Oleh Akhmad Arif Rif’an, S.H.I,. M.S.I.
Pada kesempatan malam ini, kita mengambil tema Perang Khaibar atau Ghazwatu Khaibar. Dalam beberapa kitab, peristiwa ini dicantumkan dalam bab berjudul Ghazwatu Khaibar wa Wādil Qurā fī Muharram Sanah Sābi‘ah min al-Hijrah, yakni terjadi pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah.
Perang Khaibar sejatinya merupakan langkah Rasulullah ﷺ untuk menghukum pihak-pihak yang terus-menerus melakukan provokasi dan menghasut suku-suku lain agar memusuhi Rasulullah ﷺ. Dalam hal ini, mereka adalah kaum Yahudi.
Sebelum masuk ke bagian utama, mari kita ulas kembali secara singkat peristiwa Perang Khaibar—karena sebelumnya saya telah menyampaikan detailnya. Kali ini kita akan fokus pada salah satu bagian penting yang dilatarbelakangi oleh peristiwa besar tersebut.
Sejak hijrah ke Madinah, permusuhan dari orang-orang musyrik terhadap Rasulullah ﷺ tidak mereda, bahkan semakin intens. Di Madinah sendiri, sudah ada komunitas Yahudi yang tinggal di sana, di antaranya yang paling kuat adalah: Bani Qainuqā‘, Bani Nadīr, dan Bani Qurayzhah.
Bani Qainuqā‘ adalah kelompok pertama yang melanggar perjanjian, dan mereka pun diusir oleh Rasulullah ﷺ. Disusul kemudian oleh Bani Nadīr yang juga dikeluarkan dari Madinah. Namun, setelah terusir, mereka tidak pulang ke negeri asal mereka di Syam, melainkan menetap di Khaibar. Di sanalah mereka menjadikan Khaibar sebagai tempat konsolidasi dan markas baru, karena wilayah ini sangat subur dan strategis, serta memiliki beberapa benteng pertahanan yang kokoh.
Di Khaibar, mereka mulai melakukan provokasi dan menyusun siasat karena dendam kepada Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin yang telah mengusir mereka. Padahal, pengusiran itu akibat perbuatan mereka sendiri yang melanggar perjanjian damai.
Mereka pun memprovokasi orang-orang musyrik Quraisy di Makkah agar segera menyerang Rasulullah ﷺ sebelum kekuatan Islam semakin menguat. Provokasi itu menyebar ke berbagai suku, termasuk di wilayah Ghathfān. Jumlah pasukan gabungan mereka pun terakumulasi hingga mencapai 10.000 orang: 4.000 dari kaum Quraisy dan 6.000 dari suku-suku Ghathfān.
Pasukan gabungan ini bergerak untuk menyerang Rasulullah ﷺ. Inilah yang dikenal sebagai Perang Khandaq atau Perang Parit—sebuah momen yang sangat genting dalam sejarah Islam. Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin dikepung selama hampir satu bulan.
Namun, atas izin Allah, datanglah pertolongan-Nya. Dalam barisan kaum Muslimin saat itu, terdapat seorang sahabat yang berasal dari Persia, yaitu Salman al-Fārisī. Ia memberikan ide untuk menggali parit sebagai bentuk pertahanan. Inilah yang menjadi strategi baru dalam perang yang belum dikenal oleh bangsa Arab.
Pasukan Rasulullah ﷺ saat itu hanya berjumlah sekitar 3.000 orang. Sementara musuh berjumlah 10.000. Maka, atas usulan Salman, digalilah parit yang sangat lebar dan dalam, hingga tidak bisa dilompati oleh kuda. Ini mematahkan kekuatan pasukan berkuda musuh. Namun, penggalian parit ini bukan tanpa pengorbanan. Setiap hari sekitar 1.000 orang menggali, dengan kondisi cuaca sangat panas, dan tangan mereka terluka karena kerasnya kerja fisik tersebut.
Akhirnya, atas izin Allah, Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin berhasil memenangkan Perang Khandaq.
