Fikih Informasi dan Jiwa Jurnalis Dakwah dalam Era Digital

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag, M.Pd/ Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jateng

            Di tengah kemajuan teknologi informasi dan derasnya arus media digital, umat Islam dihadapkan pada tantangan besar dalam menyikapi, memproduksi, dan menyebarkan informasi. Informasi hari ini tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga instrumen kuasa yang membentuk opini, menggerakkan masyarakat, bahkan menciptakan realitas sosial baru. Dalam konteks inilah melalui kerangka Fikih Informasi, Islam menawarkan panduan normatif dan praksis dalam berinteraksi dengan informasi.

            Di sisi lain, peran jurnalis dakwah sebagai pelaku strategis dalam produksi wacana Islam menuntut integritas dan komitmen yang kuat. Oleh karena itu, penanaman Panca Jiwa Jurnalis Dakwah menjadi prasyarat dalam membangun narasi Islam yang mencerahkan, berkeadaban, dan transformatif.

Fikih Informasi

            Secara konseptual, Fikih Informasi adalah pemahaman mendalam (al-fiqhu) terhadap informasi (khabar, naba’, ‘ilm) yang berpijak pada nilai-nilai syariat. Ini bukan sekadar pendekatan hukum, tetapi juga cara pandang holistik terhadap bagaimana umat Islam harus menyikapi dan mengelola informasi dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari konstruksi epistemologis Islam, Fikih Informasi mencakup tiga aspek utama: worldview (ar-ra’yu), batasan dan etika (al-hadd wa al-adab), serta metodologi tindakan (al-minhaj). Ketiganya membentuk sebuah sistem nilai yang mengikat dan membimbing setiap Muslim dalam menggunakan dan menyampaikan informasi secara bertanggung jawab.

            Tiga nilai dasar yang menopang Fikih Informasi adalah tauhid, akhlaq karimah, dan al-mashlahah. Nilai-nilai ini bukan sekadar teoretik, melainkan landasan normatif dalam menentukan apakah sebuah informasi layak dikonsumsi atau disebarluaskan. Lebih dari itu, prinsip-prinsip umum atau al-usul al-kulliyah seperti shidq (kebenaran), ikhtiyath (kehati-hatian), ar-rajih (validitas), al-hurr (kebebasan yang bertanggung jawab), serta ‘aql wa ‘adl (rasionalitas dan keadilan), menjadi perangkat moral dan operasional dalam proses penyaringan dan distribusi informasi.

            Fungsi-fungsi strategis dari informasi dalam kerangka fikih ini kemudian diperjelas dalam delapan bentuk peran: ta’lim (pengajaran), tanwir (pencerahan), taudhih (penjelasan), tajdid (pembaruan), tau’iyah (penyadaran), tarjih (penguatan), tanzhim (pengaturan), dan wasilah al-hiwar (sarana dialog). Delapan fungsi ini menegaskan bahwa informasi bukan sekadar alat komunikasi netral, melainkan instrumen perubahan sosial yang harus dijalankan dalam semangat dakwah dan maslahat.

Panca Jiwa Jurnalis Dakwah

            Dalam konteks praksis dakwah dan penyiaran Islam, para jurnalis tidak cukup hanya dibekali dengan kemampuan teknis jurnalistik atau wawasan keislaman semata. Diperlukan internalisasi nilai dan sikap dasar yang menopang tugas besar ini. Di sinilah pentingnya menghidupkan Panca Jiwa Jurnalis Dakwah—lima fondasi kejiwaan yang harus tertanam dalam diri setiap pelaku dakwah media.

            Pertama, jiwa Muaddib (pendidik) menekankan bahwa tulisan dan narasi yang dibangun harus memiliki nilai pendidikan yang mengajak umat kepada kebenaran dan menjauh dari kemungkaran. Jurnalis dakwah tidak cukup hanya menyampaikan fakta, tetapi harus menjadi pengasuh intelektual dan spiritual umat. Kedua, jiwa Musaddid (pelurus informasi) adalah tanggung jawab untuk menghadirkan informasi yang akurat, berimbang, dan mendalam. Jurnalis dakwah harus mampu memverifikasi informasi, memerangi hoaks, dan menjembatani antara umat dan realitas.

