Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Pada pekan sebelumnya, telah kita bahas tadabur Surah Asy-Syura hingga ayat ke-40. Insyaallah, pada kesempatan malam ini, kita akan melanjutkan tadabur Surah Asy-Syura ayat ke-41, 42, dan 43.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kriteria sifat-sifat tertentu yang dimiliki oleh hamba-hamba-Nya yang dijanjikan ma’allāh (kenikmatan) dari sisi-Nya, yakni kenikmatan yang khairun wa abqā (lebih baik dan lebih kekal) daripada segala kenikmatan duniawi. Mereka adalah:
- Al-ladzīna āmanū: Orang-orang yang beriman.
- Wa ‘alaihim yatawakkalūn: Mereka yang bertawakal kepada Allah.
- Walladzīna yajtanibūnal kabā’ira wal fawāhisy: Mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji.
- Walladzīna idzā mā ghadzibū hum yaghfirūn: Mereka yang ketika tersulut amarah akibat kesalahan orang lain, mudah memaafkan.
- Walladzīna istajābū lirabbihim: Mereka yang istijabah (memenuhi) panggilan Allah, menjalankan perintah-perintah-Nya.
- Wa aqōmus salāt: Mereka yang menegakkan salat.
- Wa amruhum syūrā bainahum: Mereka yang menyelesaikan segala urusan, masalah, dan perkara di antara mereka dengan syura (musyawarah, bertukar pikiran, berembuk).
- Wa mimmā razaqnāhum yunfiqūn: Mereka yang menginfakkan sebagian rezeki yang Allah anugerahkan kepada mereka.
- Walladzīna idzā ashābahumul baghyu hum yantasirūn: Mereka yang apabila kezaliman menimpa mereka, mereka melakukan al-intishār (membela diri).
Dari kriteria kesembilan ini, terdapat nuansa penting. Meskipun sifat utama yang didorong adalah memaafkan (al-‘afwu), sebagaimana disebutkan pada poin keempat, syariat juga mengakui hak membela diri (al-intishār) bagi orang yang dizalimi. Namun, al-intishār ini harus dilakukan dengan prinsip al-‘adl (keadilan): setimpal dan tidak melampaui batas (iktidā’), bukan dengan kezaliman serupa. Terutama jika kezaliman yang dialami bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan karena memegang teguh kebenaran, menyampaikan al-haq, dan menjelaskan al-bātil.
Penjelasan ini merupakan tafshīl (perincian) lebih lanjut dari prinsip yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Asy-Syura: 39): Wa jazā’u sayyi’atin sayyi’atun mitsluhā (Dan balasan suatu keburukan adalah keburukan yang serupa). Ini adalah bentuk keadilan dasar; keburukan dibalas setimpal, baik di dunia maupun di akhirat. Namun, Allah juga membuka pintu kemuliaan yang lebih tinggi: Faman ‘afā wa ashlaḥa fa ajruhu ‘alallāh (Tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat ishlāh/perdamaian, maka pahalanya atas Allah).
Dalam persoalan pribadi, syariat membolehkan al-intishār dan menuntut hak. Bahkan, membela diri hingga terbunuh demi mempertahankan hak termasuk dalam kategori syahīd (man qutila dūna mālihi fahuwa syahīd). Namun, pilihan untuk al-‘afwu (memaafkan) dan al-islāh (memperbaiki hubungan) sangat didorong. Seringkali, justru pihak yang dizalimi yang lebih dahulu memaafkan dan berbuat baik kepada pelaku kezaliman. Ini bukan bentuk kehinaan, melainkan kamāl (kesempurnaan) akhlak dan kedewasaan jiwa, mencerminkan firman Allah: Faman ‘afā wa ashlaḥa fa ajruhu ‘alallāh. Pahala dari Allah jauh lebih besar daripada sekadar pengakuan manusia.
Orang yang mampu memaafkan dan tetap berbuat baik meski dizalimi, bahkan menolong di saat pelaku kezaliman terdesak dan ditinggalkan, adalah manifestasi akhlak mulia. Ia bertindak bukan mengharap validasi manusia, melainkan meyakini ajr minallāh (pahala dari Allah). Waktu seringkali menjadi bukti terbaik, di mana Allah menunjukkan kebenaran dan ketulusan hati melalui ujian kehidupan.