Tahun berikutnya 6 Hijriah, atau sekitar tahun 628 Masehi, terjadilah Perjanjian Hudaibiyah. Setelah tercapainya perjanjian damai dengan pihak Quraisy, Rasulullah ﷺ memanfaatkan momentum ini untuk memfokuskan kekuatan menghadapi kaum Yahudi yang terus mengancam dari Khaibar.
Rasulullah ﷺ pun memimpin ekspedisi menuju Khaibar (tahun ke-7 Hijriyah) . Jumlah pasukan kaum Muslimin saat itu berkisar antara 1.400 hingga 1.600 orang, menurut berbagai riwayat. Sedangkan jumlah kaum Yahudi yang bertahan dalam delapan benteng di Khaibar mencapai sekitar 9.500 orang.
Peristiwa Khaibar ini bukan hanya peperangan biasa, tetapi sarat pelajaran. Misalnya, ketika Rasulullah ﷺ dan para sahabat mendekati Khaibar, mereka dihadapkan pada lima pilihan jalur. Rasulullah ﷺ bertanya nama-nama jalan itu. Ketika nama salah satu jalan disebut “Ḥuzn” (kesedihan), beliau menolak untuk melewatinya. Namun ketika disebutkan nama “Marḥab” (kelapangan), beliau memilihnya.
Peristiwa ini dicatat oleh para sahabat, menunjukkan bahwa bahkan nama jalan pun menjadi pelajaran penting. Bukankah sebelumnya, nama Yatsrib pun diganti oleh Rasulullah ﷺ menjadi Madinatun Nabī, yang kemudian dikenal sebagai Madinah?
Nama adalah hal yang sangat penting dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan untuk mengganti nama anak atau seseorang yang tidak tepat maknanya. Artinya, persoalan nama ini menjadi pelajaran tersendiri dalam Islam.
Selanjutnya, kita akan membahas salah satu aspek penting dari Perang Khaibar, yaitu strategi kejutan yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Dalam peristiwa ini, Rasulullah ﷺ menghadapi pasukan yang jumlahnya jauh lebih besar. Maka, salah satu strategi yang digunakan adalah faktor kejutan.
Yang menarik, Rasulullah ﷺ memulai serangan ke Khaibar tepat setelah waktu Subuh. Ini membuat pasukan Yahudi terkejut dan tidak siap. Selain itu, rute yang ditempuh untuk mencapai Khaibar juga bukan jalur yang biasa dilalui. Jalur tersebut cukup sulit karena harus melewati kebun-kebun kurma, sehingga menyulitkan pergerakan pasukan secara leluasa.
Saya ingin langsung masuk ke bagian penting lainnya, yaitu pembagian hasil rampasan perang (ghanimah) oleh Rasulullah ﷺ setelah Khaibar dimenangkan. Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ membagi ghanimah menjadi 36 bagian, dan masing-masing bagian itu dibagi lagi menjadi 100 subbagian. Maka totalnya adalah 3.600 bagian.
Dari jumlah itu, dibagi dua:
- 1.800 bagian diberikan kepada para peserta Perang Khaibar.
- 1.800 bagian lainnya menjadi hak Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin perang.
Namun, dalam praktiknya, Rasulullah ﷺ juga memberikan sebagian bagian itu kepada kaum Muslimin yang ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah, karena mereka sejatinya adalah pasukan siap tempur. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menganggap mereka layak menerima bagian seolah mereka ikut bertempur.
Ada juga pengecualian, misalnya kepada Ja‘far bin Abi Ṭālib radhiyallahu ‘anhu dan rombongannya yang baru kembali dari Habasyah. Mereka pun diberi bagian oleh Rasulullah ﷺ. Namun sebelumnya, Rasulullah ﷺ terlebih dahulu meminta izin kepada para sahabat untuk memberikan bagian tersebut. Beberapa riwayat menyebutkan demikian.
