web stats
Home » Menghidupkan Qalb dan Akhlak Rasulullah di Tengah Krisis Kemanusiaan

Menghidupkan Qalb dan Akhlak Rasulullah di Tengah Krisis Kemanusiaan

by Redaksi
0 comment

Oleh KH. Fathurrahman Kamal, Lc., MA.



Mudah-mudahan, di tengah suasana wabah COVID-19 yang masih melanda dunia, Allah tetap menurunkan keberkahan, karunia, dan rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya umat Islam.
Semoga kita senantiasa bersabar dalam menerima karunia sekaligus ujian dari Allah.
Inilah saatnya bagi kita semua untuk menunjukkan kepada dunia bahwa umat Islam mampu menjadi teladan dalam menghadapi ujian yang sangat berat ini.

Sahabat sekalian yang saya muliakan, Setiap manusia—baik dari zaman dahulu, sekarang, maupun hingga akhir zaman—dibekali oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebuah sistem dahsyat yang melekat dalam dirinya. Allah menganugerahkan kepada kita akal, dengan akal itu kita mampu merenungi dan memikirkan begitu banyak tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita juga dianugerahi jasad, dengan jasad itu kita sanggup menciptakan berbagai macam fasilitas dan infrastruktur kehidupan. Kedua potensi ini dimiliki secara universal oleh seluruh umat manusia.
Namun, ada satu potensi lain yang bisa jadi dikhususkan bagi orang-orang yang beriman, yakni al-qalb, hati.

Dalam pandangan Imam al-Ghazali rahimahullah, qalb ini ibarat seorang panglima yang mengatur seluruh pasukannya. Beliau menyebut bahwa qalb adalah instrumen nilai, semacam pemancar (transmitter) batin, yang memancarkan cahaya petunjuk dan pencerahan kepada seluruh organ tubuh, sehingga tubuh kita mampu menjalankan tugasnya secara optimal.

Itulah sebabnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa qalb adalah organ yang paling penting, yang menjadi titik tolak dari kebaikan maupun keburukan manusia dalam hidupnya.

Sahabat-sahabat yang dimuliakan Allah, Ketika akal, jasad, dan qalbu manusia beraktivitas,
maka Allah juga mengingatkan kita dalam Al-Qur’an bahwa kita hadir di dunia ini dalam keadaan hampa, tanpa pengetahuan apa pun. Allah berfirman, “Wallāhu akhrajakum min buthūni ummahātikum lā ta’lamūna syai’ā” Artinya: Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa pun.

Lalu Allah menganugerahkan kepada kita tiga hal: as-sam‘ (pendengaran),
al-abṣār (penglihatan), dan yang paling penting, al-af’idah (qalbu) yang ada dalam diri kita. Ketiga organ ini adalah sarana yang Allah berikan agar manusia mampu mengenal dan memahami kehidupan. Namun semuanya tetap memerlukan prototype, contoh nyata, agar dapat berjalan di atas kebenaran.

Sebab bagaimana pun juga, manusia lahir dalam keadaan tidak tahu apa-apa.
Dalam proses memperoleh ilmu dan mengenal nilai, Allah menghadirkan contoh nyata, teladan hidup—bukan hanya narasi atau wacana, tetapi contoh yang praktis, bisa ditiru, bisa dicontoh dalam kehidupan nyata.

Karena itu, pribadi yang menjadi prototype utama umat manusia dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Laqad kāna lakum fī rasūlillāhi uswatun ḥasanah” Sungguh, pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik. Beliau adalah keteladanan hidup yang bisa kita ikuti dan tiru secara langsung dalam kehidupan kita sehari-hari.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun dipuji oleh Allah sebagai satu-satunya manusia yang berada di atas akhlak yang agung: “Wa innaka la‘alā khuluqin ‘aẓīm” Dan sungguh, engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang sangat luhur.

Sahabat sekalian yang saya muliakan, Karena itu, saat kita ingin meneladani akhlak Rasulullah,
maka pondasi utama yang harus kita bangun adalah keimanan.

Sebab sering kali manusia modern keliru dalam memahami akhlak. Guru-guru kita mengajarkan bahwa akhlak itu memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan tiga unsur:

  1. Khāliq – Allah sebagai Sang Pencipta,
  2. Makhlūq – manusia sebagai ciptaan-Nya,
  3. Khuluq – prinsip dasar kebaikan yang harus dijalankan berdasarkan nilai-nilai ilahiah.

