Oleh: KH. Fathurrahman Kamal, Lc., MA.
Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menetapkan dalam Al-Qur’an bahwa jumlah bulan dalam satu tahun adalah dua belas bulan, suatu ketetapan yang berlaku sejak pertama kali Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara dua belas bulan itu, terdapat empat bulan yang dikategorikan sebagai asyhurul ḥurum (bulan-bulan suci).
Salah satunya adalah bulan Muharram, yang dikenal sebagai Syahrullāh al-Muḥarram, bulannya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā. Ada peristiwa penting yang perlu kita kenang dan renungkan di bulan suci ini.
Sebagaimana kita ketahui, bulan-bulan suci memiliki keutamaan yang sangat besar dalam Islam dibandingkan bulan-bulan lainnya. Di antara peristiwa penting yang perlu kita ingat adalah yang disebutkan oleh Baginda Rasulullāh ﷺ, yaitu Hari ‘Āsyūrā’, hari kesepuluh dari bulan Muharram. Dan hari ini, kita berada pada tanggal sembilan Muharram.
Berdasarkan kalender Ummul Qura yang berlaku di Makkah al-Mukarramah, maupun kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang belum lama ini diluncurkan oleh Muhammadiyah, diketahui bahwa esok hari (05 Juli 2025) adalah hari ‘Āsyūrā’.
Hari ‘Āsyūrā’ adalah hari yang sangat penting dan bersejarah, bukan hanya dalam Islam tetapi juga dalam tradisi agama-agama besar lainnya, khususnya tradisi Yahudi.
Karena itu, ‘Āsyūrā’ termasuk dalam peristiwa-peristiwa besar yang disebut Allah dalam Al-Qur’an:
وَذَكِّرْهُم بِأَيَّامِ اللَّهِ “Dan ingatkanlah mereka pada hari-hari (besar) Allah.” (HR. Ibrāhīm: 5)
Yawmu ‘Āsyūrā’ adalah yawm ittishāl al-insān bi al-zamān, al-tārīkh, wa al-qiblah — hari ketika manusia terhubung dengan waktu, sejarah, bahkan peradaban dan kiblat sebagai pusat ritual tertua umat manusia yang berada di Makkah al-Mukarramah. Ini menjadi sangat penting karena kita hidup di zaman ketercerabutan — zaman ketika hampir semua aspek kehidupan tercerabut dari akar sejarah dan fitrahnya.
Hari ini, manusia terlepas dari akar sejarah, akal sehat, dan nilai-nilai aslinya — terlepas dari agama maupun ideologi. Maka sangat penting bagi kita, dalam Islam, untuk mengingatkan kembali hari-hari penting dalam sejarah umat manusia.
Dalam kepercayaan bangsa Yahudi, hari ‘Āsyūrā’ diyakini sebagai hari dimulainya penciptaan alam semesta oleh Allah. Mereka menyebutnya Yawm ‘Āsyūrā’ al-Khayr — hari kebaikan tertinggi. Dalam tradisi mereka, hari ini juga dikenal sebagai Yawm Kafarah (hari pengampunan dosa).
Karena itu, mereka menganggap hari ‘Āsyūrā’ sebagai hari yang sangat suci dan penting. Mereka bahkan mewajibkan diri mereka untuk berpuasa pada hari itu. Namun, cara berpuasa kaum Yahudi berbeda sama sekali dengan apa yang diajarkan oleh Baginda Rasulullāh ﷺ.
Mereka memulai puasanya dari menjelang matahari terbenam tanggal 10 Muharram hingga sesudah terbenamnya matahari pada tanggal 11 Muharram. Dengan demikian, mereka berpuasa selama lebih dari 25 jam.
Dalam tradisi Islam, kita mendapatkan beberapa riwayat sahih. Namun sebelum masuk ke sana, ada hal penting lain yang perlu kita ingat: orang-orang Yahudi meyakini bahwa pada tanggal 10 Muharram, selain sebagai awal penciptaan alam semesta, juga merupakan hari ketika Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis salām dan menenggelamkan Fir‘aun beserta bala tentaranya.
