Meniti Petunjuk Rasulullah dari Hijrah hingga Khaibar

Oleh Akhmad Arif Rifan, S.H.I., M.S.I.


Kebahagiaan seseorang sangat bergantung pada petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal ini berarti menjadikan segala yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pedoman hidup. Setiap orang yang menginginkan kebaikan, keselamatan, dan kebahagiaan bagi dirinya harus mengenal petunjuk-petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mempelajari Sirah Nabawiyah, serta memahami akhlak dan perilaku beliau. Dengan demikian, orang tersebut tidak lagi termasuk golongan yang jahil (tidak mengenal) Rasulullah. Jahil dalam konteks ini merujuk pada ketidaktahuan terhadap tiga aspek tersebut: petunjuk, Sirah, dan akhlak Rasulullah. Siapa pun yang telah memenuhi kriteria ini tergolong sebagai pengikut dan pembela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ucapan ulama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang Sirah Nabawiyah ini menjadi bahan kajian. Referensi Sirah kontemporer seperti Ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri atau Fiqh as-Sīrah karya Syaikh Ramadhan Al-Buthi tetap merujuk pada kitab induk Sīrah Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam, yang bersumber dari riwayat Ibnu Ishaq.

Seperti pertemuan sebelumnya, perlu dilakukan tinjauan ulang mengingat jeda satu bulan antar kajian. Fokus kali ini adalah peristiwa-peristiwa di bulan Shafar, melanjutkan pembahasan bulan Muharram sebagai bulan pertama kalender Hijriah. Meskipun hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara historis tidak terjadi pada Muharram, melainkan pada Shafar, momentum awal tahun tetap dikaitkan dengan semangat hijrah.

Terdapat beberapa peristiwa penting di bulan Shafar. Pertama, pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha. Kedua, peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Ketiga, Perang Khaibar menurut sebagian pendapat. Dalam Ar-Rahīq al-Makhtūm, Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri mengikuti pendapat Ibnu Ishaq yang menempatkan Perang Khaibar pada Muharram. Sementara Muhammad bin Umar Al-Waqidi dalam Al-Maghāzī menyatakan perang tersebut terjadi pada Shafar, dengan durasi pertempuran sekitar empat belas hari.

Pemaknaan hijrah tidak terbatas pada perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah. Setelah Fathu Makkah (Pembebasan Makkah) pada tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya: “Lā hijrata ba’dal fatḥi wa lākin jihādun wa niyyah” (Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, yang ada hanyalah jihad dan niat baik). Hijrah tetap relevan sebagai upaya meninggalkan kemaksiatan, sebagaimana sabda beliau: “Al-muhājiru man hajara mā nahallāhu ‘anhu” (Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang Allah). Dalam riwayat lain dinyatakan: “Lā tanqaṭi’u al-hijratu ḥattā tanqaṭi’a at-taubah, wa lā tanqaṭi’u at-taubatu ḥattā taṭlu’a asy-syamsu min maghribihā” (Hijrah tidak akan terputus hingga tobat terputus, dan tobat tidak terputus hingga matahari terbit dari barat).

Proses hijrah dimulai dengan berhenti dari kesalahan sebelum beralih kepada kebaikan. Kalender Hijriah sendiri baru ditetapkan tujuh belas tahun setelah peristiwa hijrah atau tujuh tahun pascawafat Rasulullah, pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Penetapan ini mengabadikan peristiwa fondasional yang mengubah sepuluh tahun terakhir kehidupan Rasulullah.

Secara kronologis, hijrah terjadi pada 27 Shafar tahun ke-14 kenabian (bertepatan dengan 12 September 622 M). Pada Kamis pagi, Darun Nadwah (Dewan Suku Quraisy) memutuskan membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di malam hari. Namun Allah mengutus Malaikat Jibril untuk memperingatkan beliau dengan firman: “Lā tabit hādzihil lailah” (Jangan bermalam di tempat tidurmu malam ini). Sebelum tengah malam, Rasulullah telah meninggalkan Makkah menuju rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Putra Abu Bakar, Abdullah, bertugas memantau perkembangan di Makkah dan menyampaikan informasi kepada mereka. Asma binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anha (putri Abu Bakar) juga terlibat aktif dalam persiapan logistik hijrah.

