Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I
Kita melanjutkan kajian kitab Al-‘Ibādāt al-Qalbiyyah—ibadah-ibadah kalbu—dan jejaknya dalam kehidupan keseharian orang-orang beriman. Pada kajian Jumat sebelumnya, terjadi diskusi—bukan perdebatan—tentang: di mana letak kalbu? Di mana letak akal
Sejarah mencatat bahwa Baginda Rasulullah ﷺ pernah dibersihkan kalbunya oleh Allah. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu, dikisahkan bahwa dada beliau dibelah, lalu dikeluarkan segumpal daging, dimasukkan ke dalam bejana dari emas, dan disucikan dengan air Zamzam. Itu fakta.
Dalam penjelasan para ulama, kalbu itu fī al-ṣudūr—di dalam dada. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al-Ḥajj ayat 46:
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Ḥajj: 46)
Jadi, berdasarkan ayat ini, letak kalbu itu ada di dalam dada. Maka, tidak perlu kita berdebat lagi.
Lalu, akal itu di mana? Aktivitas akal ternyata berada di hati. Allah berfirman:
لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَعْقِلُونَ بِهَا
“Mereka memiliki hati, tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami (berakal) dengannya.” (QS. Al-A‘rāf: 179)
Akal dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘aqala–ya‘qilu, yang maknanya adalah membatasi. Maka, orang yang berakal adalah orang yang sadar bahwa dirinya penuh keterbatasan, dibatasi oleh Allah. Jika kita tidak ingin dibatasi oleh Allah, maka itu berarti kita tidak berakal.
Orang yang tidak berakal dalam bahasa Arab disebut majnūn. Kata ini berasal dari akar kata jinn, yang juga satu akar dengan kata jannah (taman). Kenapa taman disebut jannah? Karena lebatnya pohon menutupi apa yang ada di belakangnya. Maka, majnūn adalah orang yang akalnya tertutupi. Secara fisik mungkin sehat, tetapi tidak tahu batasan dalam hidup. Inilah yang dalam bahasa kita disebut “gila”, walaupun makna asal katanya adalah tertutupnya akal.
Dalam konsep Islam, bukan secara fikih, tetapi secara maknawi, orang yang akalnya tidak berfungsi disebut tertutup akalnya. Banyak orang secara fisik sehat, tetapi jiwanya tidak. Contohnya, mereka yang bermain judi online—padahal banyak di antaranya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, kita punya perwakilan yang majnūn—akal sehatnya tertutupi.
Aktivitas berpikir dan memahami, itu adalah aktivitas kalbu. Maka, hal-hal seperti ini penting kita sadari. Dalam ayat yang sama di Surah Al-Ḥajj ayat 46, Allah berfirman:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu hati mereka dapat memahami dengannya?”
Artinya, apakah mereka tidak mengembara, tidak berkeliling melihat dunia, hingga hatinya bisa berfungsi sebagai alat berpikir?
Jika kita tidak pernah merasakan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina, itu mungkin karena kita tidak pernah ke sana. Tapi sekarang ada banyak cara, bahkan secara virtual, kita bisa melihat bagaimana mereka dibunuh, diperkosa, anak-anak dibom, dan seterusnya.
Namun, tiba-tiba ada lima orang yang disebut intelektual pergi ke sana dan duduk bersama presiden pembunuh—presiden paling zalim dan bejat sedunia—kok bisa duduk ngopi bareng? Masa disebut intelektual? Dalam konteks ini, maaf, mereka itu orang gila, bukan intelektual.
Sahabat saya, Dr. Syamsuddin Arif, menyebut mereka sebagai “intelektual diabolistik”—yakni intelektual yang perilakunya seperti setan. Diabolistik dari kata diabolos, yakni sifat setan. Kalau saya bilang “kesetanan”, nanti dibilang kerasukan. Bukan itu maksudnya, tapi mereka itu pemikir, tetapi perilakunya setan.
Kemarin saya lihat di televisi, ketika wartawan bertanya siapa yang membiayai mereka, mereka tidak mau menyebutkan. LSM mana yang mendanai mereka pun tidak jelas. Apakah ini terkait Yahudi di Indonesia? Tidak dijawab juga.
Sementara kami, dua pekan lalu pergi ke Tiongkok dan berdialog langsung dengan para otoritas, termasuk Menteri Luar Negeri. Semua dokumentasi ada di Instagram saya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Tapi mereka? Duduk ngopi bareng penjahat perang, lalu tak ada satu pun informasi yang dibuka. Ini patut dicurigai.
