Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
وَمَا كَانَ لَهُمْ مِّنۡ أَوۡلِيَآءَ يَنصُرُونَهُم مِّن دُونِ ٱللَّهِۗ وَمَن يُضۡلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِن سَبِيلٍ ٤٦ ٱسۡتَجِيبُواْ لِرَبِّكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا مَرَدَّ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِۚ مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإٖ يَوۡمَئِذٖ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِيرٖ ٤٧
Dan tidak ada bagi mereka para penolong yang dapat menolong mereka selain Allah. Barang siapa disesatkan Allah maka tidak ada baginya jalan (untuk mendapat petunjuk). Taatilah seruan Tuhanmu sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak (kedatangannya) dari Allah. Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.S Asy Syura ayat 46-47)
Pada pekan yang lalu, kita sudah menjelaskan tentang bagaimana huru-hara, bagaimana kepedihan yang dialami oleh orang-orang kafir. Apa yang akan dirasakan oleh ahlun nar (penghuni neraka). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Wa taral-mujrimiina yawma-izim muqarrabuuna fii al-‘adaabi. Bagaimana engkau menyaksikan ahlun naraka dalam kondisi tertunduk, terhina? Bagaimana kemudian mereka mencuri-curi pandang dengan penuh ketakutan atas apa yang mereka alami, dengan penuh rasa ngeri atas siksa-siksa yang akan diberikan kepada mereka.
Dan penegasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka itulah al-khasirin (orang-orang yang rugi), serugi-ruginya, orang-orang yang paling rugi. Yaitu orang-orang yang khasiru anfusahum wa ahlihim yaumal qiyamah (merugikan diri mereka sendiri dan keluarga mereka pada hari kiamat nanti). Ya, bagaimana kekufuran yang mereka lakukan itu tidak hanya menyebabkan kerugian pada diri mereka, tetapi juga menyebabkan kerugian untuk keluarga mereka.
Kalau mereka dan keluarga mereka dengan kekufuran mereka sama-sama kafir, akan saling merugikan karena nanti di neraka mereka akan saling menuntut dan menyalahkan. Adapun ketika kemudian mereka kafir dan keluarga mereka beriman, itu juga akan menyebabkan kerugian untuk keluarga mereka. Karena apa? Kemudian tidak bisa berkumpul kembali dengan keluarga mereka nanti di surga. Ya, karena yang satu di neraka, yang satu di surga, itu merupakan bentuk khasarah (kerugian). Bahkan sebagian mufasir menyebutkan sebagai al-khasarah al-akbar (kerugian yang paling besar).
Di saat para ahlul jannah (penghuni surga) mereka dipertemukan dengan keluarga mereka yang juga ahlul jannah, bahkan kemudian disatukan dalam satu tingkatan surga yang sama, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah At-Thur ayat yang 21, Wa allaziina aamanu wattaba’athum zurriyyatuhum bi-iimanin alhaqnaa bihim zurriyyatahum.
Dan orang-orang yang beriman yang kemudian anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka mereka akan dipertemukan, disatukan dalam satu tingkatan surga yang sama, di-upgrade. Meskipun salah satu pihak levelnya, amalnya tidak sesuai dengan level surga tersebut, tetapi karena orang tuanya atau karena anaknya atau karena kakeknya itu adalah orang-orang yang beriman, orang-orang yang lebih saleh, itu bisa dipertemukan kembali. Di saat ahlul jannah berkumpul dengan keluarganya yang juga ahlul jannah, dan menurut As-Sa’di itu merupakan tamamu ni’amati ahlil jannah (kesempurnaan kenikmatan yang diberikan kepada ahli surga).
Ini orang-orang yang khasirin (orang-orang yang rugi), orang-orang kafir ahlun nar, mereka merugikan diri mereka dan keluarga mereka karena kemudian nanti di surga tidak akan ketemu; yang satu di neraka, yang satu di surga. Kalau sama-sama masuk neraka, jadinya saling menyalahkan, saling menuntut, hingga kemudian menambah beratnya siksa mereka.