Asma binti Abi Bakar radhiyallahu ‘anha kemudian menikah dengan Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu, salah satu sepupu Rasulullah dan termasuk sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Mereka dikaruniai putra bernama Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu yang lahir pada tahun ke-2 Hijriah. Keluarga ini merupakan contoh keturunan generasi awal (As-Sabiqun al-Awwalun) yang disebut dalam Surah At-Taubah ayat 100. Abdullah bin Zubair kelak gugur di Makkah saat mempertahankan keyakinannya pada masa konflik dengan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi.

Inti pembelajaran hijrah mencakup tiga aspek utama: pembangunan masyarakat baru (binā’ al-mujtama’ al-jadīd), pendirian Masjid Nabawi (binā’ al-masjid an-Nabawī), dan persaudaraan antar muslimin (al-mu’ākhāh bainal muslimīn) yang diikuti perjanjian internal umat Islam. Fondasi persaudaraan ini tergambar dalam Surah Al-Hasyr ayat 9 tentang sifat itsar (mendahulukan orang lain) kaum Anshar: “Wa yu’tsirūna ‘alā anfusihim walau kāna bihim khaṣāṣah” (Mereka mengutamakan kaum Muhajirin atas diri mereka sendiri meski dalam kesempitan). Riwayat tentang seorang Anshar yang rela tidak makan demi menjamu tamu Rasulullah adalah bukti nyata itsar ini.

Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah ritual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dalam sabdanya: “Hal adullukum ‘alā mā yamḥullāhu bihil khaṭāyā wa yarfa’u bihid darajāt?” (Maukah kuajarkan sesuatu yang menghapus dosa dan mengangkat derajat?), lalu menyebutkan: “Itsbāghul wuḍū’ ‘alal makārih, katsratul khuṭā ilal masājid, intiẓār aṣ-ṣalāh ba’da aṣ-ṣalāh” (Menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah ke masjid, dan menunggu salat berikutnya setelah salat). Keutamaan masjid juga ditegaskan dalam Surah Al-Jin ayat 18: “Wa annal masājida lillāhi falā tad’ū ma’allāhi aḥadā” (Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah, maka janganlah menyembah selain-Nya di sana). Sejarah mencatat kerusakan besar terjadi ketika masjid dijadikan medan pertikaian, seperti peristiwa kebakaran Masjid Bani Umayyah di Damaskus pada akhir abad ke-5 Hijriah.

Rentetan peristiwa hijrah secara detail adalah: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat pada 27 Shafar, berlindung di Gua Tsur selama tiga malam (Jumat, Sabtu, Ahad), tiba di Quba pada Senin 8 Rabiul Awwal, beristirahat empat hari, lalu melanjutkan perjalanan pada Jumat pagi menuju perkampungan Bani Najjar (kerabat ibu kakek beliau, Abdul Muthalib). Saat tiba di lembah Bani Salim bin ‘Auf, beliau melaksanakan Salat Jumat pertama di Madinah diikuti seratus orang. Akhirnya pada 12 Rabiul Awwal, Rasulullah tiba di lokasi yang kelak menjadi Masjid Nabawi. Beliau menetap di Madinah selama sepuluh tahun hingga wafat pada 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah.

