Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Kita lanjutkan pembahasan materi, dan sampai pada Surah Asy-Syura ayat ke-43. Malam ini akan dibahas ayat ke-44 dan ke-45. Silakan dibuka mushafnya, Surah Asy-Syura ayat 44 dan 45.
Ayat 44–45:
﴿وَمَنْ يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن وَلِىٍّۢ مِّنۢ بَعْدِهِۦ ۗ وَتَرَى ٱلظَّـٰلِمِينَ لَمَّا رَأَوُا۟ ٱلْعَذَابَ يَقُولُونَ هَلْ إِلَىٰ مَرَدٍّۢ مِّن سَبِيلٍۢ ٤٤ وَتَرَىٰهُمْ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا خَـٰشِعِينَ مِنَ ٱلذُّلِّ يَنظُرُونَ مِن طَرْفٍ خَفِىٍّۢ ۗ وَقَالَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ ٱلْخَـٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ ۗ أَلَآ إِنَّ ٱلظَّـٰلِمِينَ فِى عَذَابٍۢ مُّقِيمٍۢ ٤٥﴾
Artinya: “Dan barangsiapa disesatkan Allah, maka tidak ada baginya pelindung setelah itu. Dan engkau (Muhammad) akan melihat orang-orang zalim ketika mereka melihat azab, mereka berkata, ‘Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?’ Dan engkau akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tertunduk karena (merasa) hina. Mereka melihat (neraka) dengan pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.’ Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang zalim itu berada dalam azab yang kekal.”
Pada beberapa pekan yang lalu sudah dibahas tentang orang-orang yang Allah jelaskan dalam Surah Asy-Syura ini. Mereka adalah orang-orang beriman yang mendapatkan مَعَ الله (ma‘allah, kenikmatan di sisi Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā) yang خَيْرٌ وَأَبْقَى (khairun wa abqā, lebih baik dan lebih kekal). Sudah dijelaskan kriteria-kriteria mereka. Pada ayat ke-44 ini, Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menyinggung orang-orang atau golongan yang merupakan kebalikan dari golongan sebelumnya, yaitu orang-orang yang tersesat. Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā menegaskan:
﴿وَمَنْ يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن وَلِىٍّۢ مِّنۢ بَعْدِهِۦ﴾
“Dan barangsiapa disesatkan (dibiarkan tersesat) Allah, maka tidak ada baginya pelindung setelah itu.”
Al-Imām Al-Qurṭubī menjelaskan, makna dari وَمَنْ يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن وَلِىٍّۢ مِّنۢ بَعْدِهِۦ adalah: وَمَنْ يُضْلِلِ ٱللَّهُ أَيْ يُخْزِهِ (“Barangsiapa yang Allah hinakan”), maka tidak ada baginya pelindung setelah itu. Ini merujuk pada orang-orang yang berpaling dari apa yang didakwahkan oleh Rasulullah ﷺ, yang meliputi iman kepada Allah, menjalin hubungan kasih sayang dengan kerabat dekat, keyakinan pada hari kebangkitan, dan penjelasan bahwa kenikmatan dunia (قَلِيلٌ مَتَاعُ الدُّنْيَا) itu sedikit dibandingkan dengan kenikmatan akhirat.
Inilah orang-orang yang Allah biarkan tersesat. Mengapa? Karena mereka telah didakwahi oleh Nabi Muhammad ﷺ, utusan Allah, dengan banyak kemukjizatan luar biasa dan penampilan fisik beliau yang istimewa. Dalam Asy-Syama’il Al-Muḥammadiyyah karya At-Tirmiżī, disebutkan keharuman tubuh beliau, kelembutan telapak tangan beliau yang melebihi sutra, kejernihan mata, serta keringat beliau yang bagaikan mutiara. Wajah beliau memancarkan ketampanan luar biasa, hingga Ka‘ab bin Malik berkata: “لَا أُطِيقُ النَّظَرَ إِلَيْهِ” (“Aku tidak sanggup menatapnya lama-lama karena saking tampannya”). Dari jauh beliau tampak berwibawa, dari dekat sangat ramah dan menghangatkan hati.
Belum lagi akhlak beliau yang agung. Bahkan orang-orang kafir Quraisy mengakui kebijaksanaan dan kejujuran beliau sebelum masa kenabian, sehingga beliau dijuluki الأمين (al-Amīn, yang terpercaya). Beliau berasal dari keluarga terhormat. Jika didakwahi oleh pribadi yang sempurna seperti ini saja mereka berpaling, dari mana lagi hidayah akan datang? Al-Qurṭubī menegaskan: “فَمَنْ أَضَلَّهُ اللَّهُ عَنْ هَذَا الْحَقِّ فَلَا يَهْدِيهِ أَحَدٌ” (“Barangsiapa yang disesatkan Allah dari kebenaran ini, maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk”).
Karenanya, berhati-hatilah ketika mendapat nasihat. Meski belum bisa mengamalkannya, terimalah terlebih dahulu. Jangan berpaling dari hidayah yang telah datang, agar tidak termasuk golongan yang dibiarkan sesat oleh Allah (وَإِيَّاذُ بِاللَّهِ), apalagi sampai hatinya terkunci mati (خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ).