Saya berani menyebut: lima orang itu dipecat oleh PBNU dari kepengurusan. Ini bukan main-main. Inilah yang disebut intelektual setan—intelektual diabolistik. Tidak punya hati. Kalau bahasa orang tua kita: “pintar, tapi tidak pakai hati.”
Saudara-saudari sekalian, bayangkan: bagaimana mungkin kita duduk santai bersama orang yang telah membunuh ibu kita, menghancurkan bayi-bayi tak berdosa? Itu hanya bisa dilakukan oleh orang gila. Orang normal tidak akan sanggup.
Contoh ini mungkin hangat karena sedang viral, tapi saya ingin tunjukkan kepada hadirin: di mana letak akal yang sebenarnya?
Kecerdasan kognitif di kepala tidak menjamin orang itu punya hati. Maka, saya sepakat dengan seorang tokoh yang mengirim surat edaran agar tidak perlu dipanggil profesor. Karena sekarang ini, banyak tokoh politik tiba-tiba jadi profesor. Alasannya menarik: agar tidak terjadi sakralisasi gelar akademik. Sebab banyak yang membeli gelar profesor, bahkan ada rektor yang bisa dibayar. Menteri pun bisa ikut memuluskan prosesnya.
Jadi banyak orang yang jasadnya sehat, tetapi tidak punya hati dan tidak punya akal. Paham ya?
Karena itu, kita tidak perlu memperdebatkan apakah yang memengaruhi hidup manusia itu akal atau pikiran. Yang paling pokok untuk dikelola adalah kalbu. Karena jika kalbu yang ada di dada itu baik, maka aktivitasnya—yaitu berakal—akan berjalan dengan baik. Bila aktivitas akal ini berjalan dengan baik, maka pikiran juga akan berjalan baik. Dan itu akan memengaruhi perasaan, perilaku, dan semuanya.
Inilah yang harus kita kelola. Maka, sekali lagi saya tegaskan: kalbu itu tempatnya di dada. Aktivitasnya disebut berakal. Jangan disalahpahami—berakal bukan sekadar berpikir, tapi menggunakan hati secara sadar, penuh tanggung jawab.
Dan kalbu yang berakal akan memengaruhi seluruh kehidupan kita—pikiran, perasaan, perilaku, dan keputusan-keputusan kita.
Para ulama kita mengatakan bahwa:
“Al-qalbu mākānun nuzūl al-wāridāt al-ilāhiyyah”,
Kalbu adalah tempat turunnya sinyal-sinyal Ilahi.
Analoginya, seperti handphone yang kita gunakan: ia tidak menerima huruf-huruf yang tampak secara kasat mata, melainkan sinyal. Ketika ada pesan masuk melalui WhatsApp, kita tidak melihat sinyal itu secara fisik, karena ia bekerja melalui koneksi ke menara-menara pemancar yang tinggi. Proses ini dinamakan al-wāridāt, yaitu sinyal atau pancaran.
Dalam hubungan manusia dengan Allah, Allah senantiasa mengirimkan sinyal-sinyal Ilahi, yaitu petunjuk-petunjuk dan tanda-tanda-Nya. Nah, di mana sinyal itu diterima? Para ulama menyatakan bahwa tempat turunnya sinyal Ilahi itu adalah kalbu.
Maka, jangan heran jika kita melihat pasangan suami istri yang salah satunya tuna netra dan yang lain tuna daksa, bisa saling menuntun dengan penuh kasih sayang. Sementara di sisi lain, ada keluarga yang secara fisik utuh namun tidak saling terhubung, masing-masing berjalan sendiri tanpa kepedulian. Itu semua soal kalbu.
Para ulama menyampaikan bahwa kalbu sangat penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Anfāl ayat 24:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ ۖ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila Dia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. Ketahuilah bahwa Allah membatasi antara seseorang dan hatinya, dan bahwa kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
Dalam tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa ayat ini memerintahkan orang-orang beriman agar segera memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya terhadap apa yang akan menghidupkan mereka secara hakiki, yaitu ajaran Islam.
Tanpa Islam dan iman, hidup kita tidak memiliki makna. Ketika sakit, Islam mengajarkan doa-doa yang menguatkan; saat wafat, seorang Muslim dimuliakan dengan dimandikan, dikafani, disalatkan, dan didoakan.