Studi Sirah Nabawiyah tidak sekadar memahami kronologi, tetapi juga mengekstrak nilai universal seperti yang terlihat dalam Perang Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berikhtiar melindungi umat. Praktik persaudaraan (ukhuwah) yang beliau bangun melalui ikatan muakhah antar 80 sahabat (40 Muhajirin dan 40 Anshar) awalnya mencakup hak waris, hingga kemudian diatur ulang melalui Surah An-Nisa ayat 7-14. Semangat itsar tetap menjadi pilar utama, sebagaimana tergambar dalam kisah seorang Anshar yang rela menahan lapar keluarganya demi menjamu tamu Rasulullah, dan direspons Allah dengan turunnya keberkahan.

Perang Khaibar berawal dari tindakan orang-orang Yahudi. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senantiasa mengikuti petunjuk Allah dan berikhtiar semaksimal mungkin untuk berlaku adil. Beliau menghadapi kaum yang telah diketahui karakternya melalui wahyu Allah. Meskipun demikian, Rasulullah tetap menunjukkan ikhtiar terbaik dalam menyikapi mereka. Setelah tiba di Madinah, beliau terlebih dahulu melakukan penguatan internal dengan membangun Masjid Nabawi dan mempersaudarakan kaum muslimin (Muakhat). Kemudian beliau membuat perjanjian dengan kelompok-kelompok Yahudi besar di Madinah, yaitu Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Ketiga kelompok tersebut akhirnya melakukan pengkhianatan. Dua kelompok pertama diusir dari Madinah dan menetap di Khaibar.

Awalnya penduduk Khaibar tidak memusuhi Rasulullah, tetapi orang-orang Yahudi yang terusir dari Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir memprovokasi mereka. Kedengkian itu mencapai puncaknya ketika dua puluh orang dari Bani Nadhir yang terusir menghasut kaum musyrikin Makkah serta kabilah Ghatfan dan sekutu-sekutunya. Kekuatan musuh terkumpul dari selatan Madinah (Makkah) sebanyak 4.000 personel dan dari timur sebanyak 6.000 personel, total 10.000 pasukan. Serangan mendadak ini dikenal sebagai Perang Khandaq. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan pasukan setara, bahkan seluruh penduduk Madinah pun tidak mampu menandingi jumlah tersebut. Atas usul Salman al-Farisi, dibuatlah parit pertahanan yang akhirnya membawa kemenangan bagi kaum muslimin. Namun, musuh berhasil membujuk Bani Quraizhah untuk berkhianat. Allah subhanahu wa ta’ala melindungi Rasulullah dan kaum muslimin meskipun ada korban berjatuhan. Setelah pengkhianatan itu, Bani Quraizhah dijatuhi hukuman sesuai ketentuan.

Pada tahun keenam hijriah, usai Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memfokuskan upaya pada Khaibar sebagai basis para provokator. Beliau memimpin pasukan yang terdiri dari orang-orang yang telah berbaiat dalam Perjanjian Hudaibiyah. Jumlah pasukan muslim sekitar 1.500–1.600 personel, sementara Khaibar memiliki delapan benteng terbagi dalam dua kompleks (lima benteng di Natat dan tiga di Shiqq) dengan total 9.500 personel. Perbedaan jumlah yang signifikan ini tidak menyurutkan tekad kaum muslimin.

Penyerangan dimulai pada pagi hari. Tidak semua benteng dapat ditembus segera; sebagian membutuhkan waktu hingga sepuluh hari, sementara yang lain menyerah dalam tiga hari. Dalam pertempuran ini, terjadi peristiwa penting. Seorang penggembala upahan Yahudi di Khaibar menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bertanya tentang Islam. Setelah dijelaskan, ia pun masuk Islam. Ia kemudian gelisah karena tanggung jawabnya menjaga ternak milik Yahudi. Rasulullah menyuruhnya menepuk wajah ternak tersebut agar kembali ke pemiliknya. Setelah ternak itu pergi, penggembala itu ikut berperang bersama kaum muslimin dan gugur sebagai syahid sebelum sempat melaksanakan salat.

