KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M,S.I
Sebelumnya kita telah membahas tentang keutamaan qalbu. Kita membaca bersama pernyataan para ulama: “Al-qalbu mākānun tanzīlil wāridāt al-ilāhiyyah”
Qalbu adalah tempat turunnya berbagai sinyal ilahiah. Maka, qalbu itulah lokasi di mana Allah mengirimkan berbagai sinyal atau pesan-Nya, dan penerima dari sinyal-sinyal itu adalah bagian terdalam dari diri manusia.
Kemudian, yang kedua: al-qalbu markazul ‘aql. Qalbu juga merupakan tempat bersemayamnya akal. Seperti yang dijelaskan para ulama, akal manusia bekerja dari dalam qalbu. Maka, syariat ini—ajaran Islam yang dibebankan kepada kita—dasarnya adalah akal yang sehat. Ketika akal tidak berfungsi, maka qalbu pun tidak berfungsi. Contohnya adalah orang gila.
Dan kita telah bahas pada Jumat lalu, bahwa orang gila tidak dibebani syariat oleh Allah. Dalam hadis Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa catatan amal—yang dicatat oleh para malaikat—diangkat dari tiga golongan, artinya mereka tidak dicatat amal baik atau buruknya. Siapa saja mereka?
Yang pertama, orang yang tidur sampai ia terbangun. Yang kedua, orang gila hingga akalnya kembali. Dan yang ketiga, anak kecil sampai ia baligh.
Jemaah yang saya muliakan, dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitābul Birri wash-Shilah wal-Ādāb (kitab tentang kebaikan, silaturahim, dan adab), Nabi ﷺ bersabda:
“Inna Allāha lā yanzhuru ilā ajsādikumu wa lā ilā ṣuwarikumu, walākin yanzhuru ilā qulūbikum.”
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian, tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Allah melihat kepada qalbu kalian.”
Lalu Rasulullah ﷺ mengisyaratkan ke arah dada beliau, menunjukkan bahwa qalbu itu letaknya di dada.
Hadis ini menunjukkan bahwa tempat akal—tempat pertimbangan yang menjadi dasar amal—berada dalam qalbu. Dan dari akal itulah lahir tanggung jawab syariat. Maka, ketika kita melihat seseorang sudah mendengar suara azan, mendengar tilawah, bahkan mendengar nasihat agama, tetapi tidak tergerak, bukan karena ia tidak punya telinga, tapi karena qalbunya tidak tersambung dengan sinyal ilahiah.
Contohnya, saat santri-santri bangun pagi karena suara tilawah yang diperdengarkan lewat speaker. Maka, sebelum kaki bergerak menuju masjid, saat suara itu membangunkan kita, perlu ada waktu sejenak seperti yang dilakukan Nabi ﷺ. Rasulullah tidak langsung bangkit saat terbangun, beliau duduk rehat sejenak untuk menjaga kesehatan dan kesiapan hati.
Lalu beliau membaca doa: “Al-ḥamdu lillāhil-ladhī aḥyānā ba‘da mā amātanā wa ilaihin-nusyūr.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami kembali.”
Dalam riwayat, disebutkan bahwa pada saat itu, ikatan setan mulai terlepas satu demi satu: saat bangun, saat berwudu, hingga saat menunaikan salat. Semakin banyak amal yang dilakukan, semakin lemah cengkeraman setan pada diri kita.
Namun, pertanyaannya: apakah setiap orang yang mendengar tilawah, azan, atau nasihat agama langsung tergerak? Belum tentu.
Setiap orang tahu manfaat bangun pagi. Penelitian psikologi juga menyebutkan bahwa produktivitas hari seseorang sangat dipengaruhi oleh waktu bangunnya. Kalau bangunnya siang, maka sepanjang hari bisa terasa tidak tenang. Jadi, semua orang tahu keutamaan bangun pagi—secara akal paham, secara data paham. Tapi, apakah semua orang melakukannya?
Coba kita tanya pada diri kita masing-masing: Siapa yang hari ini pukul 03.00 atau 03.30 sudah membuka mushaf Al-Qur’an? Siapa yang salat malam hari ini?
Kita ini, bapak ibu sekalian, sudah punya rutinitas ngaji. Bahkan, dalam sehari bisa dua sampai tiga kali pengajian. Tapi bagaimana dengan salat malam kita?