Bahkan, dalam kubur sekalipun, Islam mengajarkan adab dan penghormatan, seperti menyapa penghuni kubur:
“Assalāmu ‘alaikum yā ahlal-qubūr.”
Ruh mereka tetap hidup dan mampu menerima doa-doa dari yang masih hidup.
Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ketika seseorang mengucapkan shalawat kepada beliau, Allah mengembalikan ruh beliau sehingga beliau bisa menjawab salam itu. Maka, bila kita membaca:
“Allāhumma shalli ‘alā Muhammad,”
tanpa perantara teknologi apapun, Rasulullah ﷺ membalas salam itu secara langsung.
Ini bukti bahwa ruh tetap hidup. Rasulullah ﷺ pernah menjadi imam bagi para nabi di Masjidil Aqsha, berdialog dengan para arwah nabi terdahulu saat Isra’ dan Mi’raj.
Di alam barzakh, ruh para mukmin pun tetap beribadah: rukuk, sujud, berdzikir—bukan dalam bentuk ibadah taklif (yang terikat kewajiban syariat dunia), tetapi ibadah tasyrif, yakni ibadah sebagai bentuk kemuliaan ruh di hadapan Allah.
Namun, sangat disayangkan bila seseorang semasa hidupnya tidak mengenal salat, tidak mengenal amalan ibadah, dan enggan belajar agama. Besok di alam kubur, ia akan sendirian, bengong, disiksa. Itu karena ruhnya tidak punya bekal.
Sebaliknya, orang yang gemar menghadiri pengajian seperti ini, insyaallah, ruhnya akan ditemani oleh amal saleh di alam barzakh. Amal tersebut akan menjelma menjadi sosok yang mendampingi, menenangkan, dan menghibur. Maka jangan malas belajar ilmu agama. Karena nanti ruh kita akan ditanya, dan amal pengajian kita akan datang menyapa:
“Ana ‘amaluka.”
Aku adalah amalmu.
Maka, semakin banyak amal saleh, semakin banyak pula pendamping ruh kita kelak. Jika sedikit amal saleh, maka ia akan sendiri dan tetap menerima azab. Betapa berat.
Itulah pentingnya pemahaman tentang kalbu, tentang ruh, dan pentingnya memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Dalam ayat tadi, kalbu disebutkan secara khusus karena memang menjadi pusat penerimaan sinyal-sinyal Ilahi. Ia menentukan hidup-matinya jiwa manusia.
Jika kita tidak memenuhi seruan Allah, berarti kita sedang membunuh kehidupan kita sendiri—secara perlahan. Sebaliknya, setiap kali kita salat, setiap kali kita mengaji, setiap kali kita menggerakkan hati untuk kebaikan, sejatinya kita sedang berkata kepada Allah:
“Labbaikallāhumma labbaik.”
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah.”
Sebaliknya, jika kita tidak memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya kita sedang melakukan “bunuh diri spiritual”. Tidak perlu menunggu malaikat Izrail datang ke Condong Catur—kita sudah mati. Kapan kita mati? Saat kita abai terhadap seruan Allah dan Rasul-Nya.
Karena itu, mari kita perhatikan firman Allah:
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Dan ketahuilah bahwa Allah membatasi antara manusia dan hatinya…” (QS. Al-Anfal: 24)
Apa kata Imam As-Sa’di tentang ayat ini? Beliau menjelaskan bahwa kehidupan kita, baik kehidupan jasmani maupun ruhani, bergantung sepenuhnya pada penghambaan murni kepada Allah dan konsistensi dalam menaati-Nya. Dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, kita mendapatkan ḥayāt al-qalb (kehidupan hati) dan ḥayāt ar-rūḥ (kehidupan ruh).
Sebaliknya, jika kita mengabaikannya, maka kita akan mengalami maut al-qalb (kematian hati) dan maut ar-rūḥ (kematian ruh). Ini bukan soal wajib atau tidak wajib—tetapi tentang efek dan dampaknya.
Kita ini sudah bukan pada usia produktif secara duniawi. Banyak di antara kita sudah pensiun. SK-nya sudah turun. Artinya, instansi sudah tidak membutuhkan kita lagi. Maka apa yang kita lakukan sekarang? Setiap hari kita ikut kajian—hari ini di sini, besok di Banteng, lusa di Pandean, kemudian di Suciati, dan seterusnya. Artinya, sekarang waktunya memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama.