Strategi Rasulullah dalam perjalanan ke Khaibar juga patut dicatat. Beliau memilih rute tengah antara wilayah Khaibar dan Ghatfan untuk memutus jalur bantuan Ghatfan ke Khaibar. Kisah penggembala tersebut mengajarkan agar tidak menunda-nunda berbuat kebaikan, sebab kesempatan mungkin tidak terulang. Selain itu, terdapat riwayat lain tentang seorang sahabat yang berperang demi syahid. Saat pembagian harta rampasan (ghanimah), ia tidak hadir. Ketika bagiannya diberikan, ia menolak seraya berkata, “Aku berperang bukan untuk ini, tapi agar terkena panah di leherku lalu masuk surga.” Rasulullah bersabda, “Jika engkau jujur kepada Allah, Allah akan membenarkanmu.” Tak lama kemudian, ia gugur dalam pertempuran dengan luka di leher. Rasulullah lalu mengafaninya dengan jubah beliau sebagai penghormatan istimewa.

Kemenangan di Khaibar membawa berkah besar. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha meriwayatkan bahwa kaum muslimin baru merasakan kekenyangan setelah Perang Khaibar berkat melimpahnya kurma sebagai harta rampasan. Namun, ada pelajaran pahit pascaperang. Menurut tradisi Jazirah Arab, pemenang berhak menempati wilayah taklukan selama empat hari. Orang Yahudi mengusulkan agar mereka diizinkan tetap mengelola tanah karena keahlian mereka, dengan pemilik sejatinya adalah kaum muslimin. Rasulullah menyetujui proposal tersebut. Namun, seorang perempuan Yahudi (istri Salam bin Misykam, pemimpin Bani Nadhir) menghidangkan kambing bakar beracun untuk Rasulullah. Racun itu terdeteksi ketika tulang kambing memberitahu Rasulullah secara gaib, sehingga beliau memuntahkannya. Sayangnya, sahabat Bisyir bin al-Bara’ radhiyallahu anhu sempat menelannya dan meninggal. Racun itu berdampak jangka panjang pada kesehatan Rasulullah hingga akhir hayat.

Kejujuran kaum muslimin kembali diuji saat panen. Abdullah bin Rawahah radhiyallahu anhu ditugasi mengawasi pembagian hasil panen. Orang Yahudi mencoba menyuapnya agar mengurangi laporan hasil sebenarnya. Abdullah bin Rawahah marah dan menegur mereka, “Wahai Yahudi! Kalianlah makhluk yang paling kubenci karena kalian membunuh para nabi dan orang yang menyuruh kebajikan. Demi Allah, kebencianku tidak akan membuatku berlaku zalim. Tunjukkan hasil panen yang sebenarnya!” Orang Yahudi pun takjub akan keadilannya dan berkata, “Sikap seperti inilah yang membuat langit dan bumi tetap tegak.”

Rangkaian peristiwa Khaibar mengajarkan keteguhan prinsip. Kaum muslimin tidak boleh tergoda suap, harus konsisten berbuat adil meski kepada musuh, dan senantiasa meneladani ketabahan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyatakan bahwa kebahagiaan manusia bergantung pada sejauh mana ia mengikuti petunjuk Rasulullah. Maka, siapa pun yang menginginkan kebaikan, keselamatan, dan kebahagiaan wajib mempelajari sirah, akhlak, dan petunjuk beliau. Dengan demikian, ia termasuk golongan yang mengikuti, menolong, dan membela Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Semoga kajian ini menguatkan kita untuk meniti jalan Rasulullah dengan sabar, tegar, dan husnul khatimah.

Related posts

Tafsir Tarbawi Q.S As Syura ayat 46-47 : Bersegera Memenuhi Seruan Allah, Jangan Menunda Hingga Terlambat

Hijrah pada Bulan Safar: Dari Peristiwa Sejarah ke Spirit Transformasi Kehidupan

Tafsir Tarbawi Surah Asy-Syura Ayat 44–45: Golongan yang Tersesat dan Kerugian Hakiki