Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I
Kita membahas tentang al-qalbu al-muhtadī—hati yang mendapat hidayah dari Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Hati yang demikian mendapatkan anugerah, mendapatkan balasan yang tidak bisa diperhitungkan dengan ukuran duniawi atau logika matematika manusia.
Hidayah dari Allah adalah cahaya—pencerahan batin yang tidak semua orang mendapatkannya. Hanya mereka yang dikehendaki Allah dari hamba-hamba-Nya yang bisa merasakan nikmatnya petunjuk itu. Maka, cukup bagi seseorang yang diberi hati yang mendapat hidayah untuk mendapatkan perlindungan dari segala keburukan, dan diarahkan kepada berbagai kebaikan yang mungkin sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
Kita lihat hari-hari ini, ada seorang profesor—ahli ilmu agama, profesor syariah—yang justru menimbulkan kegaduhan. Maaf, menurut saya, untuk bisa menghormati anak-anak kita yang berkerudung, tidak perlu menjadi profesor. Apalagi profesor syariah. Tapi begitulah, hidayah itu soal lain. Ini yang perlu kita pahami.
Beberapa waktu lalu saya juga sempat dikejar oleh para wartawan, menanyakan pendapat saya tentang peraturan pemerintah yang sudah diteken terkait pembagian alat kontrasepsi dan kondom. Coba kita lihat datanya. Angka pernikahan dini memang menurun, tidak seperti yang dikhawatirkan. Namun menurut BKKBN, angka perilaku seks bebas justru melonjak. Jadi, menikah tidak, tapi zina meningkat. Itu data resmi pemerintah.
Saya sampaikan kepada para jurnalis: yang dibutuhkan anak-anak kita bukan fasilitas untuk melakukan seks bebas, tetapi edukasi yang baik agar mereka bertanggung jawab atas anugerah reproduksi yang diberikan Allah. Itu saja. Maka, para guru dan dosen harus berakhlak mulia. Bukan malah memfasilitasi penyimpangan. Tapi, ya, peraturan sudah diteken. Maka, kita sampaikan kepada Allah dan para malaikat, bahwa kita sudah menyuarakan kebenaran.
Contoh kecil saja—hidayah itu mahal. Menjadi profesor itu sulit dan mahal. Tapi mendapatkan hidayah jauh lebih tinggi nilainya.
Sekarang ini, seks bebas difasilitasi, tapi memakai kerudung dilarang. Ini fakta. Saya hanya ingin memberi contoh konkret apa yang dikatakan para ulama kita: “Cukuplah hati yang mendapat hidayah itu akan menuntun pemiliknya kepada seluruh bentuk kebaikan. Sebaliknya, hati yang tidak mendapat hidayah akan menuntun kepada berbagai keburukan.”
Saya pernah mendengar langsung dari seorang menteri. Beliau mengatakan bahwa perilaku para pejabat saat ini, menjelang akhir masa pemerintahan, banyak yang hanya ingin mencari perhatian. Katanya, “Kalau tidak gaduh, dianggap tidak bekerja.” Bahkan, semakin menyimpang dari nilai-nilai Islam, justru semakin dianggap progresif. Kebetulan, karena respon masyarakat begitu ramai, akhirnya larangan itu dibatalkan. Jadi, kalau tidak gaduh, tidak ada larangan.
Saya pribadi tidak sepakat dengan pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa menasihati pemerintah harus disampaikan dengan berbisik. Kalau pemimpinnya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, mungkin itu bisa. Tapi dalam kondisi seperti sekarang, kalau kita tidak bersuara, anak-anak kita akan terus dirugikan.
Kemarin saja, ketika pelantikan, anak-anak kita dilarang memakai jilbab. Setelah isu itu terbuka ke publik dan kita semua bersuara, baru peraturannya berubah. Ini bukan soal orang itu profesor atau pejabat. Ini soal hidayah.
Dan untuk membuktikannya, sebenarnya mudah saja.
Kecenderungan seseorang untuk melakukan kebaikan muncul dari apa yang disebut dengan an-nawāzi‘ al-qalbiyyah—dorongan hati. Dalam bahasa lain, ini disebut ilhām, bukan nama orang, tapi inspirasi batin dari Allah.
Para nabi tentu saja mendapatkan wahyu. Kita, manusia biasa, tentu tidak. Tapi ada orang-orang saleh, yang karena kedekatannya dengan Allah, diberikan keutamaan. Keutamaan ini disebut karāmah.