Tiga dimensi ini saling terkait dan tidak boleh dipisahkan satu sama lain.

Manusia sebagai makhluk subjek dalam menjalankan akhlak, tidak boleh—dan tidak bisa—terlepas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita harus menjalani kehidupan ini dengan akhlak-akhlak yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Akhlak itu pun tidak boleh terputus transmisinya dari sumber segala kebenaran, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengaitkan antara perilaku kebaikan dengan asas keimanan. Misalnya, dalam sebuah hadis yang sangat populer di tengah masyarakat, Rasulullah bersabda:

“Aṭammul mu’minīna īmānan aḥsanuhum khuluqan.” Artinya: Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Lā yu’minu aḥadukum ḥattā yuḥibba li-akhīhi mā yuḥibbu linafsih.” Artinya: Tidaklah sempurna iman salah satu dari kalian, sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.

Dari sini kita pahami bahwa persoalan sosial, persoalan akhlak, khususnya dalam konteks hubungan sesama manusia, haruslah berlandaskan keimanan. Jika seseorang melakukan kebaikan tanpa asas iman, maka kebaikan itu bisa saja menjadi kebaikan insani semata, sebagaimana yang sering dibahas dalam ranah sekular, misalnya oleh kalangan humanis modern.

Namun kebaikan dalam Islam memiliki pondasi yang kokoh—yaitu iman. Kita sadar betul bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan berpijak pada asas yang jelas: Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan kebaikan itu pun bermuara pada kemaslahatan manusia dan alam semesta secara menyeluruh.

Saudara-saudara yang saya muliakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan kepada kita bahwa akhlak dalam Islam bersifat tetap dan fundamental. Ia tidak berubah karena kondisi atau suasana tertentu. Nilai-nilai seperti kejujuran, keikhlasan, ketulusan dalam memberi, ketulusan dalam bersaudara dan bersahabat, serta kedermawanan adalah nilai-nilai yang bersifat tetap dan tidak boleh ditawar.

Kita tidak boleh berakhlak hanya karena kondisi mendukung atau karena ada keuntungan yang ingin dicapai. Banyak orang berbuat baik, tapi dengan orientasi yang lebih besar dari kebaikan itu sendiri.
Padahal, Al-Qur’an mengingatkan: “Wa lā tamnun tastakthir.” Artinya: Janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih besar.

Poin ketiga yang ingin saya sampaikan adalah, dalam meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, para ulama mengajarkan konsep “at-taḥallī bi akhlāqir Rasūl”—menghias diri dengan akhlak Rasulullah.

Keteladanan Rasulullah adalah sebuah keindahan yang sangat agung. Untuk bisa meraih keindahan itu, maka segala hal yang bertentangan dengannya harus terlebih dahulu dibersihkan dari diri kita.
Inilah yang disebut dengan tazkiyah—proses pensucian jiwa—yang dilakukan secara serius dalam membentuk karakter dan kepribadian.

Hal itu juga dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Huwa allażī ba‘atha fīl-ummiyyīna rasūlan minhum yatlū ‘alaihim āyātihī wa yuzakkīhim wa yu‘allimuhumul-kitāba wal-ḥikmah, wa in kānū min qablu lafī ḍalālin mubīn.” Artinya: Dialah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Padahal sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Masyarakat Arab saat itu telah mencapai puncak kehancuran moral. Sebagian ulama mengatakan bahwa kerusakan kemanusiaan mereka saat itu nyaris tak tertandingi dalam sejarah.

Namun ketika mereka disentuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang terjadi adalah perubahan yang luar biasa. Mengapa bisa demikian? Karena mereka bersedia melakukan tazkiyah—membersihkan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah.

Mereka ingin bertauhid, maka kesyirikan harus dibersihkan terlebih dahulu. Mereka ingin menjadi jujur, maka kebiasaan berdusta harus ditinggalkan sepenuhnya.

