun media sosial, dan memamerkan selfie di Instagram maupun TikTok.

Generasi ini mengalami banyak kemudahan dalam hidupnya. Maka, tak heran jika mereka sulit diatur. Coba ajak ke masjid: “Nak, ikut pengajian, ya.” Jawabnya, “Pengajian apa lagi?” Karena bagi mereka, semua bisa diakses lewat YouTube. Ngapain ke masjid?

Oleh karena itu, kita, para aktivis dan kader Muhammadiyah, harus menyadari adanya perubahan ini. Jangan asal menyalahkan TikTok, Instagram, atau media sosial lainnya. Bahkan ada yang sampai mengharamkan platform-platform itu. Tapi kita lupa: ada miliaran orang di TikTok. Kalau tak ada satu pun dai atau mubaligh yang hadir di sana, maka platform itu akan menjadi ladang maksiat semata.

Sebaliknya, kita harus hadir di sana. Jika anak-anak senang TikTok, biarkan mereka berekspresi—tapi arahkan untuk menyebarkan positive vibes dan semangat Islam yang membangun. Latihlah mereka di masjid untuk membuat konten dakwah. Misalnya, membuat TikTok dakwah, film pendek Islami, atau bahkan hanya membuat quotes yang menginspirasi. Tidak perlu lebay, cukup positif dan membangun.

Itulah karakter generasi yang akan mempengaruhi wajah dakwah Muhammadiyah ke depan.

Terakhir, ada Generasi Alpha, yaitu mereka yang saat ini sedang duduk di bangku SD dan SMP. Generasi ini masih mencari bentuk, dan kita belum tahu persis seperti apa karakter mereka nantinya. Tapi satu hal pasti: kita harus bersiap sejak sekarang agar mereka tumbuh dalam ekosistem dakwah yang relevan dan menyenangkan.

Nah, yang terakhir adalah Generasi Beta. Generasi Beta adalah anak-anak yang lahir mulai tahun 2025. Jadi, saat ini, tahun 2025, telah muncul generasi baru setelah Generasi Alpha.

Apa pentingnya kita mempelajari berbagai generasi ini?

Satu hal yang perlu kita camkan bersama: Muhammadiyah bisa bertahan lebih dari 116 tahun karena dihidupi oleh berbagai generasi yang terus silih berganti. Oleh karena itu, antar generasi tidak perlu saling menyalahkan. Jangan sampai generasi tua menyalahkan yang muda, atau generasi muda menganggap yang tua itu kolot dan tidak relevan.

Keduanya justru harus saling melengkapi. Anak-anak muda perlu diarahkan untuk melibatkan generasi tua agar mendukung aktivitas mereka. Demikian pula, generasi tua jangan mudah menghakimi atau men-judge bahwa aktivitas anak muda hanya penuh hura-hura tanpa manfaat.

Memang beda zaman, beda gaya. Dan perbedaan ini harus kita sadari dan sikapi dengan bijak.

Saya ingin menutup dengan mengutip firman Allah ﷻ dalam Surah Al-Hasyr ayat 18:

يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Ayat ini sering dibacakan dalam setiap milad Muhammadiyah. Frasa “hari esok” dalam ayat tersebut memiliki banyak makna: bisa berarti lusa, tahun depan, sepuluh tahun ke depan, bahkan setelah kematian. Maka, ketika kita mendidik generasi muda, kita harus bersikap visioner—punya pandangan jauh ke depan. Kira-kira sepuluh tahun lagi akan seperti apa? Dua puluh tahun lagi akan seperti apa? Lima puluh tahun ke depan seperti apa?

Untuk itu, kita harus rajin membaca dan memperhatikan hasil riset. Ini ada satu data menarik: sekarang tahun 2025, dan menurut data statistik, 50 tahun lagi umat Islam akan menjadi mayoritas di muka bumi. Ini bukan ramalan, tapi statistik ilmiah.

Mengapa demikian?

Karena saat ini, meskipun umat Kristen masih menjadi mayoritas penduduk dunia, angka kelahiran di negara-negara Kristen terus menurun drastis. Mengapa bisa begitu? Karena sedang terjadi yang disebut dengan resesi seks—istilah sosiologis yang artinya banyak anak muda, terutama di Eropa dan Jepang, tidak lagi berminat menikah, apalagi punya anak.

Bagi mereka, pernikahan dianggap mahal dan tidak menguntungkan. Menikah butuh biaya lamaran, biaya pernikahan, lalu harus beli rumah, mobil, dan menanggung biaya anak—bagi mereka ini tidak masuk akal. Maka mereka lebih memilih hidup untuk kesenangan pribadi.

Lahir istilah childfree—hidup tanpa anak. Nah, karena itu, angka kelahiran di negara-negara maju terus menurun. Contoh di Jepang, saat ini sekitar 5% desa di Jepang sudah tutup—tidak ada lagi penduduknya. Yang tua-tua sudah meninggal, sementara yang muda hijrah ke kota. Kampung-kampung pun kosong.

Sebaliknya, di negara-negara Islam, kita masih menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan. Oleh karena itu, para orang tua harus tetap “cerewet” dalam urusan pernikahan anak-anaknya. Kalau anak sudah berusia 25 tahun, segera dikejar: “Kapan nikah?” Kalau tidak, bisa jadi mereka ikut-ikutan tren tidak menikah.

Menjaga tradisi pernikahan yang baik ini adalah bentuk jihad kita untuk mempertahankan eksistensi umat Islam ke depan. Karena 50 tahun lagi, kita berpotensi menjadi mayoritas penduduk dunia, dan itu hanya akan tercapai jika kita serius menata keluarga dan kaderisasi.

Umat Islam, termasuk Muhammadiyah, harus benar-benar memperhatikan semangat dan masa depan kader-kadernya. Jangan sampai ada kader yang dibiarkan menjomblo seumur hidup.

Kalau ada kader Muhammadiyah yang lama menjomblo, ya Ketua Pimpinan Daerah harus ikut bertanggung jawab—bantu carikan jodohnya! Ini bukan bercanda. Ini adalah bentuk keseriusan kita membangun masa depan umat.

Dengan semangat milad Muhammadiyah ini, mari kita miliki visi ke depan. Apa yang akan terjadi di hari esok? Itu benar-benar harus kita rencanakan dengan baik dan matang.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00