Contoh karāmah itu banyak. Diceritakan bahwa dahulu, setan tidak berani masuk ke sebuah kota karena mencium bau sandal Imam Aḥmad bin Ḥanbal. Atau kisah Imam Nawawi, yang saat menulis kitab dan kehabisan minyak lampu, jari-jarinya memancarkan cahaya sehingga beliau tetap bisa menulis. Itulah karāmah.
Tapi tentu saja itu bukan Mama Gufron—saya selalu tekankan.
Jadi, saudara-saudara sekalian, kegaduhan yang terjadi hari-hari ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan hidayah secara langsung. Ini lebih ke soal politik—mencari perhatian agar jabatan bisa dilanjutkan. Dan ironisnya, yang dijadikan prestasi justru adalah hal-hal yang bertentangan dengan adab, akhlak, dan moral.
Ini disampaikan oleh seorang menteri, saya tidak sebut namanya. Polanya jelas: gaduh, kalau bisa memecah belah pandangan umat Islam, maka itu dianggap produktif. Tapi, tetap ada hikmahnya.
Kini mulai muncul foto dan video anak-anak perempuan di pesantren—yang bercadar, berkerudung rapi—dan ternyata sangat cinta tanah air. Luar biasa. Ini hikmah dari kegaduhan itu.
Saudara sekalian yang saya muliakan, kita akan membahas salah satu bentuk petunjuk Allah yang halus dan dalam, yaitu ilham.
Para ulama menjelaskan, الإلهام هو إلقاء الله في نفس أمر يحثه Ilham adalah bisikan lembut dari Allah yang ditanamkan ke dalam jiwa manusia—sebuah perintah yang begitu halus dan cepat menyentuh relung kalbu terdalam, yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
Ilham ini sangat halus, bahkan kemiripannya dengan waswas cukup dekat. Bedanya, kalau waswas datang dari setan, sedangkan ilham datang dari Allah. Seperti disebut dalam surah An-Nās:
ٱلَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُورِ ٱلنَّاسِ “Yang membisikkan ke dalam ṣudūr (dada) manusia.”
Jadi, waswas itu tidak menyasar akal, melainkan langsung ke dada—ke pusat rasa dan niat manusia. Nah, ilham juga demikian, namun berasal dari Allah, dan arahnya tentu menuju kebaikan.
Contoh paling kuat tentang ilham ini disebut dalam surah Al-Qaṣaṣ ayat 7, ketika Allah memberikan petunjuk kepada ibunda Nabi Musa ‘alaihis-salām. Firman Allah:
وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ ۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَـٰعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: ‘Susuilah dia. Apabila engkau khawatir terhadapnya, maka hanyutkanlah dia ke sungai (Nil), dan janganlah engkau takut dan jangan (pula) bersedih hati. Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah satu) dari para rasul.’”
Bayangkan, di tengah kekejaman rezim Fir’aun yang memerintahkan pembunuhan semua bayi laki-laki Bani Israil, Allah memberikan ilham kepada seorang ibu agar menyusui anaknya, lalu meletakkannya dalam sebuah peti dan menghanyutkannya di sungai. Ilham ini menguatkan hati sang ibu dalam situasi yang sangat mencekam.
Dengan rekayasa ilahi, bayi Musa terbawa arus hingga ke istana Fir’aun. Fir’aun ingin membunuhnya, tetapi istrinya berkata: “Jangan, mungkin anak ini akan bermanfaat bagi kita.” Subhanallah, istri Fir’aun adalah sosok perempuan tangguh dan beriman. Dalam surah At-Taḥrīm, Allah mengabadikan doanya:
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًۭا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ٱبْنِ لِى عِندَكَ بَيْتًۭا فِى ٱلْجَنَّةِ وَنَجِّنِى مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِى مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّـٰلِمِينَ
“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berdoa: ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu di surga, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.’”
Lihatlah, meski menjadi istri seorang tiran yang mengaku Tuhan, ia tetap bisa menjadi perempuan salihah. Maka, Ibu-ibu sekalian, suaminya belum tentu sejahat Fir’aun, bukan? Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menjadi perempuan salehah. Dan Bapak-bapak, kalau istrinya sudah salihah, tetapi suaminya tetap buruk akhlaknya, maka rumah tangga itu akan tetap rusak juga. Ini adalah pilihan kita masing-masing.
Semua itu ada mekanismenya. Maka Allah memberikan kepada manusia ilham.