Hai para sahabat sekalian yang saya muliakan, Dalam konteks kehidupan sosial kita di masyarakat Indonesia, Al-Qur’an mengajarkan kepada kita sebuah ayat yang sangat tegas dalam Surah ar-Rahmān:

“Wa as-samā’a rafa‘ahā wa waḍa‘a al-mīzān.” Artinya: Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan keseimbangan.

Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan kita tentang keseimbangan kosmik atau semesta,
tetapi juga mengajarkan keseimbangan dalam lingkup yang lebih kecil—dalam alam mikro—yakni relasi sosial antarmanusia. Maka, ketika alam semesta diperlakukan dengan cara yang tidak beradab, ketika kita eksploitasi, kita rusak, dan kita perlakukan secara zalim, maka yang terjadi pasti adalah kerusakan.

Namun bukan hanya semesta yang rusak, jika kehidupan sosial manusia juga tidak dijalankan secara proporsional, maka yang terjadi adalah ketimpangan kemanusiaan.

Dalam konteks akhlak sosial, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan keteladanan yang sangat luar biasa kepada kita. Al-Qur’an pun sangat tegas mengecam mereka yang mengingkari kebenaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak ayat yang menyebut mereka dicela, bahkan diancam oleh Allah: “Inna alladzīna kafarū min ahlil-kitābi wal-musyrikīna fī nāri jahannama.”
Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan kaum musyrik itu akan masuk ke dalam neraka Jahannam.

Namun sikap teologis ini juga diiringi oleh penghormatan dan pujian Allah kepada sebagian Ahli Kitab yang memiliki keutamaan. Sebagaimana difirmankan:

“Wa ja‘alnā minhum a’immatan yahdūna bi amrinā lammā ṣabarū wa kānū bi āyātinā yūqinūn.”
Artinya: Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, karena mereka bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.

Demikian pula dalam berbicara, Al-Qur’an mengajarkan kita untuk adil. Allah berfirman: “Wa idzā qultum fa‘dilū.” Artinya: Dan apabila kalian berkata, maka berkatalah dengan adil.

Kita tidak boleh berbicara melampaui batas hanya karena perbedaan pandangan atau identitas kelompok. Al-Qur’an memperingatkan:

“Wa lā yajrimannakum shana’ānu qawmin ‘alā allā ta‘dilū. I‘dilū huwa aqrabu lit-taqwā.”
Artinya: Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

Dalam konteks inilah, saya ingin menyampaikan lima prinsip pandangan kita dalam berinteraksi sosial:

1. Karamatul Insān – Kemuliaan Manusia Secara Universal

Kita harus meyakini bahwa setiap manusia memiliki martabat yang dimuliakan oleh Allah. Allah berfirman: “Wa laqad karramnā banī Ādam…” Sungguh, Kami telah muliakan anak cucu Adam…

2. Al-Ikhtilāf Sunnatullah – Perbedaan Adalah Sunatullah

Perbedaan agama, suku, ras, bangsa, dan keyakinan adalah ketetapan kodrati dari Allah, sebagaimana siang dan malam. “Wa law shā’a rabbuka la ja‘ala an-nāsa ummatan wāḥidah.”
Jika Allah menghendaki, tentu manusia dijadikan satu umat. Tetapi perbedaan itu justru menjadi medan lahirnya kebaikan dan kebajikan.

3. Lā Ikrahā fid-Dīn – Tidak Ada Paksaan dalam Agama

Dalam menyampaikan dakwah, kita tidak dibenarkan memaksakan ajaran kepada siapa pun.
Imam Ibnu Katsīr menjelaskan, Islam tidak perlu dipaksakan karena kebenarannya begitu terang dan jelas.

4. Metode Dakwah yang Lembut dan Bijak

Metode dakwah harus sesuai dengan tuntunan: “Ud‘u ilā sabīli rabbika bil-ḥikmah wal-mau‘iẓatil ḥasanah wa jādilhum billatī hiya aḥsan.” Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang terbaik.

5. Keadilan Sosial untuk Semua

Kita harus bersikap adil terhadap seluruh umat manusia, siapa pun mereka, apa pun agamanya.
Dalam berbicara, bertindak, dan menilai, keadilan adalah prinsip utama—dan itu telah dicontohkan secara nyata oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.


Judul Asli  

5 Prinsip AKhlak Rasulullah (https://www.youtube.com/watch?v=xyy5NXKqUuY)

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00