Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.
Insyaallah kita akan mentadabburi ayat ke-35 dan 36 dari Surah Asy-Syūrā.
وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِنَا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍۢ
فَمَا أُوتِيتُم مِّنْ شَيْءٍۢ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ آمَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Agar orang‑orang yang membantah ayat‑ayat Kami mengetahui bahwa mereka sekali‑kali tidak akan memperoleh jalan untuk menyelamatkan diri.” Dan apa saja yang diberikan kepada kalian, itu hanyalah kesenangan hidup duniawi. Sedangkan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal, bagi orang‑orang yang beriman dan hanya kepada Rabb‑Nya mereka bertawakkal.”
Pada ayat ke-34, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menjelaskan tentang apa yang akan dilakukan-Nya kepada para hamba yang sedang berlayar di lautan. Di antara tanda kekuasaan-Nya adalah ketika kapal-kapal yang berlayar dengan bantuan angin itu bergerak di lautan. Jika Allah berkehendak, Dia dapat menghentikan tiupan angin sehingga kapal-kapal itu pun berhenti. Ini terjadi di zaman dahulu, ketika teknologi mesin kapal belum ditemukan.
Allah juga bisa saja membiarkan kapal itu berlayar dengan angin yang kencang, atau bahkan menenggelamkannya, yang semua itu bisa terjadi karena dosa-dosa yang diperbuat oleh para penumpangnya. Meski demikian, dalam banyak kasus, Allah memaafkan mereka.
Pada ayat-ayat selanjutnya, Allah melanjutkan penjelasan-Nya. Setelah menyebutkan bahwa Dia memaafkan banyak kesalahan para penumpang kapal, sehingga mereka tidak ditenggelamkan, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui orang-orang yang membantah ayat-ayat-Nya: “Alladzīna yujādilūna fī āyātinā”.
Ibnu Katsīr menjelaskan bahwa makna “mā hum min mahīṣ” adalah bahwa mereka, orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah, tidak memiliki jalan keluar. Mereka tidak bisa lari dari azab Allah. Mereka dipaksa untuk berhadapan langsung dengan qudrah dan kekuasaan-Nya, tanpa daya untuk melarikan diri atau menghindar.
Al-Imām Al-Baghawī menafsirkan “alladzīna yujādilūna fī āyātinā” sebagai “alladzīna yukadzdzibūna bil-Qur’ān”, yaitu orang-orang yang mendustakan kebenaran Al-Qur’an.
Ini menjadi peringatan bagi kita semua, terutama di kalangan akademisi dan mahasiswa studi agama. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami apa yang disebut sebagai pubertas intelektual atau bahkan “kegenitan intelektual”. Dalam prosesnya, mereka mulai meragukan atau membantah ayat-ayat Allah, menganggap Al-Qur’an tidak relevan dengan perkembangan zaman, atau bahkan menuduhnya sebagai kitab yang ambigu.
Sikap seperti ini bukan hanya bentuk dari kurangnya adab (qillatul-adab) atau buruknya adab (sū’ul-adab) terhadap Allah sebagai pemilik kalam (shāhibul-kalām), tetapi juga dapat menjadikan seseorang tergolong ke dalam orang-orang yang disebut Allah dalam ayat ini.
Bagaimana sikap yang seharusnya? Ketika kita menemui ayat yang sulit dipahami, atau tampak bertentangan dengan akal, fakta, atau teori-teori ilmiah mutakhir, maka kita harus meneladani sikap para rasikhūna fīl-‘ilm (ulama yang dalam ilmunya). Mereka berkata, “āmannā bihī kullun min ‘indi rabbinā” — kami beriman kepadanya, semuanya datang dari Rabb kami.
Bahkan dalam kasus di mana hukum dalam Al-Qur’an terlihat tidak adil, kita harus tetap mengimaninya terlebih dahulu, karena pasti ada hikmah di baliknya. Cepat atau lambat, seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman, kita akan memahami kebenaran dan keadilannya.
Ingat, akal manusia terbatas. Ilmu pengetahuan pun terus berkembang dan berubah. Teori-teori yang hari ini dianggap mutlak, bisa jadi akan gugur di masa mendatang. Maka, jangan sampai kita menjadi orang yang membantah ayat-ayat Allah karena keterbatasan pengetahuan kita.
Kebenaran yang mutlak hanyalah firman Allah. “Al-ḥaqqu min rabbika fa-lā takūnanna mina-l-mumtarīn” — Kebenaran itu datang dari Rabbmu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu.
Jika belum paham, belum mengerti, belum klik dengan pemahaman kita, maka imanilah terlebih dahulu. Biarkan waktu, ilmu, dan petunjuk Allah yang akan menjelaskannya kepada kita.