Pertanyaannya sekarang: bagaimana agar ilham ini selalu datang kepada kita?
Inilah yang akan kita pelajari.
Bentuk petunjuk selain ilham adalah firasat (kekuatan batin membaca tanda-tanda) dan ru’yā ṣāliḥah (mimpi baik). Dalam hadis disebutkan, mimpi orang beriman adalah bagian dari kenabian.
Ketika hati kita dipenuhi ilham, itu menjadi pendorong konkret dalam mengambil keputusan. Hati bisa menarik ke kanan (kebaikan), bisa pula ke kiri (keburukan), tergantung dorongan yang hadir dalam dada kita.
Para ulama menyebutkan:
إن في الإنسان نوازع قلبية تدفعه إلى الخير فينجو، أو نوازع فاسدة تدفعه إلى الشر فيهلك
“Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan kalbu. Ada dorongan yang mendorongnya kepada kebaikan, maka ia selamat. Ada juga dorongan yang rusak, yang menyeretnya ke keburukan, maka ia binasa.”
Contoh nyata dorongan buruk itu seperti kebijakan pembagian alat kontrasepsi kepada pelajar. Mohon maaf, saya tidak peduli siapa pejabatnya. Tapi itu jelas dorongan hati yang busuk. Wahai para pejabat, Anda juga punya anak. Coba bayangkan, kalau anak Anda seperti itu? Kenapa yang pakai jilbab dilarang, tetapi yang membuka aurat difasilitasi?
Bahkan seks bebas yang dilakukan suka sama suka dikatakan bukan pelanggaran moral atau pidana. Lengkap sudah kerusakan regulasi yang merusak anak-anak kita.
Tandatangan kebijakan itu mungkin hanya butuh satu menit. Tapi di baliknya ada nasib jutaan anak bangsa. Itulah yang disebut nawāzi‘ qalbiyyah—dorongan dari dalam kalbu. Kalau yang mendominasi adalah bisikan setan, maka kebijakan pun akan lahir dari keburukan.
mohon maaf bila ini terasa keras. Tapi ini sudah menjadi pembicaraan publik. Yang bersangkutan juga tidak membantah. Jadi, ini bukan ghibah. Ini edukasi akidah.
Kalau kita merenung, kenapa bisa terjadi hal seperti itu? Dunia sedang rusak, akal sehat pun menolak, tapi tetap saja hal buruk disahkan. Maka jawabannya: karena hatinya busuk.
Inilah yang disebut oleh ulama sebagai: النَّازِعُ الشَّيْطَانِي — dorongan dari setan. Berlawanan dengan النَّازِعُ القَلْبِي — dorongan yang datang dari hati yang bersih.
Maka bukti paling nyata dalam kehidupan adalah ketika hati manusia menjadi keras dan kasar. Dan itulah siksa paling berat yang bisa dialami manusia: kehilangan kepekaan dalam kalbu.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman dalam Surah Al-Baqarah, menggambarkan betapa kerasnya hati manusia yang terus mengikuti dorongan-dorongan buruk. Firman-Nya: ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِىَ كَٱلْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ “Kemudian setelah itu, hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.”
Mengapa hati bisa lebih keras dari batu? Karena batu, kata Allah, sebagian bisa memancarkan air: وَإِنَّ مِنَ ٱلْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ ٱلْأَنْهَـٰرُ “Dan sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang memancar darinya sungai-sungai.”
Kalau air saja bisa menembus batu yang terus-menerus ditetesinya, berarti batu masih bisa berubah. Tapi hati manusia yang membatu karena terus mengikuti dorongan buruk—itulah yang disebut qaswah, kekerasan hati.
Para ulama mengutip dasar ini, karena kekerasan hati bukan hanya tentang logika, tapi tentang dorongan jiwa. Rasulullah ﷺ memberikan contoh konkret: seorang perempuan dari Bani Israil masuk neraka karena menyiksa seekor kucing. Kucing itu dia ikat, tidak diberi makan, tidak dilepaskan agar bisa mencari makan sendiri, hingga mati. Kata Nabi, perbuatan itu berasal dari dorongan hati yang buruk.
Sekarang, bagaimana jika suami mengurung istri? Atau istri mengekang suami? Zaman sekarang bahkan muncul istilah: Ikatan Suami Takut Istri. Sementara yang sedang viral adalah kasus KDRT—dan yang melakukan kekerasan bukan hanya laki-laki. Banyak juga suami yang terzalimi.