Nah, dari sini saya ingin memulai apa yang menjadi fokus pembahasan kita. Di antara sahabat yang mendapatkan bagian adalah ‘Umar bin al-Khattāb radhiyallahu ‘anhu. Disebutkan dalam riwayat bahwa ‘Umar pernah mengatakan:
“Aku tidak pernah memiliki harta yang nilainya sebesar harta yang aku peroleh dari Khaibar.”
Banyak pelajaran yang muncul dari peristiwa ini. Misalnya, ketika pasukan Yahudi kalah, seharusnya mereka diusir dari Khaibar. Namun mereka memohon kepada Rasulullah ﷺ:
“Wahai Muhammad, biarkanlah kami tetap tinggal di sini. Kami akan mengelola tanah ini, karena kami lebih mengetahui seluk-beluk tanah ini daripada kalian.”
Rasulullah ﷺ mempertimbangkan permohonan tersebut, sebab tidak semua kaum Muslimin saat itu mampu langsung mengelola wilayah Khaibar yang luas dan subur. Maka Rasulullah ﷺ menyetujui mereka tetap tinggal dengan syarat bahwa tanah itu sepenuhnya milik kaum Muslimin, dan orang-orang Yahudi hanya menjadi pengelola, bukan pemilik. Mereka bekerja dan mendapatkan bagi hasil dari panen kebun.
Dalam salah satu peristiwa, Rasulullah ﷺ mengutus sahabat ‘Abdullah bin Rawāhah radhiyallahu ‘anhu untuk memungut bagian hasil panen yang telah disepakati. Ketika itu, orang-orang Yahudi mencoba menyuap beliau agar bagian yang diambil lebih kecil dari seharusnya.
Namun, ‘Abdullah bin Rawāhah menolak dengan tegas dan berkata:
“Yā Ma‘syara al-Yahūd! Antum abghad al-khalqi ilayya!” “Wahai orang-orang Yahudi! Kalian adalah makhluk yang paling aku benci!”
Ia tidak menyembunyikan kebenciannya kepada mereka. Namun, lanjutnya:
“Namun kebencianku tidak akan mendorongku untuk berlaku zalim kepada kalian.”
Beliau tetap berlaku adil dan membagi hasil panen sesuai kesepakatan. Mendengar itu, orang-orang Yahudi pun berkata:
“Karena keadilan seperti inilah langit masih bersedia menaungi, dan bumi masih rela diinjak manusia.”
Sungguh luar biasa keadilan Islam yang diajarkan Rasulullah ﷺ dan dipraktikkan oleh para sahabatnya.
Dalam riwayat lain, Ummul Mukminin ‘Āisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa:
“Kami belum pernah kenyang makan kurma hingga peristiwa Khaibar.”
Baru setelah kemenangan di Khaibar, kaum Muslimin merasakan kemakmuran yang lebih baik.
Hikmah Wakaf di Balik Perang Khaibar
Salah satu riwayat yang penting untuk kita renungkan adalah riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhumā, yang menyebutkan bahwa peristiwa Khaibar menyimpan hikmah yang sangat besar.
Begitu mendapatkan karunia yang begitu besar—harta dan aset yang sangat bernilai tinggi—para sahabat tidak menjadi lalai atau lupa daratan. Bahkan mungkin tidak terbayangkan sebelumnya mereka bisa memiliki harta sebanyak dan seberharga itu. Namun, justru saat mendapatkan karunia itu, para sahabat meminta nasihat kepada Rasulullah ﷺ: “Apa yang harus aku lakukan terhadap harta ini?”
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda—dengan redaksi yang maknanya: “Jika kamu mau, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.”
Inilah yang menjadi salah satu momen awal dalam sejarah wakaf. Meskipun sebagian ulama sirah menyebutkan bahwa praktik wakaf juga telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ ketika membangun Masjid Nabawi, namun wakaf yang dilakukan sahabat setelah peristiwa Khaibar menjadi salah satu tonggak nyata dari praktik wakaf dalam Islam.
