TABLIGH.ID, YOGYAKARTA- Pengajian Maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Masjid Islamic Center UAD pada Rabu (3/9) menghadirkan Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I. Dalam ceramahnya, ia menegaskan bahwa kehadiran Rasulullah merupakan minnah (karunia tanpa diminta) dari Allah yang mutlak dan tak ternilai.
Menurut KH. Fathurrahman, banyak orang hanya memandang nikmat yang diminta, sementara lupa pada minnah berupa hadirnya Nabi. “Itu nikmat absolut, yang menjadi pertaruhan hidup setiap manusia,” ujarnya. Kehadiran Rasulullah adalah nikmat terbesar, karena beliau membawa wahyu dan pencerahan bagi semesta.
Ia menjelaskan bahwa Rasulullah disebut sebagai nur atau cahaya bukan dalam arti ontologis, melainkan simbol dari risalah, wahyu, dan hidayah. “Beliau adalah cahaya karena membawa petunjuk dan kitab yang mulia,” jelasnya, sembari mengutip ayat Al-Qur’an “wa da’iyan ilallaahi bi idznihi wa siraajan muniira.” Dengan pemahaman ini, Rasulullah dipandang sebagai manusia biologis yang berjuang, menderita, dan berkorban, sekaligus menjadi cahaya peradaban.
KH. Fathurrahman juga menukil doa Rasulullah dalam riwayat Muslim yang penuh dengan permohonan cahaya dalam setiap aspek hidup: hati, penglihatan, pendengaran, hingga darah dan tulang. “Maknanya, hidup seorang Muslim harus dipenuhi cahaya agar tidak kehilangan orientasi,” katanya. Menurutnya, doa Nabi itu praksis, mengarahkan umat agar hidup terhindar dari disorientasi moral dan spiritual.
Dalam penjelasannya, ia menegaskan bahwa cahaya Rasulullah bukan sekadar metafora, tetapi juga fungsional. Cahaya itu hadir dalam akhlak, perilaku sosial, hingga ketajaman mata hati. “Kalau ibadahnya baik, meskipun kulitnya hitam, orang itu akan memancarkan aura cahaya. Tapi kalau suka berbohong, meski tampan atau cantik, auranya negatif,” ujarnya.
Selain sebagai cahaya, Rasulullah juga disebut rahmatan lil ‘alamin. KH. Fathurrahman menekankan, kasih sayang Nabi berlaku untuk semua, termasuk orang yang tidak beriman kepadanya. “Nabi tidak diutus sebagai pelaknat, tapi sebagai rahmat yang dihadiahkan,” ungkapnya, mencontohkan bagaimana Rasulullah hanya menjawab singkat saat orang Yahudi mendoakan keburukan kepadanya.
Ia juga mengisahkan kelembutan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga. Ketika Aisyah cemburu dan memecahkan wadah makanan di depan tamu, Nabi tidak marah. Beliau merapikan pecahan itu sambil tersenyum dan berkata, “Gharat ukhtukum” (Saudari kalian sedang cemburu). “Bayangkan, kalau itu terjadi hari ini mungkin sudah masuk laporan polisi. Tapi Rasulullah menghadapi dengan rahmat,” ujar KH. Fathurrahman.
KH. Fathurrahman menutup dengan ajakan agar umat meneladani Rasulullah secara praksis. “Apakah kita sudah menjadi rahmat bagi pasangan, anak, dan masyarakat sekitar? Kalau Nabi bisa menjadi rahmat bagi semua, kita pun harus berusaha menyalurkan cahaya itu dalam kehidupan sehari-hari,” tandasnya.