As-Sa‘dī menjelaskan, ayat ini menunjukkan bahwa Allah منفرد بالهداية والإضلال (munfarid bil-hidāyah wal-idhlāl — satu-satunya yang berhak memberi hidayah atau menyesatkan). Hidayah di sini adalah هداية التوفيق والإلهام (hidāyatut-tawfīq wal-ilhām), hak prerogatif Allah. Inilah maksud ayat:
﴿إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ﴾
“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)
Ayat ini turun tentang paman beliau, Abu Thālib, yang enggan bersyahadat hingga wafat.
Ada pula hidayatud-da‘wah wal-irsyād (petunjuk berupa dakwah dan bimbingan). Inilah makna ayat:
﴿وَإِنَّكَ لَتَهْدِىٓ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍۢ﴾
“Dan sungguh, engkau benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura: 52)
Tugas inilah yang diwariskan kepada ulama, dai, dan mubaligh. Kita hanya menyampaikan hidayatud-da‘wah; penerimaan hidayah (hidāyatut-tawfīq) adalah hak mutlak Allah. Ketika Allah membiarkan seseorang sesat, pasti ada sebabnya, di antaranya kesombongan dan kezaliman, termasuk tidak beradab dalam menuntut ilmu.
Allah kemudian menggambarkan keadaan orang zalim ketika melihat azab:
﴿وَتَرَى ٱلظَّـٰلِمِينَ لَمَّا رَأَوُا۟ ٱلْعَذَابَ يَقُولُونَ هَلْ إِلَىٰ مَرَدٍّۢ مِّن سَبِيلٍۢ﴾
“Dan engkau akan melihat orang-orang zalim ketika mereka melihat azab, mereka berkata, ‘Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?’”
Penyesalan mereka luar biasa. Selama di dunia mereka meremehkan perintah Allah, kini mereka berharap kembali untuk memperbaiki diri, namun hal itu mustahil.
﴿وَتَرَىٰهُمْ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا خَـٰشِعِينَ مِنَ ٱلذُّلِّ يَنظُرُونَ مِن طَرْفٍ خَفِىٍّۢ﴾
“Dan engkau akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tertunduk karena (merasa) hina. Mereka melihatnya dengan pandangan yang lesu.”
Pemandangan ini menunjukkan kehinaan mutlak dan rasa takut yang amat dalam.
﴿وَقَالَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ ٱلْخَـٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ﴾
“Dan orang-orang yang beriman berkata, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.’”
Ibnu Kaṯsīr menyebutnya sebagai الخسران الأكبر (al-khusrānul-akbar, kerugian terbesar). Jika mereka dan keluarganya sama-sama di neraka, mereka akan saling menyalahkan dan bermusuhan (ٱلْأَخِلَّآءُ يَوْمَئِذٍۢ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلْمُتَّقِينَ – QS. Az-Zukhruf: 67). Jika mereka di neraka sedangkan keluarga di surga, mereka berpisah selamanya. Padahal, di surga, kenikmatan menjadi sempurna ketika dinikmati bersama keluarga (وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَـٰنٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ – QS. Ath-Thur: 21).
Akhirnya Allah menutup ayat ini dengan peringatan:
﴿أَلَآ إِنَّ ٱلظَّـٰلِمِينَ فِى عَذَابٍۢ مُّقِيمٍۢ﴾
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang zalim itu berada dalam azab yang kekal.”
Azab kekal ini hanya berlaku pada kezaliman terbesar, yaitu kesyirikan (إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ – QS. Luqman: 13).
Terutama kezaliman berupa kesyirikan (إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ – inna syirka laẓulmun ‘aẓīm). Tidak ada kezaliman yang mengantarkan pada azab kekal (عَذَابٍ مُّقِيمٍ – ‘ażābim muqīm) kecuali kesyirikan. Karena itu, pastikan diri dan keluarga terbebas darinya, agar tidak saling merugikan dan dapat berkumpul kembali di surga.
Kesimpulan Faedah Tarbawiyah (Pendidikan):
Pertama, Konsep Hidayah. Ulama, dai, dan pendidik hanya menyampaikan هداية الدعوة والإرشاد (hidāyatud-da‘wah wal-irsyād), yaitu petunjuk dalam bentuk penyampaian dakwah dan bimbingan. Adapun هداية التوفيق والإلهام (hidāyatut-tawfīq wal-ilhām) adalah hak prerogatif Allah semata.
Kedua, Menyambut Hidayah. Hati-hati bila hidayah telah sampai. Jangan berpaling agar tidak termasuk golongan مَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ (may-yudhlillāh – orang yang Allah biarkan tersesat). Jika Allah telah membiarkan seseorang sesat, maka tidak ada pelindung atau pemberi petunjuk setelah itu.
Ketiga, Pendidikan Keluarga. Poin تربية أُسَرِيَّة (tarbiyyah usyariyyah, pendidikan keluarga) sangat penting. Jangan sampai menjadi الخاسرين (al-khāsirīn – orang-orang yang merugi hakiki) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Kaṯīr sebagai الخسران الأكبر (al-khusrānul-akbar, kerugian terbesar) yang merugikan diri sendiri dan keluarga di akhirat, akibat kezaliman, dosa, atau kekufuran.