Tentang makna “mā hum min mahīṣ”, para mufassir berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa itu berarti mereka tidak punya tempat untuk lari dari azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagian lainnya menghubungkan maknanya dengan ayat sebelumnya, tentang para penumpang kapal yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika Allah menurunkan badai dan menenggelamkan kapal mereka.
Pendapat terakhir datang dari Al-Imām Al-Qurṭubī, yang menyatakan bahwa “mā hum min mahīṣ” berarti mereka tidak memiliki perlindungan, pelindung, atau tempat aman pada hari kiamat dari azab Allah.
Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā melanjutkan firman-Nya:
“Maka apa pun yang diberikan kepada kalian, itu hanyalah kesenangan hidup dunia; dan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan kepada Rabb mereka bertawakal.”
Dalam ayat ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menegaskan bahwa apa pun kenikmatan yang kalian terima di dunia ini—baik itu kekayaan, jabatan, popularitas, kecantikan, ketampanan, kesehatan, maupun umur panjang—semuanya hanyalah mata‘ul-ḥayāti-d-dunyā, perhiasan dunia yang bersifat sementara.
Adapun apa yang ada di sisi Allah, yaitu kenikmatan akhirat, itulah yang lebih baik (khayrun) dan lebih kekal (abqā), khususnya bagi orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Rabb-nya.
Ibnu Katsīr dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah sedang merendahkan dan meremehkan nilai dunia dan segala perhiasannya. Apakah itu tahta kekuasaan, kekayaan, kedudukan, atau jabatan—semuanya bersifat sementara (fānī). Kata fānī bermakna sesuatu yang akan hilang, rusak, dan tidak abadi.
Coba perhatikan, mahasiswa dan mahasiswi yang sekarang tampak tampan dan cantik—belum tentu 20 atau 30 tahun ke depan tetap seperti itu. Rambut yang hitam legam bisa memutih, bahkan rontok. Kulit yang halus bisa keriput. Kekuasaan pun demikian. Jabatan rektor, seistimewa apa pun, pasti ada batasnya: dua atau tiga periode. Presiden juga demikian. Bahkan seorang raja yang memerintah seumur hidup pun tidak kekal. Bisa dikudeta, bisa tumbang karena sakit, dan pasti akan berakhir ketika kematian menjemput.
Lihatlah bagaimana kisah Fir‘aun. Ia adalah penguasa terkuat pada masanya. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai Ramses II. Ia menaklukkan banyak bangsa, dan tidak ada yang mampu menghentikan kecongkakannya, hingga ia mengklaim, “Ana rabbukum al-a‘lā,”—“Akulah Tuhan kalian yang Maha Tinggi.” Namun, kekuasaan sebesar itu pun berakhir tragis. Ia ditenggelamkan oleh Allah di Laut Merah. Inilah bukti bahwa kekuasaan duniawi sekuat apa pun tetap fana dan tidak dapat menandingi kekuasaan Allah.
Ibnu Katsīr juga menyebut dunia sebagai dāniyah—rendah dan hina—jika dibandingkan dengan akhirat. Dunia ini fāniyah, rusak dan binasa, sedangkan kenikmatan akhirat bersifat kekal dan mulia.
Maka, segala nikmat duniawi yang Allah berikan kepada kita—usia muda, kekuatan, ketampanan, kecantikan, kekayaan, bahkan kecerdasan—semuanya harus dijadikan bekal untuk meraih mā ‘indallāh, apa yang ada di sisi Allah. Itulah kenikmatan hakiki dan abadi.
Orang yang cerdas adalah orang yang sadar akan hakikat ini. Ia tidak terlena dengan masa mudanya, tidak terbuai oleh hartanya, tidak sombong dengan ilmunya, tapi menjadikan semua itu sebagai sarana menuju kebahagiaan abadi. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Al-kayyisu man dāna nafsahu wa ‘amila limā ba‘da al-maut.” “Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.”
Bukan seperti semboyan yang sering kita dengar: “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.” Itu bukanlah semboyan orang yang cerdas, tetapi semboyan orang yang tertipu oleh dunia.
Maka penting bagi kita, terutama para pemuda dan pemudi, untuk tidak tertipu oleh kenikmatan sementara ini. Gunakan masa muda, waktu luang, kekuatan, dan kesempatan hidup di dunia ini untuk mengejar kenikmatan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
“Khairun wa abqā”—Lebih baik dan lebih kekal.
Bagi siapa? “Lilladzīna āmanū wa ‘alā Rabbihim yatawakkalūn”—bagi orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Allah.
Ibnu Katsīr menjelaskan, maksud dari lilladzīna āmanū dalam ayat ini adalah:
“Orang-orang yang bersabar dalam meninggalkan kenikmatan dunia demi mengejar ridha Allah.”
