web stats
Home » Prof. Ahmad Jaballah: Umat Islam Perlu Kalender Hijriah Global sebagai Pilar Persatuan

Prof. Ahmad Jaballah: Umat Islam Perlu Kalender Hijriah Global sebagai Pilar Persatuan

by Redaksi
0 comment

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA, 25 Juni 2025 — Wakil Ketua European Council for Fatwa and Research (ECFR), Prof. Dr. Ahmad Jaballah, menegaskan pentingnya penyatuan kalender Hijriah umat Islam dalam seminar internasional bertajuk Peluncuran Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang digagas oleh Muhammadiyah. Dalam pemaparannya di Convention Hall Masjid Wahidah Dahlan, Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Prof. Jaballah menyoroti bahwa kalender Hijriah yang bersifat tetap dan ilmiah adalah kebutuhan zaman sekaligus jalan menuju kesatuan umat.

“Setiap peradaban besar memiliki sistem kalendernya sendiri. Maka, sebagai umat dengan risalah universal, umat Islam juga wajib memiliki kalendernya sendiri yang sahih dan seragam,” ungkapnya.

Prof. Jaballah menjelaskan bahwa kalender Hijriah yang digunakan selama ini, sejak ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA melalui musyawarah dengan para sahabat, telah menjadi rujukan penting dalam kehidupan umat Islam. Namun, ia menilai bahwa jika sistem tersebut terus bergantung pada rukyat (pengamatan hilal secara visual), maka mustahil membentuk sistem kalender yang konsisten secara global.

“Tanggal 1 Syawal bisa jatuh pada Jumat di satu negara, Sabtu di negara lain, dan Ahad di tempat ketiga. Itu bukan sistem kalender. Bandingkan dengan kalender Masehi yang mampu menetapkan satu tanggal global meskipun zona waktu berbeda,” jelasnya.

Prof. Jaballah menyoroti bahwa nash syar’i justru mengarahkan pada metode yang ilmiah dan pasti. Ia menyebut bahwa Al-Qur’an lebih banyak menyinggung aspek hisab atau perhitungan astronomi ketimbang rukyat. Beberapa ayat yang disebut antara lain:

  • QS Al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, itu adalah penentu waktu bagi manusia dan untuk haji.”
  • QS Yunus: Allah menetapkan fase-fase bulan “agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.”
  • QS Ar-Rahman: “Matahari dan bulan berjalan menurut perhitungan (hisban).”

“Al-Qur’an tidak pernah menyebut rukyat secara eksplisit. Justru kata hisban mengisyaratkan kepada sistem perhitungan astronomis yang presisi,” tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa metode rukyat yang dianjurkan dalam hadis Nabi adalah bentuk kemudahan pada masa Nabi Muhammad SAW, yang hidup dalam masyarakat ummi (tidak membaca dan menghitung). Namun hari ini, umat memiliki akses ke teknologi astronomi yang jauh lebih akurat dan dapat diakses secara luas oleh siapa pun, bahkan melalui internet.

Pengalaman umat Islam di Eropa juga menjadi sorotan Prof. Jaballah. Menurutnya, perbedaan penetapan hari raya tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga dalam satu kota, bahkan satu masjid.

“Sebagian mengikuti Saudi, sebagian mengikuti negara asalnya, sebagian tidak ikut apa pun. Akibatnya umat terpecah dan kehilangan kekuatan kolektif,” ungkapnya.

Situasi ini menimbulkan persoalan praktis: sulitnya menetapkan hari libur bagi anak-anak Muslim di sekolah, dan menyewa tempat salat Ied tanpa kepastian tanggal.

Karena itu, Dewan Fatwa Eropa merasa penting untuk menyatukan umat melalui kalender yang pasti dan sah secara syar’i maupun sipil.

Menjawab pertanyaan hukum fikih seputar penetapan awal bulan, Prof. Jaballah menyampaikan tiga poin penting:

  1. Sebab syar’i awal bulan adalah masuknya bulan, bukan melihat hilal. Melihat hilal hanyalah cara.
  2. Penetapan awal bulan adalah hukum wadhi’, yakni syarat teknis, bukan hukum taklifi yang bersifat kewajiban ibadah. Yang wajib adalah puasa, bukan cara melihat hilal.
  3. Rukyat di masa Nabi digunakan karena kondisi ummi masyarakat, bukan karena pengharusan teologis.

Hisab falak, lanjutnya, telah mencapai derajat kepastian (qat’iyyah) secara ilmiah. Sedangkan rukyat bersifat dugaan (zhanni) dan rentan kesalahan, bahkan dalam praktiknya di beberapa negara bisa memiliki tingkat kesalahan hingga 70 persen.

“Dalam kaidah ushul fiqh, jika ada dua dalil—yang satu pasti dan satu lagi dugaan—maka yang pasti harus diutamakan,” jelasnya.

Penolakan terhadap hisab oleh sebagian ulama klasik, menurutnya, karena mereka mengira hisab adalah bagian dari ilmu nujum (peramalan), padahal hisab falak modern adalah ilmu pasti.

Majelis Ulama Eropa telah mengkaji persoalan ini melalui seminar-seminar, dan hasilnya mendukung penggunaan hisab falak sebagai dasar penetapan kalender Hijriah. Konferensi internasional di Istanbul pada 2016, yang dihadiri para ulama dan ilmuwan, menyepakati bahwa:

  • Kalender Hijriah global disusun berdasarkan hisab yang pasti dan ilmiah.
  • Rukyat yang digunakan adalah rukyat hukumiah yang terverifikasi secara astronomi.
  • Tidak ada relevansi ikhtilaf mathali’ (perbedaan lokasi hilal), karena bumi adalah satu sistem langit yang terhubung.

“Selama hilal dapat dilihat di satu tempat di bumi, maka wilayah lain yang berbagi waktu malam dengannya juga dapat menggunakan penetapan itu,” ujarnya.

Mengakhiri pemaparannya, Prof. Jaballah menegaskan bahwa kalender Hijriah global bukan hanya solusi teknis, tetapi cermin kesatuan umat Islam yang tersebar di seluruh dunia.

“Kalender ini akan menyatukan waktu puasa, menyatukan hari raya, dan menunjukkan bahwa umat ini adalah satu umat, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku (QS Al-Mu’minun: 52),” pungkasnya.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00