Dalam peristiwa ini, kita mengingat kisah Al-Qur’an ketika pengikut Nabi Musa ketakutan dan berkata:
إِنَّا لَمُدْرَكُونَ
“Kita pasti akan tertangkap!”
Namun Nabi Musa menjawab dengan penuh keyakinan:
كَلَّا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ “Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 62)
Di saat belum ada kompas, peta, atau teknologi penunjuk jalan seperti sekarang, Nabi Musa hanya berbekal keyakinan kepada Allah. Ketika dihadapkan dengan Laut Merah, Allah memerintahkannya untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Maka laut pun terbelah dan menjadi jalan yang luas.
Setelah Bani Israil selamat, dan Fir‘aun bersama pasukannya berada di tengah laut, Allah memerintahkan tongkat itu dipukulkan kembali. Air laut kembali menyatu, dan terjadilah semacam liquefaksi, menyebabkan Fir‘aun dan tentaranya tenggelam.
Dalam detik-detik kematian, Fir‘aun berkata bahwa ia beriman kepada Tuhannya Nabi Musa. Namun itu sudah terlambat. Allah berfirman:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً “Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau menjadi pelajaran bagi orang-orang setelahmu.” (QS. Yūnus: 92)
Dan ini benar-benar terjadi. Jasad Fir‘aun masih dapat disaksikan hingga kini. Bahkan, saya pribadi pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri jasad Fir‘aun yang telah kaku, dengan tangan menggenggam perisai untuk menangkis air laut. Namun semua itu sia-sia. Takdir Allah menetapkannya binasa.
Dalam tradisi Islam, kita mendapatkan riwayat sahih yang disampaikan oleh Ibn ‘Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā. Ketika Nabi ﷺ baru tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Āsyūrā’. Maka beliau bertanya:
“Ada apa ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, hari ketika Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka. Maka Musa pun berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur.”
Maka Nabi ﷺ bersabda: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau pun berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, para sahabat bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, ‘Āsyūrā’ adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
Beliau menjawab: “Jika aku masih hidup tahun depan, insyaAllah aku akan berpuasa juga pada hari kesembilan (Tāsyū‘ā’).”
Namun tahun berikutnya belum datang ketika Rasulullah ﷺ wafat. (HR. Muslim)
Hadis pertama yang kita baca tadi menunjukkan peristiwa hari-hari awal Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Dan dari sinilah kita melihat bagaimana syariat Islam memuliakan hari-hari besar dalam sejarah umat manusia dengan pemaknaan yang benar dan ibadah yang lurus.
Kemudian hadis yang kedua menunjukkan peristiwa yang terjadi setahun sebelum Rasulullah ﷺ wafat.
Al-Imām Ibn Qayyim al-Jauziyyah raḥimahullāh dalam kitab beliau Zād al-Ma‘ād, jilid kedua halaman 67, menyatakan:
“An-nabiyyu ṣāmāhu wa amara biṣiyāmihi qabla wafātihi bi‘ām.” Nabi ﷺ berpuasa dan memerintahkan puasa tersebut satu tahun sebelum wafatnya.
Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim — yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Āsyūrā’ — serta hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī, keduanya menunjukkan peristiwa di awal kedatangan Nabi ﷺ ke Madinah, ketika beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa.
Ada hal menarik, saudara sekalian, yang perlu kita cermati. Menurut keterangan Imam al-Bukhārī, Rasulullah ﷺ memiliki kebiasaan: bila ada suatu kebaikan yang dilakukan oleh umat terdahulu — seperti kaum Yahudi dan Nasrani — dan kebaikan itu belum diperintahkan dalam Islam, maka beliau tetap memberi penegasan bahwa Islam punya identitas dan karakteristik tersendiri.