Ada yang mungkin berkata, “Saya haid, Ustaz.” Tidak perlu dijelaskan. Malaikat sudah tahu. Tapi tetap ada amal yang bisa dikerjakan—doa, zikir, tadabbur. Karena yang membuat kita bergerak bukan hanya pengetahuan, tapi qalbu yang hidup.
Para ulama mengatakan, yang menggerakkan amal itu bukan hanya logika, tetapi qalbu yang aktif menerima sinyal dari Allah. Maka, muncul pertanyaan: selama ini kita memahami bahwa akal itu berada di otak. Ilmu psikologi membagi otak menjadi berbagai bagian sesuai fungsinya. Tapi hadis-hadis Nabi ﷺ menggambarkan bahwa akal itu berada di qalbu.
Bagaimana menjelaskan ini?
Misalnya, ketika seseorang mengalami gagal jantung lalu menjalani transplantasi—mendapatkan donor jantung dari orang lain. Apakah sifat orang itu kemudian berubah mengikuti pendonor? Apakah perilakunya menjadi seperti orang yang mendonorkan jantung?
Jawabannya: tidak langsung begitu. Karena qalbu bukan sekadar organ fisik (jantung), melainkan juga pusat spiritualitas.
Berbeda dengan otak. Kalau otak rusak—misalnya karena kecelakaan atau stroke—maka memori bisa hilang. Bahkan anak, istri, pun bisa dilupakan. Tapi qalbu yang disebut oleh Nabi ﷺ bukan sekadar jantung fisik, tapi pusat kesadaran batin yang menjadi tempat masuknya cahaya ilahiah, wahyu, dan ilham.
Maka, pertanyaan besarnya: yang selama ini menggerakkan kita itu akal yang di kepala atau qalbu yang di dada?
Sementara itu, menurut Al-Qur’an dan penjelasan para ulama kita, qalbu (kalbu) terletak di dada dan aktivitasnya adalah aktivitas berakal, bukan sekadar berpikir.
Nah, ini yang menjadi poin penting. Siapa yang bisa menjawab persoalan ini? Nanti Bu Sofia akan memberikan hadiah uang sebesar Rp100.000.
Pertanyaannya: di mana kita meletakkan posisi akal? Mungkin ada di antara para dokter di sini yang pernah melakukan tindakan medis seperti transplantasi hati, bisa berbagi pendapat. Bagaimana sebenarnya posisi kalbu itu?
Kalbu itu berbeda dengan hati, berbeda juga dengan jiwa. Kalbu adalah pusat kehidupan, dan pusat kehidupan itu adalah milik Allah. Ketika janin berusia empat bulan, Allah meniupkan ruh, dan ruh inilah yang menjadi inti kehidupan manusia.
Kalbu itu tidak bisa disamakan dengan istilah hati secara biologis. Ada yang menyebut kalbu adalah jiwa, ada juga yang menyebut ia sebagai tempat ruh. Semua itu adalah rahasia ilahiah yang hanya diketahui oleh Allah. Tapi yang jelas, ia adalah pusat dari semua aktivitas manusia—baik spiritual maupun nonspiritual.
Akal itu tidak hanya bekerja di otak atau di hati, tetapi meliputi seluruh dimensi manusia. Jadi, tidak sesederhana itu. Terima kasih, itu penjelasan singkat dari saya.
Nah, pembahasan ini menjadi sangat penting. Kalbu dalam pandangan para ulama, adalah tempat bersemayamnya ruh. Tanpa ruh, kehidupan biologis tidak berjalan. Ketika ruh dicabut, jasad tidak bisa bergerak. Maka kematian secara biologis terjadi bukan karena hilangnya otak, tetapi karena keluarnya ruh dari tubuh.
Contohnya, ketika Ismail Haniyah (rahimahullah) berada di ruang tamu negara dan terkena serangan drone, tubuh beliau ditemukan dalam keadaan wafat. Itu artinya ruh telah diambil oleh Allah. Tetapi ruh itu tidak hilang, ia tetap ada. Yang rusak hanya tubuh fisik kita.
Yang menarik, dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah ﷺ melihat Nabi Ibrahim ‘alayhissalam sedang melaksanakan shalat. Padahal beliau telah wafat jauh sebelum Rasulullah lahir. Dalam hadis sahih dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim rukuk dan sujud.