Dalam Perang Khaibar yang begitu berat, terjadi pula peristiwa yang menyayat hati: Rasulullah ﷺ diracun. Peristiwa ini terjadi ketika beliau dan kaum Muslimin telah memenangkan pertempuran dan tinggal selama empat hari di Khaibar. Seorang Wanita (Zainab binti al-Harits) —mantan istri dari pemimpin Bani Nadhir yang diusir dari Madinah—menyuguhkan daging kambing bakar yang telah diberi racun, khususnya pada bagian paha depan, karena itulah bagian favorit Rasulullah ﷺ.
Racun itu tidak memiliki bau, sehingga tidak terdeteksi. Rasulullah ﷺ sudah mengambil dan mencicipi daging itu, namun beliau tidak bisa menelannya. Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya daging ini telah memberitahuku bahwa ia mengandung racun.”
Sementara itu, sahabat Bisyir bin al-Barā’ radhiyallahu ‘anhu yang ikut menyantap langsung menelannya dan kemudian wafat karena racun tersebut.
Rasulullah ﷺ selamat dari kematian saat itu, namun racun tersebut tetap berdampak dalam jangka panjang. Dalam riwayat lain disebutkan, sehari sebelum wafatnya, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa pengaruh racun dari peristiwa Khaibar itu masih terasa dan hampir memutus urat nadinya. Padahal jaraknya cukup jauh—Perang Khaibar terjadi pada tahun ke-7 Hijriah, sedangkan Rasulullah ﷺ wafat pada tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun ke-11 Hijriah, di usia 63 tahun lebih 4 hari.
Kembali pada tema wakaf. Di balik peristiwa Khaibar, lahirlah amaliah besar bernama wakaf. Dalam sebuah riwayat, Jābir bin ‘Abdillāh radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa hampir seluruh sahabat meneladani apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khattab, yakni mewakafkan harta yang mereka peroleh dari hasil rampasan perang Khaibar.
Salah satu contoh wakaf yang sangat legendaris dan masih ada hingga hari ini adalah wakaf sumur dari ‘Utsmān bin ‘Affān radhiyallahu ‘anhu.
Ketika Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin hijrah ke Madinah, salah satu tantangan berat yang mereka hadapi adalah akses terhadap air bersih. Ada sebuah sumur yang airnya sangat baik, namun dimiliki oleh seorang Yahudi. Siapa pun yang ingin mengambil air dari sumur itu harus membayar. Bagi yang tidak punya uang, maka tidak bisa memperoleh air.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang mampu membeli sumur itu dan menggunakannya untuk kaum Muslimin, maka baginya pahala besar di sisi Allah.”
‘Utsmān pun menawarkan untuk membeli sumur itu, namun pemiliknya tidak mau menjualnya. Di sinilah kecerdikan ‘Utsmān bin ‘Affān terlihat. Ia tahu bahwa orang Yahudi itu tamak, maka ia tawarkan pembelian setengah waktu: sehari air sumur digunakan oleh kaum Muslimin (milik ‘Utsmān), dan sehari berikutnya oleh pemilik Yahudi.
Orang Yahudi itu berpikir ia tetap untung karena masih memiliki sumurnya dan hanya berbagi waktu. Namun yang terjadi, kaum Muslimin mengambil air sebanyak mungkin saat giliran ‘Utsmān, hingga pada giliran berikutnya tidak banyak yang membeli dari si Yahudi. Ia merasa merugi.
Akhirnya, ‘Utsmān pun menawar ulang dan berhasil membeli seluruh sumur tersebut. Menurut sebagian riwayat, harga yang disepakati adalah 20.000 dirham. Sejak saat itu, sumur tersebut diwakafkan sepenuhnya untuk kepentingan kaum Muslimin—dan itulah wakaf ‘Utsmān bin ‘Affān yang terus mengalir pahalanya hingga kini.
Demikianlah, dari peristiwa besar Perang Khaibar, lahir berbagai hikmah, salah satunya adalah amal jariyah wakaf. Wakaf ini bukan sekadar harta, tapi bukti bahwa Islam tidak hanya membentuk pasukan dan kekuatan, tapi juga peradaban yang peduli terhadap masa depan umat.