Ketika para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini sangat diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani,” maka beliau menyatakan, “Jika kami hidup pada tahun yang akan datang, maka kami akan berpuasa juga pada hari ke-9.” Hari kesembilan itu disebut dengan Tāsyū‘ā’, dan hari ini bertepatan dengan hari tersebut: tanggal 9 Muharram.
Penting sekali, bila hari ini belum sempat berpuasa, maka insyāAllah hari berikutnya sangat dianjurkan untuk menyempatkan diri berpuasa. Karena Rasulullah ﷺ telah memberikan kepada kita kabar gembira, bahwa puasa pada hari ‘Āsyūrā’ memiliki keutamaan besar.
Dalam hadis yang sahih, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa puasa pada hari ‘Āsyūrā’ dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu. Maka jelas, ini adalah salah satu puasa yang paling utama.
Tentu puasa yang terbaik adalah puasa yang dilakukan sesuai sunnah Rasulullah ﷺ. Sebagaimana sabda beliau:
“Jika aku masih hidup pada tahun depan, maka aku akan berpuasa juga pada hari yang kesembilan.”
Namun takdir Allah menetapkan bahwa Rasulullah ﷺ wafat sebelum masuk tahun berikutnya.
Maka kitalah, umatnya, yang melanjutkan dan menjalankan apa yang telah beliau sabdakan: berpuasa pada hari ke-9 dan ke-10 Muharram.
Beberapa poin penting yang bisa kita ambil:
Pertama, hari ‘Āsyūrā’ adalah hari yang sangat penting dan bersejarah, terutama dalam tradisi Yahudi dan Islam. Bahkan menurut catatan sejarah, orang-orang Quraisy sebelum datangnya Islam juga sudah terbiasa berpuasa pada hari ini.
Dalam sebuah riwayat dari ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, beliau berkata:
“Yawm ‘Āsyūrā’ adalah hari di mana kaum Quraisy biasa berpuasa pada masa jahiliah. Ketika Islam datang, Rasulullah ﷺ pun berpuasa pada hari itu. Namun setelah diwajibkan puasa Ramadan, maka siapa yang ingin berpuasa ‘Āsyūrā’, silakan, dan siapa yang tidak, tidak mengapa.”
(HR. Bukhārī dan Muslim)
Namun tentu saja, keutamaan tetap ada pada orang-orang yang berpuasa, karena Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa puasa ini menghapus dosa selama setahun yang lalu.
Kedua, penting kita pahami bahwa hari ‘Āsyūrā’ juga dikaitkan dengan peristiwa penting dalam sejarah para Nabi. Dalam tradisi Yahudi, diyakini bahwa hari ini adalah hari diselamatkannya Nabi Mūsā ‘alaihis salām dan para pengikutnya yang setia dari kezaliman Fir‘aun.
Namun demikian, kita mengetahui bahwa dalam sejarah Yahudi terjadi banyak penyimpangan dari ajaran Nabi Musa yang asli, bahkan hingga hari ini. Maka di sinilah pentingnya kehadiran Rasulullah ﷺ yang membawa risalah Islam sebagai korektor bagi peradaban yang telah menyimpang dari garis wahyu.
Meskipun peristiwa itu juga dikenal di kalangan Yahudi, Rasulullah ﷺ ingin menegaskan karakter Islam yang berbeda dan lurus. Maka di akhir hayatnya, beliau menegaskan: “Jika aku masih hidup tahun depan, aku akan berpuasa mulai tanggal 9.”
Terakhir, mari kita renungkan pernyataan Rasulullah ﷺ saat bersabda:
“Fa-anā aḥaqqu bi-Mūsā minkum.” “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.”
Ini merupakan isyarat kuat bahwa Islam sangat memuliakan Nabi Musa ‘alaihis salām. Bahkan, keimanan kita sebagai umat Islam mencakup keyakinan kepada seluruh Nabi dan Rasul, tanpa membeda-bedakan satu sama lain. Dalam Al-Qur’an ditegaskan:
“Lā nufarriqu baina aḥadin min rusulih.” “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dari Rasul-Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Karena itu, bagi kita umat Islam, semua Nabi membawa kebenaran dari Allah. Taurat dan Injil yang diturunkan oleh Allah, pada hakikatnya sama dengan ajaran Al-Qur’an — sebelum terjadi penyimpangan dan distorsi dalam teks-teks mereka.