Allah menegaskan kembali: Wa man intashara ba’da zhulmihi fa ulā’ika mā ‘alaihim min sabīl (Dan barangsiapa membela diri setelah dizalimi, maka tidak ada jalan [untuk menyalahkan] atas mereka) (QS Asy-Syura: 41). Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa al-muntashirūn (orang yang membela diri setelah dizalimi) itu mā ‘alaihim min sabīl bi ‘uqūbah wa mu’ākhabah (tidak ada jalan untuk menghukum atau membalas mereka). Jika dalam pembelaan diri yang setimpal itu ada pihak yang terluka, si pembela tidak boleh dibalas atau disalahkan.
Prinsip ini juga terkait erat dengan hukum qishāsh dalam Islam (kutiba ‘alaikumul qishāshu fil qatl). Meski syariat sangat mendorong al-‘afwu dan penerimaan diat (wa at-tafu aqwā), ahli waris berhak menuntut qishāsh. Pelaksanaan qishāsh adalah bentuk al-intishār dan raddudz dzulm (membalas kezaliman) yang sah. Pelaksana qishāsh pun mā ‘alaihim min sabīl, tidak boleh dibalas lagi untuk menghindari siklus balas dendam tak berujung.
Ayat ini memiliki relevansi mendalam dengan konflik kontemporer, khususnya dalam konteks perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Zionis Israel. Tuduhan bahwa aksi pembelaan diri (al-intishār) seperti Tufān Al-Aqṣa (Badai Al-Aqsa) yang memicu pembalasan Israel adalah khatha’ fikri (kesalahan berpikir) yang fatal. Aksi tersebut adalah intishār ba’da zhulm (pembelaan diri setelah puluhan tahun kezaliman, penindasan, perampasan tanah, dan blokade). Laporan intelijen juga menunjukkan Israel telah merencanakan serangan. Maka, berdasarkan ayat ini, fa ulā’ika mā ‘alaihim min sabīl – tidak ada alasan untuk menyalahkan atau mencela para mujahidin yang membela diri. Sebagaimana ditegaskan Al-Qurthubi, Wa man intashara ba’da zhulmihī ayyul muslimu ‘alal kāfiri falā sabīla ‘alaihi (Dan barangsiapa membela diri setelah dizalimi, yakni seorang muslim atas orang kafir, maka tidak ada jalan untuk menyalahkannya).
Allah menegaskan pihak yang seharusnya disalahkan: Innamā sabīlu alladzīna yadzlimūnan-nāsa wa yabghūna fil ardhī bil ghairil haqq (Sesungguhnya kesalahan itu pada orang-orang yang menzalimi manusia dan melampaui batas di bumi tanpa mengindahkan kebenaran) (QS Asy-Syura: 42). Al-mufassirūn seperti Ibnu Katsir menjelaskan, yang dimaksud adalah alladzīna yabda’ūna bidz dzulm (orang-orang yang memulai kezaliman). Merekalah yang layak mendapat ‘uqūbah (hukuman), mu’ākhadzah (pembalasan), dan celaan. Ulā’ika lahum ‘adzābun alīm (Mereka itulah yang pantas mendapatkan azab yang pedih). Dunia sering terbalik: yang zalim dibela, yang membela diri atau menyuarakan kebenaran justru difitnah sebagai “pemberontak” atau “teroris”. Ayat ini meluruskan persepsi yang keliru itu.
Sebagai penutup rangkaian nilai ini, Allah menyatakan: Wa laman shabara wa ghafara inna dzālika lamin ‘azmil umūr (Dan barangsiapa yang sabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia) (QS Asy-Syura: 43). Kesabaran (ash-shabr) dan pemaafan (al-maghfirah) yang tulus merupakan puncak kemuliaan akhlak (min ‘azmil umūr). Inilah tingkat kesabaran tertinggi yang dicontohkan oleh para Rasul Ulul ‘Azmi (seperti Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, sering disingkat NIMIM dalam pembelajaran), yang tetap sabar meski mendapat perlakuan keji dari kaumnya. Retorika Al-Qur’an yang indah menawarkan keseimbangan: membalas setimpal diperbolehkan sebagai keadilan dasar, tetapi memaafkan dengan sabar adalah tangga menuju kemuliaan sejati yang berpahala besar di sisi Allah.
Wallāhu a’lam bish-shawāb.