Ini ikhwah fillah arsyatakumullah, yang penting untuk kita perhatikan dan menjadi peringatan (tazkirah) bagi kita ketika kita didorong oleh hawa nafsu kita atau mendapat godaan dari setan, baik setan dari kalangan manusia atau setan dari kalangan jin yang membisiki kita untuk melakukan dosa, melakukan kemaksiatan. Ya, yang harus kita pikirkan, kerugiannya bukan hanya akan menimpa kita, tetapi juga akan menimpa keluarga kita. Kita tidak ingin mengecewakan mereka, ya, baik di dunia ataupun di akhirat, baik dengan azab di dunia ataupun dengan azab nanti di akhirat. Dan apalagi kalau sampai kemudian sama-sama masuk neraka. Bahkan ketika salah satu masuk surga, ya, itu jelas tidak akan bisa bertemu dan itu merupakan kerugian yang paling besar.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menambahkan, Wa maa lahum min auliya-a yanshurunahum min dunillaahi. Dan tidak akan ada bagi mereka (orang-orang ahlun nar tadi) min auliya-a (para pelindung) yanshurunahum (yang akan menolong mereka) min dunillaahi (dari selain Allah).
Ya, ini masih menjelaskan tentang kepedihan, kesulitan, kesusahan yang akan dialami oleh ahlun nar, para penghuni neraka. Mereka tidak punya pelindung. Tidak akan ada yang bisa membentengi mereka dari siksa api neraka. Kalau di dunia, ya, ketika mereka melakukan kekufuran, ketika mereka melakukan dosa, kezaliman, mereka masih bisa berlindung dengan banyak hal: berlindung dengan atasannya yang punya posisi yang lebih kuat, berlindung dengan orang tuanya mungkin yang punya jabatan, berlindung dengan hartanya yang bisa membeli kepercayaan orang dan membeli pengaman-pengaman, berlindung dengan teknologinya, dengan senjatanya. Ya, tapi kalau nanti di akhirat, apa? Maa lahum min auliya-a yanshurunahum min dunillaahi. Tidak akan ada yang bisa melindungi mereka.
Wa man yudhlilillaahu famaa lahuu min sabiil. Dan barang siapa yang telah Allah sesatkan atau Allah biarkan sesat, maka tidak ada baginya jalan (untuk mendapatkan petunjuk).
Ikhwah fillah arsyatakumullah, Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan makna famaa lahu min sabil, ya, maknanya adalah thariiqun ilash-shawaab wa ilal haqqi fid-dunyaa wal jannati fil-‘uqbaa.
Maksud famaa lahu min sabil (tidak ada jalan baginya) bagi siapa yang telah Allah biarkan tersesat, yaitu tidak ada jalan menuju kebenaran. Ya, kalau sudah dibiarkan oleh Allah tersesat, Allah sudah murka kepadanya, kemudian dibiarkan tersesat, maka dia tidak akan mendapatkan jalan menuju kebenaran (al-wushuulu ilal haqqi), ya, fid-dunyaa ini wal jannati fil-‘uqbaa (dan juga tidak akan mendapatkan jalan menuju surga nanti di akhirat).
Jadi, makna dari famaa lahu min sabil bagi siapa orang-orang yang Allah sesatkan atau Allah biarkan tersesat, mereka tidak punya jalan. Maksudnya, menurut Al-Baghawi, ya, adalah dua hal: di dunia, dia tidak akan mendapatkan kebenaran, tidak akan terhidayahi menuju al-haq; nanti di akhirat, dia tidak akan mendapatkan jalan masuk surga. Ya, ada juga yang menafsirkan maksudnya adalah thariiqul khair (jalan kebaikan), ini mirip dengan jalan kebenaran, thariiqul haq, ya.
Ini, wal iyyadzubillah, sebagaimana yang kemarin kita ingatkan, hati-hati jangan sampai kita menjadi orang-orang yang Allah biarkan dalam kesesatan. Ya, itu bisa jadi karena kesombongan, buthurul haq (menolak kebenaran), takabur untuk menerima kebenaran. Atau bisa jadi karena kita menyia-nyiakan hidayah yang telah Allah berikan kepada kita. Kita sudah tahu kebenaran, tapi kita tidak mau melaksanakannya, wal iyyadzubillah. Kita sudah tahu keburukan, tapi kita tidak mau, apa, menghindarinya atau menjauhinya, wal iyyadzubillah.
