TABLIGH.ID.,YOGYAKARTA, 31 Agustus 2025 – Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I., menyampaikan pesan mendalam dalam Pengajian Ahad Kliwon di Masjid Al Musannif, Tabligh Institute, Tamantirto, Yogyakarta. Dalam ceramahnya, ia menegaskan kembali makna hakiki dari Muhammadiyah: gerakan ini bukan sekadar nama, melainkan wujud kecintaan total kepada Nabi Muhammad SAW.
“Jemaah sekalian yang saya muliakan, jika kita semua memahami dengan sungguh-sungguh, rasanya tidak mungkin orang Muhammadiyah tidak masuk surga. Bahkan saya berani mengatakan, jika ingin masuk surga, jadilah orang Muhammadiyah,” tegasnya.
Menurutnya, istilah Muhammadiyyūn cukup untuk menyebut pengikut Nabi Muhammad SAW. Namun ketika menjadi Muhammadiyah, maknanya jauh lebih dalam: mengikuti Rasulullah SAW secara paripurna dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, karakter Muhammadiyah adalah gambaran dari akhlak Nabi.
KH. Fathurrahman mengutip jawaban Sayyidah Aisyah R.A. ketika ditanya mengenai akhlak Nabi: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” Dari sinilah, ia menegaskan bahwa setiap Muslim Muhammadiyah harus menjadi cermin nyata pribadi Rasulullah dan pantulan dari nilai-nilai Al-Qur’an.
Sejak 2015, KH. Fathurrahman mendapat amanah untuk memimpin dakwah tabligh di kawasan ini. Baginya, dakwah perlu simbol nyata, bukan sekadar retorika. Maka dibangunlah masjid berarsitektur futuristik, taman dakwah seluas 1.300 meter persegi, jogging track, hingga rencana menanam ratusan pohon durian.
“Pokoknya, orang Muhammadiyah harus senang di dunia dan senang di akhirat. Percayalah, melihat wajah jemaah di sini, insya Allah ahlul jannah,” ucapnya.
Dalam ceramahnya, KH. Fathurrahman menyinggung hadis tentang semangat menuntut hak, baik di dunia maupun akhirat. Menurutnya, orang Muhammadiyah memiliki keistimewaan berupa syafaat, saling menarik saudara seimannya agar tidak celaka di akhirat.
“Besok di hadapan Allah, jamaah yang hadir di sini akan saling bersaksi. Jika ada yang salah jalan, tariklah. Itulah syafaat. Maka, Muhammadiyah bukan hanya berorientasi dunia, tapi juga kunci surga,” jelasnya.
Ia lalu menegaskan bahwa para pendiri Muhammadiyah memilih nama itu karena ingin meneladani kekekalan nama Muhammad SAW yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an. “Cinta Muhammadiyah itu lahir dari cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Jangan langsung cinta organisasi. Cintai Nabi dulu, maka cinta kepada Muhammadiyah akan mengikuti,” tegasnya.
KH. Fathurrahman menekankan bahwa keberadaan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat, baik bagi orang beriman maupun yang tidak beriman. Ia mengutip firman Allah: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).
Rahmat itu, katanya, harus tercermin dalam cara berislam yang santun, bukan dengan kekerasan. Ia mencontohkan kisah Sumamah bin Utsal, musuh besar Islam yang justru masuk Islam setelah Nabi memperlakukannya dengan penuh kelembutan, bukan dengan cacian atau kekerasan.
“Dakwah tidak perlu dengan marah-marah. Lihat Nabi: musuh yang ditawan diberi makan dan minum terbaik, lalu justru masuk Islam. Itulah rahmat Nabi. Itu pula seharusnya menjadi karakter orang Muhammadiyah,” ujarnya.
KH. Fathurrahman juga berbagi kisah inspiratif tentang seorang muallaf Tionghoa bernama Fanny (Mami Hudon) yang mengislamkan suaminya, seorang ateis asal Jepang bernama Papi Udon. Sang suami meninggal dengan kalimat tauhid di bibirnya, meninggalkan pelajaran berharga bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang berlandaskan iman.
“Itulah indahnya Islam, indahnya cinta yang dibimbing Nabi Muhammad SAW. Kalau ateis saja bisa berakhir dengan syahadat, lalu apa alasan orang Muhammadiyah tidak masuk surga?” katanya.
Mengakhiri pengajiannya, KH. Fathurrahman berpesan agar umat Islam tetap tenang di tengah situasi bangsa yang penuh gejolak. Demonstrasi, anarki, dan kerusakan bukanlah karakter Nabi Muhammad SAW.
“Orang Muhammadiyah itu harus menebar rahmat. Protes boleh, menuntut keadilan boleh, tapi jangan merusak. Itu bukan akhlak Nabi,” pungkasnya.