Sebelum terlalu jauh, coba kita cek relasi paling dasar: siapa yang tidur satu ranjang dengan kita? Istri kita. Siapa yang makan satu piring? Siapa yang mandi di rumah yang sama? Cek itu dulu. Tidak ada artinya salat, zakat, puasa, dan haji berulang kali jika relasi antara suami-istri dan anak-anak masih bermasalah.
Para mufassir menafsirkan ayat tersebut dengan peringatan: “Hati-hatilah kalian jika menolak atau abai terhadap seruan Allah dan Rasul.” Karena apa? Karena bisa saja hidayah sudah datang, tapi kita berkata, “Nanti saja. Saya masih sibuk jadi wanita karier. Saya masih menjabat.” Padahal hati dan ruh kita ini sangat dekat dengan Allah. Allah tidak berada secara zat dalam hati kita, tetapi Allah sangat mudah membolak-balikkan hati kita.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Seseorang akan dimatikan oleh Allah sesuai dengan kebiasaannya di dunia.”
Kalau kebiasaannya memegang botol (mabuk), sulit baginya mati sambil memegang tasbih.
“Dan seseorang akan dibangkitkan sesuai dengan amalan terakhirnya di dunia.”
Jadi kalau seseorang terbiasa salat, rukuk, sujud, berbuat baik, maka saat ditiup sangkakala kedua, dia akan dibangkitkan dalam kondisi seperti itu. Maka, kalau pagi-pagi muncul rasa ingin mengaji, langsung saja penuhi. Jangan tunda-tunda, karena kita tidak tahu halangan apa yang akan datang.
Contohnya Pak Agus. Beliau sangat rajin mengaji, hadir di banyak kajian. Tapi jika bukan karena takdir Allah, siapa yang mau tidur di rumah sakit Sarjito? Bahkan meski ruangannya bagus, tidak ada yang ingin sakit. Namun saat beliau dirawat di ruang Cenderawasih, yang muncul dalam benaknya siapa? Orang-orang yang sering ia temui dalam kajian.
Karena itu, jangan sombong. Kita tidak bisa mendikte Allah. Jangan merasa aman dari makarnya Allah, karena orang yang merasa aman dari makar Allah itu adalah orang-orang yang merugi.
Kalau kita sedang diuji oleh Allah—sakit, bisnis merugi, karier stagnan—ingatlah rahmat-Nya. Kalau melihat orang berdosa, jangan langsung mencela. Ingatlah ampunan Allah. Kecuali jika yang berdosa itu adalah ilmuwan yang mengkhianati ilmunya—misalnya, pergi ke Israel—maka itu beda perkara, memang menyedihkan.
Tetapi, kalau kita dimudahkan untuk beramal saleh—mudah mengaji, mudah bersedekah, mudah membantu—maka hati-hatilah. Kita tidak tahu apakah amal itu diterima atau tidak. Maka, introspeksi itu penting. Sebaliknya, kalau sedang sakit atau diuji, jangan su’uzan kepada Allah, karena sakit itu bisa menggugurkan dosa.
Itulah makna dari firman Allah: “waʿlamū anna Allāha yaḥūlu bayna al-mar’i wa qalbih.” Kita tidak bisa menjamin hati kita selalu lurus. Maka Rasulullah ﷺ berdoa:
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Kalbu kita ini berada di antara jari-jari kekuasaan Allah. Kalau Allah kehendaki lurus, maka luruslah. Kalau Allah kehendaki bengkok, maka bengkoklah.
Oleh karena itu, saudara-saudara sekalian, mari kita renungkan kembali Surah Al-Anfal ayat 24 dan Surah Al-Kahfi ayat 14. Ashabul Kahfi adalah sekelompok pemuda marginal—orang-orang terpinggirkan karena kekuasaan yang sangat zalim di masa itu. Mereka sampai tidak bisa hidup di tengah masyarakat yang menindas, sehingga memilih mengasingkan diri ke dalam gua. Di sanalah mereka tertidur selama 309 tahun. Sampai-sampai, mata uang yang mereka bawa ketika masuk gua pun menjadi benda purbakala saat mereka terbangun.
Pertanyaannya, siapa yang mengikat hati mereka? Mengapa, dalam kondisi penguasa yang zalim, mereka masih bisa dengan tegas mengatakan, “Rabbunā Rabbus-samāwāti wal-arḍ” — Tuhan kami adalah Allah, Rabb langit dan bumi?
