Multaqa Ulama & Dai Asia Tenggara 2025: Satukan Barisan, Kelola Perbedaan dengan Adab

BOGORMultaqa Ikatan Ulama dan Dai se-Asia Tenggara (Rabithah Ulama wa Du‘at Janub Syarq Asia) kembali digelar pada 10–12 Safar 1447 H atau bertepatan dengan 4–6 Agustus 2025 di Universitas Maghfirah, Bogor, Jawa Barat. Forum tahunan ini menghadirkan para pencerah umat dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Myanmar, dan sejumlah negara lain. Tahun ini, tema yang diangkat adalah Fiqhul Ittifaq wal Ikhtilaf—fikih kesepakatan dan perbedaan.

Ketua Bidang Pembinaan Remaja, Keluarga, dan Jamaah Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH. Hakimuddin Salim, Lc., MA., turut hadir sebagai delegasi Indonesia. Dalam Kajian Tafsir Tarbawi di Masjid Raya Iska, Solo, Jawa Tengah, 11 Agustus 2025, KH. Hakimuddin memaparkan hasil Multaqa yang berlangsung pekan sebelumnya.

Menurutnya, Fiqhul Ittifaq mengajarkan pentingnya menguatkan persatuan dalam hal-hal yang disepakati, sementara Fiqhul Ikhtilaf memberikan panduan mengelola perbedaan agar tetap terjaga ukhuwah dan adab. Prinsip ini sangat relevan di tengah potensi perpecahan internal umat yang kerap dipicu provokasi pihak luar, seperti menghidupkan kembali perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jamaah dan yang dilabeli “Wahabi”, tradisionalis dan modernis, bahkan habaib dan kiai Nusantara.

Al-Qur’an telah mengingatkan: “Janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu” (fatafsyalu watadz-haba rīhukum). KH. Hakimuddin menegaskan bahwa energi umat seharusnya diarahkan untuk memberantas kebodohan, mengentaskan kemiskinan, mengatasi pemurtadan, dan menangani krisis sosial-ekonomi, bukan terkuras untuk konflik internal.

Teladan ulama klasik seperti Imam Asy-Syafi‘i—yang berkata, “Pendapatku benar namun berpotensi salah, dan pendapat lawanku salah namun berpotensi benar”—menunjukkan adab tinggi dalam berikhtilaf. Demikian pula Hasan al-Banna yang menyerukan kerja sama dalam perkara pokok agama (usuluddin) dan toleransi dalam masalah cabang (furuiyyah).

Meski demikian, ukhuwah tidak berarti kompromi terhadap kesesatan. Penyimpangan yang telah disepakati sebagai kesalahan (al-mujma‘ ‘alaih), terutama dalam pokok agama, harus dihadapi dengan tegas, namun tetap mengedepankan hikmah dan nasihat yang baik (mau‘izhah hasanah).

Salah satu pelajaran penting Multaqa tahun ini adalah kesadaran untuk bersyukur atas kebebasan dakwah di Indonesia, yang disebut KH. Hakimuddin sebagai jannatul dakwah—“surga dakwah”. Berbeda dengan sebagian negara di kawasan, termasuk negara muslim seperti Arab Saudi yang mensyaratkan izin resmi bagi khatib, Indonesia memberi ruang luas bagi mimbar dakwah.

Di Myanmar, misalnya, umat Islam kesulitan mengadakan pengajian atau TPA. Sementara di Indonesia, peluang dakwah terbuka lebar dan kebutuhan pembinaan agama masyarakat masih besar. Kebebasan ini harus disyukuri dengan memaksimalkan dakwah, sebagaimana firman Allah: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmatmu; dan jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

KH. Hakimuddin mengajak umat memanfaatkan kesempatan berdakwah seoptimal mungkin, bahkan sekadar mengajarkan bacaan Al-Qur’an yang benar sudah merupakan amal mulia. “Inilah pesan Multaqa Ulama & Dai Asia Tenggara 2025—menjaga ukhuwah, mengelola perbedaan dengan adab, dan memanfaatkan kebebasan dakwah untuk membangun peradaban Islam yang lebih kuat,” tegasnya.

Related posts

Majelis Tabligh Matangkan Persiapan Rakernas II: Lahirkan Empat Gerakan Strategis Dakwah Muhammadiyah

Penguatan Peran Keluarga, Bangun Generasi Berkarakter Islami

Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Jadi Mitra Strategis Praktikum Profesi Mahasiswa Ilmu Hadis UAD