Ya, ini hati-hati, jangan sampai kita menjadi orang-orang yang wa man yudhlilillaahu famaa lahuu min sabiil. Ya, barang siapa yang Allah sesatkan atau Allah biarkan tersesat, apalagi sudah sampai pada tahap khatamallahu ‘ala qulubihim (Allah menutup hati mereka), ya, mengunci mati kalbu mereka, ya, minil iman. Maka tidak ada jalan lagi, ya, tidak ada tempat atau pintu lagi untuk mendapatkan kebenaran, mendapatkan hidayah, ya, mendapatkan akses menuju al-haq itu di dunia, dan nanti di akhirat tidak ada jalan bagi mereka menuju surga.
Ya, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala jaga kita untuk menjadi orang-orang yang bersegera menjemput hidayah, ya, menjadi orang-orang yang tidak Allah biarkan dalam kesesatan. Kalaupun kita melakukan kesalahan, menjadi orang-orang yang segera bertaubat, segera kembali kepada Allah, segera memperbaiki, mengakui kesalahan kita yang kita lakukan agar kemudian kita tidak ditinggal oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita tidak dibiarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terjerembap, terperosok dalam kesesatan tanpa mendapatkan hidayah-Nya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Istajiibuu lirabbikum min qabli any ya-tiya yaumul laa maradda lahuu minallaah. Penuhilah (seruan) Rabb kalian sebelum datang suatu hari yang tidak dapat ditolak (keputusan-Nya) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ikhwah fillah arsyadakumullah, Ibnu Katsir menjelaskan, Lammaa dzakara Ta’aalaa maa yakuunu fii yaumil-qiyaamati minal ahwaali wal umuuril ‘azhiimah, haddara minhu wa amara bil-isti’aadi lah.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang huru-hara, kepedihan, kengerian hari kiamat, dan juga siksa-siksa yang akan dialami oleh ahlun nar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan kita tentang itu semua. Dan Allah memerintahkan kita untuk bersiap-siap, bersiap-siap menghadapi hari tersebut dengan apa? Dengan istajiibuu lirabbikum, dengan apa? Memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala, memenuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum datang hari tersebut, yang kalau sudah datang maka kita tidak bisa menolaknya, yang kalau sudah datang maka kita tidak bisa menahan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Kalau manusia tidak mempersiapkannya dengan baik, maka ikhwah fillah arsyadakumullah, ya, penutup dari penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap huru-hara hari kiamat, penjelasan Allah terhadap kengerian kepedihan yang dirasakan oleh ahlun nar adalah istajiibuu lirabbikum. Ya, Allah mengingatkan kita untuk memenuhi panggilan-Nya, memenuhi perintah-perintah-Nya.
Dan para ulama seperti As-Sa’di menjelaskan tentang bentuk-bentuk istijabah, bagaimana memenuhi panggilan Allah. Yang pertama adalah bi-imtitsaali maa amara bihi (dengan melaksanakan apa yang Dia perintahkan), wajtinabi maa naha ‘anhu (dan menjauhi apa-apa yang Dia larang), wa bil-mubaadaraati bidzaalika wa adamut taswiif (dan melakukan itu semua dengan bersegera dan tidak menunda-nunda).
Ya. Jadi harus mubaadaroh (bersegera). Ini karena istajiibuu lirabbikum, kelanjutannya adalah min qabli any ya-tiya yaumul laa maradda lahuu minallaah. Ya. Jadi harus mubaadaroh. Mubaadaroh itu apa? Bersegera. Apa kata Rasulullah? Baadiruu bil a’maal (Bersegeralah kalian untuk melakukan amal-amal). Bersegeralah kalian untuk melakukan kebaikan sebelum nanti datang fitnah, sebelum nanti datang cobaan, sebelum nanti datang musibah, sebelum nikmat-nikmat, kelonggaran-kelonggaran, kesehatan, ya, kelonggaran, harta itu dicabut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kita tidak tahu kapan terjadi. Maka baadiruu bil a’maal.