            Ketiga, jiwa Mujaddid (pembaharu) adalah semangat tajdid dalam menyampaikan pemikiran Islam yang progresif dan relevan dengan tantangan zaman. Dalam jiwa ini, jurnalis dakwah dituntut untuk membangun diskursus yang segar, tidak hanya mengulang wacana lama, tetapi juga menyesuaikannya dengan konteks kekinian. Keempat, jiwa Muwahhid (pemersatu) mencerminkan pentingnya narasi yang mengedepankan persatuan umat. Jurnalis dakwah harus mampu mengelola perbedaan, menghindari polarisasi, dan menjadikan medianya sebagai ruang bertemu yang inklusif. Kelima, jiwa Mujahid (pejuang) adalah ruh perjuangan dalam menyuarakan nilai-nilai Islam yang adil dan rahmatan lil ‘alamin. Ia harus berani mengambil posisi, berpihak pada yang benar, dan terus menyemai semangat perjuangan di tengah umat.

            Kelima jiwa ini bukanlah idealisme kosong. Di tengah masifnya penyebaran konten yang merusak nilai dan moral publik, menanamkan panca jiwa adalah bentuk tanggung jawab moral dan spiritual yang harus dimiliki oleh setiap jurnalis dakwah. Tanpa itu, narasi keislaman yang disampaikan rentan menjadi dangkal, reaktif, bahkan kontraproduktif dengan nilai dakwah itu sendiri.

Keterhubungan Secara Konseptual

            Hubungan antara Fikih Informasi dan Panca Jiwa Jurnalis Dakwah bukanlah relasi antara dua konsep terpisah, melainkan saling menguatkan. Fikih Informasi menyediakan kerangka normatif dan prinsip etis dalam berinformasi, sementara panca jiwa memberikan fondasi kepribadian dan spiritualitas bagi para pelaku informasi, khususnya dalam bidang dakwah. Keduanya menjawab tantangan yang sama: bagaimana menjadikan informasi sebagai sarana membangun peradaban Islam yang tercerahkan.

            Dalam konteks dakwah digital yang sangat kompetitif dan rentan disusupi narasi destruktif, penggabungan antara Fikih Informasi dan panca jiwa dakwah menjadi kebutuhan strategis. Jurnalis dakwah yang memegang prinsip Fikih Informasi akan lebih terjaga dari kesalahan etik dan manipulasi fakta. Sebaliknya, penginternalisasian lima jiwa akan menghidupkan nilai keikhlasan, keberanian, dan kecermatan dalam setiap karya jurnalistik yang diproduksi.

Dakwah Digital:  Urgensi dan Transformasi Epistemik

            Dalam menghadapi dunia yang semakin terdigitalisasi, dakwah Islam membutuhkan lebih dari sekadar konten—ia membutuhkan narasi yang mendidik, mencerahkan, dan menyatukan. Maka, dakwah melalui media digital harus berlandaskan pada pemahaman yang dalam terhadap Fikih Informasi serta ditopang oleh jurnalis-jurnalis yang berjiwa muaddib, musaddid, mujaddid, muwahhid, dan mujahid.

            Seyogyanya, Islam melakukan transformasi epistemik dalam dunia informasi: dari sekadar penyebaran wacana menjadi pembentuk makna. Dari sekadar reaksi menjadi inisiatif perubahan. Dari sekadar berita menjadi pencerahan. Fikih Informasi dan Panca Jiwa Jurnalis Dakwah adalah dua konsep dasar bagaimana membentuk sebuah Worldview Islam terhadap derasnya arus informasi era kiwari ini.

Buku Rujukan

  1. Fikih Informasi (Fiqh Al ‘Ilam), Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah

Related posts

Menghidupkan Manhaj ‘Irfani: Dakwah Muhammadiyah yang Menyentuh Hati

Mengukur Cinta Kita kepada Rasulullah

Ta’sis Sirah Nabawiyah dalam Risalah Islam Berkemajuan: Sebuah Fondasi yang Imperatif