Inilah gambaran luar biasa dari wakaf Utsman bin ‘Affan radhiyallāhu ‘anhu yang usianya kini telah lebih dari 1400 tahun. Di sekitar lokasi itu kemudian dibangun kebun pada masa Khilafah Turki Utsmani, yang diperluas hingga memiliki lebih dari 1600 pohon kurma, sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Hasil panen dari kebun itu disimpan dalam rekening khusus, dan dari situlah kelak dibangun hotel dan masjid di depan kebun tersebut. Tertulis dengan jelas di depan hotel itu:
“Waqf Utsman bin ‘Affan Hotel”
Ya, ini adalah hotel wakaf peninggalan sahabat mulia dari generasi pertama. Hingga hari ini, aset itu masih terus dikelola dan berkembang.
Dalam perjalanannya, sejarah wakaf mencatat wakaf-wakaf besar lainnya. Maka saya ingin mengajak kita semua untuk mengenang momen-momen penting dari sirah nabawiyyah, khususnya peristiwa Perang Khaibar, yang bukan hanya peperangan, tetapi juga menyimpan pelajaran besar, termasuk lahirnya praktik wakaf dari para sahabat.
Sebagaimana telah kita bahas, salah satu sahabat mulia, ‘Umar bin al-Khattāb radhiyallāhu ‘anhu, menerima bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) Khaibar. Ia merasa sangat terkejut karena nilai harta tersebut begitu besar. Namun, hal itu tidak membuatnya gelap mata. Ia justru datang kepada Rasulullah ﷺ dan meminta petunjuk: “Apa yang harus aku lakukan dengan harta ini?” Rasulullah ﷺ membimbingnya agar menahan pokok harta tersebut dan menyedekahkan hasilnya. Itulah yang menjadi tonggak awal praktik wakaf secara formal.
Mari kita berhenti sejenak dan merenung: dari sumur menjadi kebun, dari kebun menjadi hotel wakaf dan masjid, kemudian hasilnya dialirkan untuk beasiswa dan kemaslahatan umat. Bayangkan, 1400 tahun telah berlalu, dan pahala Utsman bin ‘Affan terus mengalir—melewati puluhan generasi. Sungguh luar biasa.
Wakaf bukan hanya tanggung jawab kaum laki-laki. Sejarah mencatat peran perempuan sangat besar dalam membangun peradaban Islam melalui wakaf.
Saya langsung mencari—dan ternyata memang benar, telah ada contoh wakif yang luar biasa dahsyat: Ratu Zubaidah.
Beliau adalah sosok perempuan luar biasa, istri dari Khalifah Hārūn ar-Rasyīd. Dalam perjalanan haji bersama sang khalifah, beliau menyaksikan sendiri banyak jemaah haji yang wafat di tengah jalan karena kehausan dan kelaparan. Dari situlah tumbuh tekad dalam dirinya: “Bagaimana caranya agar jemaah haji tidak lagi kehabisan air di perjalanan?”
Di Irak terdapat dua sungai besar dan banyak sumber air. Maka dibangunlah saluran air dari Kufah (Irak) menuju Makkah, melewati gurun tandus. Saluran itu dibuat menggunakan sistem terminal air (penampungan) yang—untuk ukuran zaman itu—adalah luar biasa. Proyek ini dikenal sebagai Saluran Irigasi Ratu Zubaidah, dan sisa-sisanya masih bisa dilihat hingga hari ini. Jika Bapak/Ibu mencari di YouTube dengan kata kunci “Saluran Irigasi Ratu Zubaidah”, insyaallah akan muncul dokumentasi sejarahnya.
