Pagi itu sunyi, seperti biasa. Tapi ada satu hal yang membuat hati terasa hangat: kesadaran bahwa kita masih diberi kesempatan hidup. Ada ruang bagi kita untuk memperbaiki, menata ulang, dan menimbang ulang ke mana langkah kita akan dibawa.
Sebuah ayat dalam Surah Al-Qashash selalu menyapa benak saya setiap kali memikirkan arah hidup:
وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah Allah karuniakan kepadamu, dan janganlah lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)
Ayat ini seolah menegaskan keseimbangan yang sering kali kita lupakan. Bahwa hidup bukan hanya urusan dunia, tapi juga bukan semata mengejar akhirat sambil meninggalkan kenyataan. Dunia adalah ladang; akhirat adalah panen. Kita hidup di antara keduanya—tempat kita menanam, berharap kelak menuai dengan tenang.
Besok, umat Islam di berbagai penjuru dunia akan menyambut Iduladha. Hari ini, sebagian besar menjalankan puasa Arafah. Dan di momen seperti ini, saya teringat satu pengalaman lama, ketika masih menjadi santri.
Saat itu kami sedang belajar muhadatsah—pelajaran percakapan bahasa Arab. Kami diminta mempraktikkan dialog dua orang. Ada yang menjadi dokter dan pasien, ada yang menjadi ayah dan ibu, bahkan ada juga yang memerankan polisi dan pencuri. Namun ada satu kelompok yang unik: dua santri cerdas—tapi terkenal usil—memilih memerankan mayat dan malaikat.
Dialog mereka mengutip pertanyaan talkin: “Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu?” dan seterusnya. Kami tertawa, tapi sejenak kemudian tersadar: dialog itu bukan sekadar latihan. Itu pengingat. Pengingat bahwa kita semua kelak akan tiba di satu fase kehidupan: alam barzakh. Alam yang tidak terlihat, tapi pasti.
Sebagai dosen, saya pernah meminta mahasiswa menuliskan pemikiran mereka tentang kehidupan setelah kematian. Hasilnya beragam, tapi cukup mengejutkan: sebagian besar dari mereka tidak menyebut alam barzakh. Beberapa bahkan mengatakan bahwa alam itu tidak ada, karena tidak disebut eksplisit dalam Al-Qur’an.
Di sini saya melihat sesuatu yang harus kita renungi bersama. Ketika kecerdasan buatan mulai menggantikan proses berpikir dan membaca, ketika mesin lebih dipercaya ketimbang tradisi ilmu, maka bisa saja aspek-aspek penting dari iman kita terlupakan begitu saja.
Lalu saya berpikir lebih jauh: bagaimana masa depan umat ini?
Ada sebuah proyeksi statistik: dalam waktu sekitar 50 tahun, umat Islam diprediksi akan menjadi mayoritas penduduk dunia. Sekarang, kita berada di posisi kedua setelah umat Kristen. Tapi dengan tren demografis saat ini, sekitar tahun 2075, umat Islam akan menempati posisi teratas.
Prediksi ini bukan sekadar harapan kosong. Ia lahir dari data tentang tren kelahiran dan struktur sosial. Negara-negara maju seperti Jepang, Eropa, dan Amerika sedang menghadapi apa yang disebut sebagai resesi seks—fenomena di mana anak-anak muda memilih untuk tidak menikah dan tidak punya anak. Mereka lebih memilih hidup bersama tanpa ikatan, karena pernikahan dianggap beban: mahal, repot, dan menghalangi karier.
Akibatnya, pertumbuhan penduduk mereka menurun drastis. Di Jepang, ada desa-desa yang sekarang tak lagi berpenghuni. Rumah-rumah kosong dibiarkan begitu saja. Sebuah masyarakat perlahan kehilangan regenerasi.
Sementara itu, masyarakat Muslim masih memelihara tradisi keluarga. Menikah dan memiliki keturunan adalah bagian dari ajaran dan budaya yang dipegang erat. Nabi ﷺ sendiri mengajarkan: “Menikah itu adalah sunnahku. Siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan bagian dari umatku.”
Tapi menjadi mayoritas bukan tujuan akhir. Karena jumlah saja tidak cukup. Al-Qur’an memberi kita peringatan:
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةًۭ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًۭا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (nasib) mereka.” (QS. An-Nisa: 9)
Lemah itu bisa dalam banyak bentuk: iman, ilmu, ekonomi, moral, dan semangat hidup.
Dan kita tidak ingin meninggalkan generasi yang lemah. Justru sebaliknya, kita ingin membentuk generasi kuat—yang kelak siap memimpin, berdiri, dan menjaga warisan Islam dengan penuh keyakinan dan kekuatan.
Maka masjid tidak boleh lagi hanya menjadi tempat ibadah rutin. Masjid harus menjadi pusat pendidikan, pusat pembinaan, pusat pemberdayaan. Di sanalah kita siapkan anak-anak yang akan hidup di masa depan. Masa depan yang mungkin tidak lagi kita lihat, tapi kita ikut membangunnya hari ini.
Al-Qur’an kembali menegaskan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلتَنظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Hari esok tidak hanya berarti esok pagi. Ia bisa berarti satu dekade ke depan, satu generasi berikutnya, atau bahkan lima puluh tahun mendatang—ketika umat ini mungkin sudah berubah wajah dan formasi.
Apa yang akan kita tinggalkan untuk mereka?
Semoga bukan sekadar jumlah, tetapi juga kekuatan. Bukan sekadar tradisi, tapi juga visi. Dan bukan hanya warisan, tapi juga bekal yang membuat mereka mampu melanjutkan perjuangan ini dengan penuh cahaya.
Ini merupakan tulisan yang diolah dari Kajian Shubuh Kamis Ustadz Dr. Askuri, M.Si di Masjid Asy Syahadah Bontang Kaltim