Bil mubaadaroh, kata As-Sa’di, wa adamut taswiif (dan tidak menunda-nunda). Taswif itu dari kata-kata saufa, ya. Saufa itu apa, ya? Kalau bahasa Jawanya mengkosek, ya, nanti. Aku akan beramal nanti, saufa a’mal. Aku akan beramal sedekah nanti kalau sudah kaya, ya. Sedekah nunggu kaya, gitu. Padahal kalau orang kaya itu sedekahnya lebih, hah, apa? Lebih berat, Pak, karena persentase, ya. Presentase, kalau punya harta triliunan, 2,5% dari triliunan berapa, ya? Ratusan juta juga, gitu. Dikira mudah? Tidak, berat, gitu, ya.
Maka mumpung ini, mumpung, ya, mumpung harta kita tidak banyak, ya, presentase dari harta kita, ya, 2,5% itu jatuhnya sedikit, tidak berat sebenarnya. Ini seringkali kata-kata taswif, ya, kata-kata saufa, ini sering kali yang menghalangi kita untuk beramal, ya. Berangan-angan, “Wah, nanti saja, nanti saja tobat, nanti gampang.” Ya, sekarang masih waktunya untuk senang-senang, ya. Bahkan ada sebagian anak muda punya slogan, apa, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga.” Ya, ini sering kali karena taswif tadi, menunda-nunda amal, menunda-nunda tobat, ya. Padahal belum tentu dia berusia panjang, ya, kalau sampai tua. Kalau pas muda, pas foya-foya itu, Allah cabut kenikmatan hidup darinya. Ya, apa yang terjadi? Min qabli any ya-tiya yaumul laa maradda lahuu minallaah. Kita tidak tahu hari di mana kita tidak bisa menolak kematian itu kapan terjadi, hari di mana kita tidak bisa menolak musibah, bencana, atau apa pun itu yang merenggut nikmat yang ada pada diri kita. Kita tidak tahu kapan. Maka istajiibuu (penuhilah), segera penuhi panggilan, almubaadaroh wa adamut taswiif.
Attaswiif jundun min junuudi iblis (Menunda-nunda adalah satu tentara dari tentara iblis). Ingat, attaswiif jundun min junuudi iblis. Kata-kata nanti, kata-kata entar, kata-kata saufa, ya, itu merupakan satu tentara dari tentara iblis.
Ya, baadiruu bil ‘amal, ya. Khayrul ‘amal ajiluhu (Amalan yang terbaik adalah yang disegerakan). Amalan yang terbaik itu adalah yang disegerakan, karena kita tidak tahu besok masih ada kesempatan amal atau tidak, ya. Karena kita tidak tahu, ini paling penting, besok kita masih tergerak hati kita untuk melakukan kebaikan itu atau tidak. Maka kalau terbesit dalam diri kita, ya, apa, keinginan untuk melakukan kebaikan, segera eksekusi, Pak. Jangan nunda nanti, jangan nunda besok. Ya, segera laksanakan. Karena kita tidak tahu besok itu masih dapat taufik untuk melakukan kebaikan itu lagi atau tidak.
Selain dari itu, kita juga tidak tahu besok masih ada kesempatan, kekuatan, kemudahan untuk melakukan itu atau tidak, ya. Maka dikatakan, kalau dulu kita waktu jadi santri, apa ada mahfuzat, apa? Baidatul yaumi khairum min daajatin ghadan (Telur hari ini lebih baik daripada ayam besok). Ya, kalau hari ini sudah jelas, meskipun telur, meskipun berupa telur, ya, tapi kalau kita berangan-angan, “Wah, ini kan telur, kita tunggulah besok menetas, ya.” Ya, kalau besok menetas, kalau pecah, ya. Kalau kemudian kita tidak bisa menikmati sama sekali, bahkan hanya telurnya saja tidak bisa, rugi kita. Ya, maka apa yang kita jalani hari ini, kita maksimalkan. Kesempatan beramal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala hari ini, kita maksimalkan. Jangan menjadi orang yang thuwil amal (berangan-angan panjang). Ya, nanti mau begini, nanti mau begitu, tapi nanti belum pasti. Yang harus kita maksimalkan adalah nikmat hari ini. Baadiruu bil ‘amal.