Para ulama kemudian berdiskusi: apakah di alam barzakh ada aktivitas ibadah?
Kesimpulannya: ada. Tapi bentuknya berbeda. Bukan seperti kita yang memiliki lima hukum fikih (wajib, sunnah, makruh, haram, mubah), melainkan bentuk ibadah ruhani yang disebut sebagai ‘ibadah takrīmiyyah—ibadah yang memuliakan dan mendekatkan diri secara ruhani.
Maka dari itu, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa seseorang akan dibangkitkan sebagaimana keadaan hidupnya ketika di dunia. Artinya, jika selama hidup ia konsisten dalam amal saleh, maka ruhnya pun akan terus dalam aktivitas ketaatan di alam barzakh.
Saya ingin berbagi mimpi. Seminggu setelah Pak Yunahar Ilyas wafat, saya dipertemukan Allah dalam mimpi. Dalam mimpi itu saya hadir di sebuah majelis ilmu. Di sana ada beliau memakai jubah putih, mengajar tafsir dengan bahasa Arab, di tengah suasana hujan yang sangat indah.
Saya sangat yakin itu benar. Mimpi adalah bagian dari wahyu, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ. Mimpi tersebut adalah bentuk pertemuan ruhani—liqā’ rūḥānī—bukan pertemuan fisik. Saya masih hidup secara biologis, beliau sudah hidup di alam ruh. Tapi kami dipertemukan dalam majelis ilmu oleh Allah Ta’ala.
Saya melanjutkan kajian tafsir yang beliau rintis setiap Rabu pagi di hadapan murid-murid beliau. Saya selalu katakan, “Saya bukan menggantikan posisi Pak Yunahar, tapi melanjutkan ilmunya.”
Dengan demikian, kita bisa simpulkan bahwa persoalan kalbu, akal, ruh, dan jiwa adalah tema yang sangat dalam dan luas. Perlu kehati-hatian dalam memahaminya, karena ia bukan sekadar ranah biologis atau psikologis, tapi juga ruhaniyah—menyentuh dimensi terdalam manusia yang langsung berkaitan dengan Allah Azza wa Jalla.
Nah, saya masih sangat mengingat, ketika Ustaz Yunahar berada, dalam istilah Arabnya, ‘alā firāsy al-maut—di atas ranjang kematian. Pada malam terakhir beliau masih sempat sadar, karena setelah itu beliau dibuat tidak sadar oleh tim medis untuk memaksimalkan kerja organ tubuhnya, termasuk dengan bantuan oksigen. Jadi malam itu beliau belum dipasangkan ventilator, masih dalam kondisi sadar meskipun lemah.
Saya tidak tidur semalaman. Saya hanya meninggalkan beliau untuk salat Subuh di ruangan sebelah. Malam itu, Ustaz masih sempat bertanya, “Sudah salat?” Saya jawab, “Sudah.” Beliau juga bertanya, “Apakah saya ditayamumkan?” Saya jawab, “Tidak, saya tayamum sendiri.”
Setelah itu, saya buka alat bantu pernapasannya, lalu saya pasangkan kembali oksigennya. Beliau sempat berkata, “Batur, sekarang saya mau mengisi pengajian.” Dalam kondisi sangat lemah di atas ranjang, beliau membuka pengajian dengan ucapan:
“Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.”
Senyumnya khas. Lalu beliau tertidur lagi. Itu berulang. Jadi alam bawah sadar beliau, menurut bahasa psikologi, masih bekerja. Sampai akhir hayat, yang beliau pikirkan adalah pengajian. Bahkan kalau memakai istilah kasar, “ngigau”-nya saja pengajian.
Saya pernah bermimpi bertemu Ustaz Hidayat dalam tidur, dan kami berbicara dalam bahasa Arab. Artinya, jika dalam mimpi kita berbicara bahasa Arab, itu menunjukkan bahasa tersebut telah menyatu dengan ruh. Saya belum pernah bermimpi berbicara dalam bahasa Jawa, misalnya. Maka ini perkara ruh.
Jangan pernah mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah—para mujahid—itu mati begitu saja. Jangan bayangkan seperti melihat bangkai. Tidak! Mereka hidup.
