PERTANYAAN?
Apakah boleh membangun masjid, madrasah, atau pesantren dengan menggunakan harta yang bersumber dari hasil korupsi? Dan bagaimana pandangan Islam terhadap perbedaan antara korupsi dan pencurian, serta sanksi hukum Islam terhadap korupsi? Lalu, bagaimana hukum Islam memandang taubat seorang koruptor?
JAWABAN
Meskipun membangun masjid, madrasah, atau pesantren itu adalah amal yang mulia, tetapi jika hartanya berasal dari sumber yang haram, maka tetap tidak diterima oleh Allah. Salah satu bentuk harta haram adalah hasil dari khianat maliyah (pengkhianatan harta), yaitu korupsi. Korupsi tidak bisa disamakan dengan mencuri.
Dalam hukum Islam, mencuri artinya mengambil harta milik orang lain yang tidak berada dalam penguasaan kita. Misalnya, mengambil motor dari garasi orang lain, itu mencuri. Dan dalam surah Al-Maidah disebutkan:
“As-sāriqu was-sāriqatu faqṭa‘ū aydiyahumā.”
Artinya, pencuri laki-laki dan perempuan dipotong tangannya sebagai hukuman, jika yang dicuri melebihi nisab, yaitu ¼ dinar atau sekitar Rp500.000.
Namun korupsi berbeda. Hartanya memang sudah berada padanya karena diberi amanah, tetapi dia tidak amanah. Itu disebut khianat. Dan khianat adalah dosa besar. Namun dalam Islam tidak disebutkan secara eksplisit sanksinya, sehingga hukumannya masuk dalam kategori ta‘zīr.
Apa itu ta‘zīr? Ta‘zīr adalah jenis hukuman yang ditetapkan berdasarkan kebijakan penguasa. Bisa lebih ringan atau lebih berat dari hudud. Termasuk bisa sampai hukuman mati jika memang kerusakan yang ditimbulkan sangat besar.
Kenapa korupsi sulit diberantas? Karena tidak ada efek jera. Orang bisa berpikir: “Mending saya korupsi Rp10 triliun, dipenjara 20 tahun, keluar masih hidup, harta saya masih ada.” Kalau seperti itu, jelas tidak ada efek jera.
Solusinya adalah perlu regulasi yang lebih tegas. Bila perlu, kalau sudah menjadi budaya korupsi turun-temurun, hukumannya harus berat. Maka, jika semakin banyak wakil rakyat yang memahami syariat Islam, sangat mungkin hukum Islam diterapkan lebih luas, termasuk di tingkat nasional.
Prinsipnya, meskipun digunakan untuk hal-hal baik seperti bangun masjid, bantu anak yatim, atau perbaiki jalan, tapi kalau sumbernya tidak ṭayyib, maka tidak diterima. Nabi bersabda:
“Inna Allāha ṭayyibun lā yaqbalu illā ṭayyiban.”
Artinya, Allah itu Mahabaik, dan tidak menerima kecuali yang baik.
Lalu bagaimana jika seseorang sudah bertaubat? Maka itu sepenuhnya hak prerogatif Allah. Kita hanya bisa menilai secara lahiriah, sedangkan isi hati dan taubat seseorang adalah urusan Allah.
“Naḥnu naḥkumu biẓ-ẓāhir, wallāhu yatawallā as-sarā’ir.”
Dijawab oleh Ustadz Fajar Rachmadani, Lc., M. Hum., P.hD dalam Pengajian Malam Selasa, 14 Juli 2025