Ini ikhwah fillah, penjelasan yang luar biasa dari As-Sa’di. Bagaimana makna al-istijabah di sini, memenuhi seruan atau panggilan Allah di sini, mengandung al-imtitsaal bimaa amara bihi (menunaikan apa yang diperintahkan), wajtinabu maa naha ‘anhu (dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), wa bil-mubaadaraati bidzaalika wa adamut taswiif (dan itu semua kita lakukan dengan segera tanpa menunda) min qabli any ya-tiya yaumul qiyaamah (sebelum datang hari kiamat), idzaa faat, idzaa jaa-a (di mana jika itu sudah tiba, tidak bisa ditolak dan tidak bisa apa yang terlewat itu diraih kembali).
Ini fillah arsyatakumullah, jadi hati-hati, ya, hati-hati ketika kita melewatkan kesempatan-kesempatan melakukan kebaikan, ya, sering kali kesempatan itu tidak akan terulang lagi, ya. Jangan sampai kita menjadi seperti Firaun. Firaun itu sebelum dia tenggelam, itu dia beriman, menurut dia baru percaya bahwasanya apa yang disampaikan Musa itu benar. Ya, dalam Al-Qur’an jelas penjelasan tentang itu, ya. Percaya dan beriman, tetapi sudah dalam kondisi mau tenggelam, itu keimanannya tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal belum wafat.
Nah, kita tidak mau menjadi seperti itu atau menjadi orang-orang yang nanti menyaksikan hari akhir, wal iyyadzubillah. Karena orang yang menyaksikan hari akhir itu disebutkan sebagai syarral khalq (seburuk-buruk makhluk). Termasuk makhluk yang paling buruk. Ya, yang menyaksikan hari kiamat itu adalah makhluk yang paling buruk. Bahkan, apa namanya? Kalau kita lihat nubuat-nubuat akhir zaman, sebelum terjadinya hari kiamat, nanti akan ada hembusan angin yang akan mencabut nyawa orang-orang yang beriman agar tidak menyaksikan dahsyatnya hari kiamat.
Nah, orang-orang yang menyaksikan hari kiamat, menyaksikan matahari itu terbit dari barat—ya, tanda-tandanya hari kiamat kan terbit dari barat—kemudian dia beriman pada hari itu, maka imannya tidak diterima, ya, karena sudah terlambat. Sudah terlambat, dia menyaksikan betul-betul baru yakin, baru sadar, baru beriman ketika apa yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya itu dilihat dengan matanya. Ya, itu iman syahadah (iman karena melihat). Ya, beriman karena menyaksikan. Iman yang diminta itu adalah tetap beriman, percaya meskipun tidak menyaksikan. Ya, itu tidak diterima. Padahal masih ada waktu sebelum terjadinya hari kiamat. Tapi kalau sudah melihat matahari terbit dari barat, tidak diterima.
Maka ikhwah arsyadakumullah, sebelum datang hari itu, sebelum datang kematian, sebelum datang musibah, sebelum datang bencana, sebelum datang hari kiamat yang laa maradda lahu minallaah (tidak ada kesempatan lagi untuk menolak), ya, tidak ada diterima lagi tobat, ya, maka istajiibuu lirabbikum (penuhilah seruan Tuhanmu). Bagaimana kita istijabah? Dengan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kita laksanakan, larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kita tinggalkan, wa bil-mubaadaraati bidzaalik (kita lakukan dengan segera), wa adamut taswiif (dan tidak menunda-nundanya). Ya, hati-hati. Kebiasaan menunda ini bukan hanya masalah, bukan hanya menjadi problem nanti di akhirat, tetapi juga menjadi masalah di dunia, ya, kita menjadi stres, kita menjadi under pressure, kita menjadi berat hidup kita, sering kali karena menunda.