Jadi, kita tidak boleh menganggap kezaliman itu bergantung pada jenis kelamin. Kezaliman adalah kezaliman, dari siapa pun datangnya.
Namun sebaliknya, ada pula dorongan hati yang baik. Contohnya adalah kisah perempuan pezina yang disebutkan Rasulullah ﷺ dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim. Meskipun perempuan itu seorang pezina, dia masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Dorongan belas kasihnya begitu kuat. Ia melihat seekor anjing mengelilingi bibir sumur dengan lidah terjulur karena sangat haus. Ia membuka sepatunya, mengambil air, lalu memberikannya pada anjing itu.
Itulah nazi‘ qalbiyyah—dorongan hati yang luhur. Maka, yang menjadikan seseorang masuk surga atau neraka bukan status sosialnya, bukan masa lalunya, tapi apa dorongan yang muncul dari dalam hatinya saat itu.
Saudara-saudara, pertanyaannya: apa alasan kita yang sudah rutin ngaji Jumat pagi, tapi masih enggan bersungguh-sungguh menuju surga? Nau‘ūdzu billāh, jangan sampai kita digolongkan sebagai orang yang sudah terbakar api neraka hingga ke mata kaki, atau sampai ke betis, tapi tak kunjung sadar.
Bayangkan, di hari kiamat nanti, ada seseorang yang berkata kepada Allah: “Ya Allah, aku tidak rela jika saudaraku masuk neraka. Dahulu dia ikut ngaji Jumat pagi bersamaku.”
Maka dia pun ditarik keluar dari neraka. Tapi jangan berharap otomatis seperti itu. Kita harus berjuang bersama. Kita ingin masuk surga bersama-sama, bukan saling menunggu ditarik.
Sekarang, ketika banyak orang saling mencongkel, saling sikut demi jabatan, kita harus kembali pada ajaran Nabi ﷺ.
Rasulullah bersabda dalam hadis sahih: “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya lalu dia duduk di situ. Jika ingin duduk, duduklah bersama-sama, berlapanglah.”
Hadis ini sederhana. Anak-anak SD di Saudi pun diajarkan. Tapi sekarang, ada orang yang mencopot ketua umum hanya untuk duduk di kursi itu. Padahal yang dilakukan adalah bentuk kezhaliman yang akan dilaknat Allah. Norma seperti itu tidak boleh menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita.
Kita ingin masyarakat yang sehat secara moral dan etika. Tidak pantas seorang RW ngotot agar anaknya jadi RW berikutnya. Gantianlah. Warga banyak, semua punya hak. Jangan rusak konstitusi dan nilai-nilai keadilan.
Kami sebagai dosen sering heran—apa gunanya belajar, berdiskusi politik, membahas etika dan demokrasi, kalau ujung-ujungnya semua bisa dilanggar seenaknya? Padahal menyusun disertasi saja itu berat. Mahasiswa kami rela meninggalkan anak yang baru lahir dua bulan demi menuntut ilmu S2 ke Libya—tempat yang panas, sulit, dan jauh.
Belajar itu sulit. Maka tidak boleh ada orang yang seenaknya merusak sistem. Kezaliman tidak bisa jadi norma, meskipun bisa dilakukan. Hati yang mendorong ke arah sana adalah hati yang busuk.
Itulah sebabnya para ulama menekankan, bahwa inti ajaran Islam adalah pada hati.
Jika hatinya baik, maka seluruh amal baik. Jika hatinya rusak, maka seluruh amal pun rusak. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ “Ketahuilah, di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.”
Saudara sekalian, mari kita rawat hati kita. Semoga kita wafat dalam suasana hati yang bersih, tenang, dan ikhlas kembali kepada Allah.
Insyaallah, kajian ini akan terus dikembangkan. Kami sadar, tidak semua orang bisa hadir setiap Jumat pagi. Maka ke depan, kami berencana membuat segmentasi kajian:
- Kajian khusus untuk pasangan muda, suami-istri.
- Kajian sore di hari Sabtu, sebelum malam Ahad, agar sebelum jalan-jalan ke mall atau Malioboro, bisa mampir ngaji dulu satu jam.
- Kajian untuk anak muda, dengan pendekatan khusus.
- Kajian masyarakat umum yang menjadikan tempat ini sebagai pusat mencari ilmu.
Kami memohon doa dan dukungan dari Bapak dan Ibu semua. Semoga kita semua istiqamah dalam menuntut ilmu dan mencari ridha Allah.