TABLIGH.ID, YOGYAKARTA — Masjid Muhammadiyah tidak hanya dimaknai sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kaderisasi, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga ruang pembinaan politik kebangsaan. Namun, dalam kenyataan di lapangan, fungsi-fungsi strategis itu belum seluruhnya terwujud secara maksimal. Masih banyak masjid Muhammadiyah yang berjalan dalam keterbatasan partisipasi jamaah, bahkan stagnan dalam aktivitas pembinaan.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Enumerasi Masjid Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerja sama dengan Direktorat Al Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu, 14 Juni 2025. Dalam forum yang berlangsung di kampus UMY ini, Ustadz Mukhlis Rahmanto, Lc., M.A., Ph.D. mengungkapkan bahwa sebagian besar masjid Muhammadiyah saat ini hanya mampu menghadirkan 30 hingga 50 jamaah dalam aktivitas rutin. Padahal, kapasitas ruang dan fungsinya bisa melayani hingga 100 hingga 150 orang atau lebih, tergantung lokasi dan daya dukung fisik masjid.
Mukhlis menjelaskan bahwa masjid unggulan Muhammadiyah seharusnya memiliki sejumlah karakter khas yang bisa menghidupkan denyut kehidupan umat secara menyeluruh. Masjid bukan hanya menjadi tempat shalat berjamaah atau pengajian mingguan, tetapi sekaligus menggerakkan semangat infak, zakat, dan wakaf, membangun sistem sosial dan ekonomi umat, serta menjadi ruang pembinaan jamaah yang terintegrasi dengan sistem kaderisasi.
Namun demikian, ia menyayangkan bahwa hingga saat ini belum banyak masjid yang memiliki basis data kaderisasi yang tertata. Bahkan dalam dokumen Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM), kata “masjid” tidak disebutkan secara eksplisit sebagai bagian dari jejaring pembinaan kader. Menurutnya, hal ini menjadi catatan penting yang perlu dievaluasi oleh seluruh level kepemimpinan Muhammadiyah. Mengutip pandangan almarhum Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas dan KH. Yunus Anis, ia menegaskan bahwa masjid adalah basis dakwah Muhammadiyah yang semestinya menjadi simpul penguatan kader dan pemberdayaan masyarakat.
Mukhlis lalu meninjau kembali peran masjid di masa Rasulullah ﷺ yang sangat strategis. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, pengobatan, pengadilan, hingga ruang pengambilan keputusan politik dan strategi militer. Tradisi masjid multifungsi ini terus berlanjut di berbagai pusat peradaban Islam seperti di Istanbul dan Kairo, di mana masjid menyatu dengan sekolah (madrasah), asrama, klinik, toko, pasar, hingga layanan sosial yang dibiayai dari wakaf produktif, bukan semata dari infak jamaah.
Realitas hari ini juga menunjukkan bahwa masjid dengan fungsi inklusif dan partisipatif masih tergolong langka. Merujuk pada survei Majalah Tempo, dari 700 masjid inklusif yang dipetakan di Indonesia, hanya 7 yang benar-benar terbuka dan aktif memberdayakan masyarakat. Menariknya, empat di antaranya dikelola oleh Muhammadiyah, yaitu Masjid Al-Falah di Sragen, Masjid Al-Mughni di Ponorogo, Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, dan Masjid Al-Jihad di Jember. Keempat masjid tersebut telah menjadi rujukan karena konsisten membuka akses pelayanan kepada semua lapisan masyarakat, memberikan layanan sosial berbasis digital, serta ramah terhadap penyandang disabilitas.
Selain itu, Mukhlis juga menyoroti masjid-masjid Muhammadiyah yang telah berhasil menjadi episentrum gerakan umat. Masjid Al-Muthohhirin di Nitikan, Yogyakarta, misalnya, berhasil berkembang dari sebidang tanah wakaf menjadi pusat amal usaha yang menaungi koperasi, BMT, dan lembaga pendidikan. Sementara Masjid Al-Jihad di Banjarnegara telah menjadi sentral pembinaan komunitas dan ruang kaderisasi yang hidup.
Dalam pandangannya, masjid Muhammadiyah yang ideal adalah masjid yang berstatus wakaf sah, dikelola oleh takmir yang resmi dan aktif, menjalankan amaliyah sesuai dengan manhaj Tarjih, ramah terhadap anak dan penyandang disabilitas, terintegrasi dengan Lazismu, aktif memanfaatkan media sosial, serta memiliki program kaderisasi dan pemberdayaan umat yang berkelanjutan.
Melalui seminar ini, Majelis Tabligh menegaskan pentingnya gerakan enumerasi masjid sebagai langkah awal dalam menata ulang basis dakwah dan peradaban Muhammadiyah. Dengan data yang valid dan pemetaan yang cermat, masjid dapat dikelola dengan lebih efektif dan menjadi poros pembinaan yang kuat di tingkat akar rumput.
Ustadz Mukhlis mengingatkan bahwa tidak semua kader Muhammadiyah lahir dari sekolah atau pesantren, tetapi hampir semua kader pernah menginjakkan kaki dan tumbuh dari suasana masjid Muhammadiyah. Karena itu, ia mengajak seluruh elemen persyarikatan—dari pimpinan pusat hingga ranting—untuk kembali menjadikan masjid sebagai titik sentral gerakan umat. Ia pun menutup dengan mengutip pesan KH. Ahmad Dahlan, “Masjid bukan hanya tempat sujud, tapi tempat bergerak dan menggerakkan.”
Dengan semangat tersebut, melalui gerakan enumerasi dan revitalisasi peran masjid, Muhammadiyah berikhtiar membangun kembali masjid sebagai rumah dakwah yang berdaya, pusat kaderisasi yang strategis, dan simpul pemberdayaan umat yang menyatu dengan denyut zaman.