Maka, jika nanti di alam ruh kita ingin tetap rukuk dan sujud, atau ikut pengajian seperti ini, maka persiapkanlah dari sekarang. Malaikat sudah mencatat semua ini dengan “CCTV langit.” Sulit bagi kita membayangkan, karena kita belum mati. Maka sebagian orang tidak percaya pada keberadaan ruh. Apalagi sampai mengatakan ruh itu gentayangan—itu lebih kacau lagi.
Sekarang banyak film aneh, penuh kepercayaan mistis. Jangan percaya! Mama-mama paranormal, misalnya, mengatakan nanti kalau mati ditanya siapa Tuhanmu, siapa Nabimu, maka sebut saja “Mama Gufron!” Itu jelas dusta. Jangan percaya.
Ruh itu nyata. Ruh itu adalah dimensi rohani manusia yang tidak kasat mata, tetapi terasa. Selain ruh, kita punya dimensi jasmani. Maka kalbu juga demikian, sebagaimana kata Imam al-Ghazali. Kalbu itu bukan hanya organ fisik, tetapi juga punya dimensi nurani.
Dalam bahasa kita, kalbu berasal dari kata al-qalb, yang artinya berbolak-balik. Ada dua sisi: dimensi fisik yang ditangani oleh para dokter spesialis jantung—ahli kardiologi seperti Prof. Budi yang kita kenal—dan dimensi rohani. Dalam istilah al-Ghazali, disebut qalb nūrānī—hati nurani. Nūr artinya cahaya. Maka hati nurani adalah hati yang bercahaya.
Inilah yang disebut minggu lalu sebagai al-wāridāt al-ilāhiyyah—sinyal-sinyal dari Allah. Ibu-ibu, pernah dengar cerita ikan mati nabrak karang? Tidak ada. Ikan memiliki sensor tubuh yang sangat peka, sehingga ia bisa merespons perubahan tekanan air dan langsung berbelok. Maka meskipun di lautan tidak ada lampu lalu lintas, ikan jarang bertabrakan.
Lalu mengapa di Indonesia, di siang bolong, ada orang yang mencuri uang negara? Karena dia zulmānī—gelap hatinya. Hatinya tidak bercahaya. Itulah bedanya.
Teknologi kita hari ini sudah canggih. Misalnya, kita bisa menyambungkan HP ke layar proyektor tanpa kabel. Apa yang tampil di layar HP akan muncul di proyektor. Maka tubuh kita juga demikian. Komplek, tetapi sinyal dari Allah itu tetap bisa mengalir. Masalahnya, apakah kalbu kita masih bisa menangkap sinyal itu?
Karena itulah kita perlu terus mengasah hati kita. Materi ini tidak mengapa kita ulang-ulang terus. Kita sedang bicara tentang hati, ruh, dan kesadaran.
Kesimpulannya, menurut Imam Ibn Taimiyah, tidak ada dikotomi antara akal pikiran dan hati. Keduanya saling memengaruhi. Kalbu memengaruhi cara berpikir, cara berpikir pun memengaruhi kalbu. Maka semua perlu dikondisikan agar tetap dalam ketaatan.
Bagaimana cara mengikat hati kita kepada Allah? Yang paling mudah adalah zikrullāh—berzikir. Bayangkan jika seorang istri menyebut nama suaminya 1000 kali sehari, atau sebaliknya. Mustahil terjadi pengkhianatan jika mereka saling ingat. Maka begitu juga kita dengan Allah. Kalau kita terus mengingat-Nya, bagaimana mungkin kita berbuat dosa?
Nabi bersabda:
“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang mencuri dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang minum khamar dalam keadaan beriman.”
Artinya, saat maksiat dilakukan, ada keterputusan dari Allah. Maka Allah mengajarkan kita zikrullāh, seperti: Allāh, Allāh, astaghfirullāh, dan seterusnya. Itu adalah jangkar ruhani kita.
Ibarat kapal besar di tengah samudra, jika tidak dijangkar, maka akan hanyut. Begitu pula hati kita. Ia perlu jangkar agar tidak terbawa arus zaman. Dan jangkar itu adalah zikrullāh.
Jadi, mari kita perbanyak zikir. Dengan begitu, ruh dan kalbu kita selalu terikat kepada Allah. Saya kira cukup itu pelajaran kita pagi hari ini.