Karena Allahlah yang mengikat hati mereka.
Maka kita pun perlu mengikat hati kita kepada Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Kita ringkas saja penjelasannya: jika hati tidak terikat dengan Allah, maka ia akan mudah terpecah belah. Hati yang tidak terikat kepada Allah akan mudah terpancing konflik, tercerai-berai hanya karena beda tempat ngaji, beda ustaz, beda mazhab. Kalau begitu, hatinya bukan terikat pada Allah, tapi pada ego, kelompok, atau kepentingan dunia.
Coba lihat media sosial hari ini. Belum lama ini ada salah satu tokoh Salafi yang wafat. Saya pribadi, walaupun tidak satu ormas, tetap membuat unggahan doa dan mengingatkan kebaikan. Tapi sebagian orang, termasuk yang bergelar ustaz, malah mencaci maki. Ini yang membuat kita prihatin. Apa susahnya mendoakan orang yang meninggal? Bukankah cukup kita katakan, “Allāhummaghfirlahu warḥamhu”?
Itu bukan soal kelompok, ini soal hati. Kalau hati sudah tidak terikat dengan Allah, meskipun baca kitab setiap hari, itu tidak ada maknanya. Bahkan, ada orang yang salat di atas kuburan lalu dilecehkan. Padahal, salat di atas kuburan ada dasarnya dalam fikih, terutama bila terlambat mengikuti jenazah atau tidak sempat ikut salat ketika dimakamkan. Tapi karena beda mazhab, lalu dihina.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kalbu tidak diikat oleh Allah, melainkan hanya diikat oleh nama kitab, guru, atau kelompok. Padahal ustaz, kiai, bahkan nabi sekalipun adalah manusia. Maka, janganlah kita hanya terikat pada personalitas, tapi pada ayat dan pesan Allah yang disampaikan.
Coba kita renungkan Surah Al-Qaṣaṣ ayat 10. Allah berfirman:
وَأَصْبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَارِغًا ۖ إِن كَادَتْ لَتُبْدِي بِهِ لَوْلَا أَن رَّبَطْنَا عَلَىٰ قَلْبِهَا لِتَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan menjadi kosonglah hati ibunda Musa. Sungguh, hampir saja ia menyatakannya, seandainya Kami tidak meneguhkan hatinya agar ia termasuk orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 10)
Lihat, dekrit dari Fir’aun turun—semua bayi laki-laki Bani Israil harus dibunuh. Bayangkan perasaan seorang ibu yang anaknya mendapat “SK Presiden” untuk dibunuh. Tapi kenapa ibunda Nabi Musa tidak goncang? Karena hatinya diikat oleh Allah. Maka, wahyu bisa sampai kepadanya, bukan karena dia nabi, tapi karena kalbunya bersih, bening, dan peka terhadap sinyal ilahiah dari langit.
Kita pun bisa seperti itu, jika hati kita bersih.
Ketika Nabi Muhammad ﷺ kehilangan putranya, Ibrahim, beliau menangis. Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, Anda pun menangis?” Nabi menjawab:
“Hati ini bisa bersedih, air mata bisa menetes, namun kami tidak akan mengatakan sesuatu kecuali yang diridai Allah.”
Artinya, lisan ini adalah juru bicara dari kalbu. Maka, kalau lisan tidak terjaga—baik itu dari ustaz, kiai, maupun orang awam—dapat diduga kuat bahwa hatinya tidak sedang terikat dengan Allah.
Makanya, mari kita jaga kalbu kita. Jangan kita tidak rela ada orang masuk surga hanya karena beda kelompok. Ilmu yang dibaca sebanyak apapun, kalau hanya terikat pada huruf-huruf di atas kertas tapi tidak pada Allah, tidak akan membawa manfaat. Mari kita ikat hati kita kepada Allah.
Seperti Ashabul Kahfi yang hatinya diikat oleh Allah, mereka tegar di hadapan kezaliman penguasa. Seperti ibunda Nabi Musa, yang hatinya diikat oleh Allah, ia tetap tenang di hadapan dekrit pembunuhan Fir’aun. Maka, jika kalbu kita sudah terikat kepada Allah, pesan-pesan-Nya akan mudah sampai—bukan sebagai wahyu kenabian, tapi sebagai ilham, petunjuk yang halus, yang masuk langsung ke dalam hati.