Contohnya adalah kalian yang memilih hadir di majelis ilmu malam ini, meninggalkan kenyamanan rebahan, meninggalkan kesenangan bermain gim atau scroll media sosial, meninggalkan waktu tidur yang bisa jadi sangat menggoda. Itu adalah wujud kesabaran dalam meninggalkan mata‘ul-ḥayāti-d-dunyā.
Ibnu Katsīr menjelaskan makna dari “lilladzīna āmanū” adalah:
“Lilladzīna ṣabarū ‘alā tarkil malādz fid-dunyā” Yaitu: orang-orang yang bersabar meninggalkan berbagai kenikmatan dan kesenangan dunia.
Contohnya adalah kalian—para mahasiswa dan mahasiswi—yang malam ini hadir di masjid untuk mengikuti kajian, meninggalkan kenikmatan “mager” di kos, meninggalkan kesenangan bermain gim, meninggalkan nikmatnya tidur. Semua itu adalah bentuk meninggalkan mata‘ul-ḥayāti-d-dunyā demi sesuatu yang lebih kekal: mā ‘indallāh—apa yang ada di sisi Allah.
Orang-orang seperti inilah—yang rela meninggalkan kenikmatan dunia demi ridha Allah—yang insyaallah berhak mendapatkan balasan akhirat yang khairun wa abqā: lebih baik dan lebih kekal.
Ketika kita di dunia ini diiming-imingi untuk melakukan maksiat, misalnya minum-minuman keras—yang kini makin marak di kota-kota, termasuk di Solo, bahkan mulai bermunculan lagi outlet-outlet yang menjualnya secara terbuka setelah sebelumnya sempat dilarang. Sebagian anak muda bahkan menganggap mabuk itu keren. Slogannya: “nek ora ngendhem ora wareg” (kalau nggak mabuk, nggak puas), atau “cemen nek ora ngombe” (kalau nggak minum, nggak jantan).
Kalau kalian—para pemuda Islam—dihadapkan pada godaan itu, jawablah dengan tegas: “Ora pengin!” Biarlah dibilang cemen, biarlah dibilang nggak keren. Karena kita sedang menunggu dan mengharap mā ‘indallāh—apa yang ada di sisi Allah—yang jauh lebih baik. Khamer surga itu jauh lebih nikmat, jauh lebih suci, dan tidak membawa mudarat seperti khamer dunia.
Di surga, kita akan “terbang” (bahagia) bersama dalam kenikmatan yang tiada tara. Khamer surga tidak menyebabkan mabuk, tidak menimbulkan pusing, tidak bikin mual, dan semuanya halal. Maka, bersabarlah. Orang yang mampu meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya akan Allah gantikan dengan sesuatu yang lebih baik—di dunia dan terutama di akhirat.
Begitu juga kalian para jomblo—yang menjaga diri, tidak pacaran, tidak berikhtilāṭ, tidak memperturutkan hawa nafsu kepada lawan jenis—kalian adalah jomblo-jomblo fī sabīlillāh. Kalian bersabar menjaga kehormatan, menjaga iffah. Kalian tidak mendekati zina. Maka insyaallah, kalian akan mendapatkan balasan mā ‘indallāh yang khairun wa abqā—lebih baik dan lebih kekal.
Di surga, telah menanti ḥūr ‘īn, bidadari-bidadari bermata jeli yang dipingit di tenda-tenda (qashūr). Maka bersabarlah. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Jika pun belum tergantikan di dunia, yakinlah: Allah telah menyiapkan balasan yang lebih baik di akhirat.
Maka, orang-orang beriman adalah mereka yang memandang kesenangan dunia sebagai sesuatu yang sementara. Mereka memanfaatkan dunia sebagai ladang amal untuk mengejar akhirat. Karena itu, yang harus kita perkuat adalah iman, keyakinan, dan tawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat.
Beberapa poin tarbawi penting yang dapat kita garis bawahi:
- Tarbiyah Fikriyah (Pendidikan Intelektual): Sepintar apa pun kita, sehebat apa pun latar belakang keilmuan kita, jangan sampai tergelincir menjadi orang-orang yang yujādilūna fī āyātillāh—mendebat, meragukan, atau bahkan menolak ayat-ayat Allah. Sebab, mereka diancam dengan mā lahum min maḥīṣ—tidak ada jalan keluar dari azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
- Tarbiyah Rūḥiyyah (Pendidikan Spiritual): Kesadaran bahwa dunia adalah fana dan akhirat adalah kekal akan membuat kita bijak dalam menyikapi hidup. Nikmat dunia yang kita miliki—usia muda, waktu luang, kesehatan, harta, kecerdasan—semua itu harus kita manfaatkan untuk mengejar kenikmatan abadi yang khairun wa abqā.