Maka, kita sebagai umat Islam adalah mereka yang paling pantas untuk memuliakan Nabi Allah Musa ‘alaihis salām. Dan salah satu bentuk pemuliaan itu adalah dengan berpuasa pada hari Tāsyū‘ā’ dan ‘Āsyūrā’.
Ada beberapa kesimpulan penting yang dapat kita ambil
Pertama, bahwa ajaran kebenaran yang diturunkan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā bersifat berkesinambungan dan berkelanjutan. Kebenaran itu dijamin oleh Allah sejak zaman para Nabi terdahulu. Namun, perlu ditegaskan pula bahwa tidak ada jaminan kebenaran mutlak bagi agama-agama atau tradisi sebelum Islam — kecuali setelah datangnya Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.
Sebagaimana Allah firmankan:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat Ku bagimu, serta Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Mā’idah: 3)
Kedua, peristiwa penting yang juga layak kita ingat adalah peristiwa Isrā’ dan Mi‘rāj. Ketika Rasulullah ﷺ diperjalankan di malam hari dari Makkah ke Palestina (Masjidil Aqsha), lalu dilanjutkan ke Sidratul Muntahā di atas langit ketujuh. Dalam perjalanan tersebut, beliau bertemu dan mengimami para Nabi. Ini menunjukkan adanya kesatuan ajaran para Nabi, meskipun diturunkan kepada umat yang berbeda-beda pada masa masing-masing.
Ketiga, peristiwa ‘Āsyūrā’ menjadi bukti autentik bagaimana Rasulullah ﷺ memuliakan Nabi Mūsā ‘alaihis salām dan orang-orang yang beriman bersamanya. Ini adalah pelajaran besar bagi siapa pun yang tengah berjuang menegakkan kebenaran.
Allah berfirman:
“Ala inna naṣrallāhi qarīb. “Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”
(QS. Al-Baqarah: 214)
Meskipun Nabi Musa AS dikejar oleh pasukan Fir‘aun yang memiliki kekuatan logistik dan militer sangat besar, sejarah mencatat: Tidak pernah ada kisah Nabi yang terhinakan dalam perjuangan. Tidak ada kisah ulama yang mati sia-sia. Tidak ada kisah orang-orang yang lurus (hanif) atau para pejuang kebenaran yang binasa begitu saja.
Perjalanan mereka mungkin menghadapi dinamika yang kompleks. Kadang terlihat seperti kekalahan, kadang tampak menyedihkan, tetapi kebenaran akan selalu dimenangkan oleh Allah. Kapan? Itu adalah rahasia Allah.
Maka sesungguhnya kita ini sedang mempertaruhkan diri, untuk membuktikan siapa yang benar di hadapan Allah. Cukuplah Allah sebagai saksi atas semua perjuangan dan pengorbanan kita.
Keempat, Rasulullah ﷺ dengan tegas memuliakan Nabi Musa dan para pengikutnya yang setia. Maka kita pun seharusnya demikian: berani memuliakan siapa pun di antara kita yang berpegang teguh pada kebenaran — apalagi mereka adalah sesama muslim.
Apa pun kelompoknya, apa pun golongannya, apa pun ormasnya — selama ia berpegang pada nilai-nilai Islam, maka ia adalah saudara kita dalam keimanan. Karena parameter kita bukan golongan, bukan organisasi, bukan nama—tetapi kebenaran.
Tulisan ini merupakan trsnkrip dari Khutbah KH. Fathurrahman Kamal, di Masjid Al Musannif 50 Tabligh Institute Muhammadiyah, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah 04 Juli 2025/ 09 Muharram 1447 H versi penanggalan Ummul Qura dan KHGT