Biaya proyek ini sangat besar. Diperkirakan menghabiskan 1.500.000 dinar emas. Bayangkan, 1 dinar = 4,25 gram emas. Kalikan saja 1.500.000 dinar dengan 4,25 gram, lalu kalikan lagi dengan harga emas hari ini. Luar biasa nilainya. Tapi lebih luar biasa lagi adalah dampaknya bagi jutaan jemaah haji saat itu dan setelahnya.
Inilah proyek wakaf lintas negara yang dilakukan oleh seorang perempuan karena kasih sayangnya kepada tamu-tamu Allah. Sayangnya, sebagian dari saluran dan bendungan itu tidak lagi dapat digunakan karena kerusakan, perubahan iklim, dan tidak dirawat secara optimal. Namun, jejaknya tetap menjadi bukti kebesaran wakaf dalam sejarah Islam.
Contoh lain yang tak kalah luar biasa adalah wakaf kereta api Hijaz.
Kereta ini membentang dari Damaskus (Suriah) hingga Madinah (Arab Saudi), bahkan berasal dari wilayah Kekhalifahan Turki Utsmani. Inilah wakaf di bidang transportasi antarnegara yang menghubungkan jemaah haji dari berbagai wilayah.
Jadi, bila kita membayangkan kekuatan wakaf umat Islam hari ini, hitung-hitungan sederhana saja sudah sangat masuk akal.
Mari kita kembali ke potensi kita:
- Kita punya 12.000 masjid Muhammadiyah.
- Tapi anggap saja yang aktif secara ekonomi hanya 2.000 masjid.
- Jika satu masjid pada satu kali Jumat bisa mengumpulkan Rp500.000, maka dalam 52 kali Jumat setahun, itu menjadi Rp26 juta per masjid per tahun.
- Jika dikalikan dengan 2.000 masjid, totalnya mencapai Rp52 miliar setahun.
Itu baru dari sebagian kecil masjid. Kalau seluruh masjid di Indonesia—yang jumlahnya lebih dari 800.000, bahkan sebagian data menyebut lebih dari 1 juta—memberikan kontribusi yang sama, berapa potensi ekonominya?
Namun, di sisi lain, kita dihadapkan pada kenyataan yang ironis.
Potensi wakaf tunai di Indonesia sudah dihitung dengan pendekatan rasional dan realistis. Potensinya mencapai triliunan rupiah. Tapi yang berhasil terealisasi baru sekitar Rp3 triliun. Sementara itu, transaksi judi online di Indonesia mencapai Rp600 triliun.
Bayangkan, Rp600 triliun untuk sesuatu yang haram, yang merusak generasi, menggerogoti ekonomi rumah tangga, dan merusak moral bangsa. Belum lagi peningkatan konsumsi minuman keras, narkoba, dan praktik prostitusi. Semua naik secara signifikan.
Apa yang salah?
Kita adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia. Kita juga negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia. Tapi kenapa yang justru muncul di permukaan adalah angka-angka yang memalukan?
Kuncinya ada pada masjid dan wakaf.
Sudah ada contoh besar di masa lalu:
- Utsman bin ‘Affan radhiyallāhu ‘anhu, yang mewakafkan sumur dan kebun kurma,
- Ratu Zubaidah, yang mewakafkan saluran air antarnegara,
- Khalifah Turki Utsmani, yang mewakafkan jalur kereta antarnegara untuk jemaah haji.
Semua itu bukan baru, tapi sudah pernah dilakukan. Kalau kita baru mengumpulkan Rp1 miliar, itu belum apa-apa dibandingkan sedekahnya Utsman bin ‘Affan saat Perang Tabuk: 1.000 dinar (lebih dari 4 kg emas!). Dan beliau pernah mewakafkan lebih dari itu!
Jadi jika hari ini kita belum bisa mewujudkan potensi wakaf kita, pasti ada yang keliru. Pasti ada sesuatu yang tidak tepat dalam sistem kita—dalam cara berpikir, dalam cara bergerak, dalam cara mengelola potensi umat.
Inilah yang saya ingin sampaikan: Kita punya kekuatan besar. Kita punya sejarah. Kita punya jumlah masjid terbanyak. Kita punya umat terbesar. Tapi kita juga punya tantangan besar—dan masjid serta wakaf adalah jawabannya.