Adik-adik yang masih belajar, ya, sering kali santri-santri itu stres ketika menghadapi ujian. Bahkan ada fenomena di beberapa pesantren tahfiz. Kalau pas waktunya ujian tahfiz, itu klinik penuh, ya, penuh dengan anak-anak yang tiba-tiba stres, tiba-tiba sakit, ya, bahkan sampai terkena psikosomatis. Itu karena apa? Karena menunda. Menunda untuk menghafal, menunda untuk muraja’ah, diakhir-akhirkan terus. Ya, tidak bisa, Al-Qur’an tidak bisa dibegitukan, ya. Tidak bisa, apa, SKS (Sistem Kebut Semalam), tidak bisa, ya. Kalau kalian tidak serius menghafal sejak awal hari keberadaan kalian di sini, ya, nanti yang terjadi tadi, stres; yang terjadi, apa? Sakit; yang terjadi, apa? Psikosomatis. Maka jangan menunda, ya. Lakukan sejak awal, ya. Tidak ada enaknya menunda. Ya, semakin ditunda semakin berat. Jangan dikira semakin ditunda itu semakin ringan, tidak? Semakin ditunda semakin berat. Termasuk salat, ya. Salat itu semakin ditunda bukan semakin ringan, semakin ditunda semakin berat. Semakin kita lebih gercep (gerak cepat), mubaadaroh melakukannya, kewajiban-kewajiban itu akan semakin ringan, ya. Dan setelahnya kita tenang, dan setelahnya kita bisa nyantai-nyantai. Tapi kalau ditunda-tunda terus, lah, apa mahfudzahnya? Laa tu-akhkhir ‘amalakal yauma ilal ghad (Jangan engkau tunda amalanmu, pekerjaanmu untuk esok). Apa-apa yang bisa engkau lakukan pada hari ini. Karena sekali lagi, attaswiif jundun min junuudi iblis (menunda-nunda adalah satu tentara dari tentara iblis). Kata-kata saufa, kata-kata nanti, kata-kata entar, itu merupakan satu tentara dari tentara iblis.
Demikian ikhwah fillah arsyatakumullah. Terakhir, Allah menutup dengan firman-Nya, Maa lakum mim maalizin yauma-izin wa maa lakum min nakir. Tidak ada bagimu mim maalizin (tempat untuk berlindung) yauma-izin (pada hari itu). Dan tidak ada untuk engkau, untuk kalian min nakir (sesuatu yang bisa mengingkari) dosa-dosamu.
Tidak ada lagi kita bisa menolak, ya, denial terhadap apa keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ya, tidak ada kita bisa mengingkari catatan-catatan amal yang sudah tercatat rapi semuanya dengan akurat tanpa kesalahan sedikit pun oleh malaikat Raqib dan ‘Atid. Tidak ada bisa, tidak akan ada bisa, kesempatan untuk menolak dan mengingkari itu semua. Kalau tuduhan-tuduhan di dunia kita bisa mengingkarinya, ya, kita bisa melakukan banding, kita bisa melakukan kasasi, dan lain sebagainya. Bahkan, ketika keputusan sudah inkrah sekalipun, nanti masih bisa mendapatkan, apa, amnesti, ya, kan, ya? Ketika belum selesai masih bisa mendapatkan abolisi, kita masih bisa banding, kasasi, dan lain sebagainya. Tapi kalau sudah, itu merupakan keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat nanti. Apa kata Allah? Min nakir (tidak akan ada lagi bisa mengingkari) apa, terbuktinya dosa-dosa itu, apa terbuktinya kelalaian-kelalaian itu.
Maka istajiibuu lirabbikum (bersegeralah kita menjawab seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian yang bisa kita sampaikan. Mudah-mudahan bermanfaat. Banyak poin-poin tarbawi, terutama tarbiyah ruhiyah, ya, kemudian juga tarbiyah ‘ala adamit taswif (pendidikan untuk tidak menunda), dan lain sebagainya, yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia, apalagi di akhirat.