Salah satu langkah penting dalam perbaikan umat adalah dengan kembali meneladani bagaimana Rasulullah ﷺ menapaki jalan perubahan. Maka saya ajak kita menengok kembali peristiwa-peristiwa penting dalam sirah nabawiyah, seperti Perang Khaibar dan Hijrah Rasulullah ﷺ.
Ketika kita mengkaji sirah, hendaknya tidak hanya terjebak pada kronologi semata. Di balik setiap peristiwa, ada pelajaran yang relevan untuk kehidupan kita hari ini. Termasuk di antaranya adalah wakaf, masjid, dan amaliah-amaliah besar lainnya yang lahir dari peristiwa-peristiwa agung itu.
Saya sengaja menyoroti dua hal: wakaf dan masjid. Keduanya menjadi kekuatan utama umat Islam, yang sangat relevan untuk menghadapi tantangan besar zaman ini—yakni fenomena yang terus meningkat seperti judi online, minuman keras, dan prostitusi. Ketiga penyakit sosial ini perlu dihadapi dengan kekuatan spiritual, kelembagaan, dan ekonomi. Dan kekuatan itu bersumber dari masjid dan wakaf.
Masjid adalah salah satu bentuk wakaf terbesar dan paling banyak di Indonesia. Maka, tinggal bagaimana kita menata hati dan merawat fungsi masjid agar kekuatannya bisa benar-benar dirasakan oleh umat.
Saya ingin menegaskan kembali bahwa ketika kita mengkaji sirah, kita akan menemukan begitu banyak pelajaran penting, bukan sekadar urutan peristiwa.
Contohnya, di balik Peristiwa Khaibar, terdapat peristiwa pembagian ghanimah (harta rampasan perang) yang melatarbelakangi lahirnya praktik wakaf. Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa wakaf sudah lebih dahulu dipraktikkan Rasulullah ﷺ saat mendirikan Masjid Nabawi, tetapi peristiwa Khaibar memperkuat keberlanjutan dan sistematisasinya.
Ketika Rasulullah ﷺ hijrah, ada tiga langkah besar yang beliau lakukan dan dianggap oleh para ulama sebagai fondasi utama peradaban Islam:
- Mendirikan masjid
- Mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar
- Membentuk sistem perlindungan bersama (konstitusi Madinah)
Semua ini adalah pilar-pilar yang membentuk kekuatan umat. Masjid dibangun sebagai pusat ibadah, pendidikan, musyawarah, bahkan pusat ekonomi. Rasulullah ﷺ sendiri membangun pasar yang akhirnya mampu mengalahkan dominasi pasar milik Yahudi Bani Qainuqa. Dalam waktu kurang dari dua tahun, pasar kaum Muslimin tumbuh dan berkembang.
Di balik peristiwa Perang Badar dan Perang Uhud, kita juga belajar bahwa dari situ berkembang disiplin ilmu seperti ilmu faraid (hukum waris Islam). Setelah Perang Badar, turunlah ayat yang mengoreksi praktik saling mewarisi antar sesama sahabat yang dipersaudarakan. Setelah Perang Uhud, ada peristiwa keluarga seorang sahabat yang mengadukan soal warisan kepada Rasulullah ﷺ, yang kemudian melatarbelakangi turunnya Surah An-Nisā’:7:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ…
“Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat…”
Dari situlah kemudian berkembang hukum waris Islam dan lahir ilmu faraid.
Jadi, jika kita membaca sirah, kita tidak hanya membaca sejarah, tetapi juga membaca akar-akar ilmu dan amal, yang menjadi dasar peradaban Islam: wakaf, masjid, ilmu waris, dan tatanan sosial Islam yang adil.
Demikian yang dapat saya sampaikan malam ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat, dan semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk terus menjaga dan mengembangkan warisan Rasulullah ﷺ.
sumber foto: hidayatullah.com