web stats
Home » Kapitokrasi, Tanawwu’, dan Kosmopolitanisme dalam Risalah Islam Berkemajuan

Kapitokrasi, Tanawwu’, dan Kosmopolitanisme dalam Risalah Islam Berkemajuan

by Redaksi
0 comment

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA – Dr. Takdir Ali Mukti, S.Sos., M.Si., dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah, menegaskan bahwa Risalah Islam Berkemajuan (RIB) apabila dibaca melalui perspektif ilmu sosial-politik dan hubungan internasional, merupakan dokumen terbuka yang dapat diuji verifikasi dan uji falsifikasi secara akademik, baik secara eksternal maupun internal Muhammadiyah. RIB juga dapat menjadi media untuk mempromosikan ide atau gagasan besar Muhammadiyah kepada dunia luar secara global. Pandangan itu ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema RIB dalam Perspektif Sosial Politik dan Hubungan Internasional yang diselenggarakan Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pusdiklat Tabligh Institute Muhammadiyah, Sabtu, 13 September 2025.

Ia membandingkan hal itu dengan metode pembacaan dokumen yang dipilih oleh Al-Qur’an pada awal Surah Al-Baqarah. Ayat tersebut memberi kode jelas dengan metode verifikasi dan objektifikasi yang berjarak dengan objek yang sedang diuji, yakni ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri, sehingga pilihan katanya adalah dzālika. Pilihan kata dzālika dalam “dzālikal-kitābu lā raiba fīh”, menurutnya, menunjukkan metode objektifikasi dari luar, bukan klaim internal. Bahkan kata dzālika juga mengkodekan sebuah studi komparatif dengan dokumen-dokumen kitab suci sebelumnya untuk diadu kesahihannya dengan Al-Qur’an. Dalam konteks pembacaan seperti itu, kata dzālika mustahil diganti dengan kata hādzā, sebab hādzā menunjukkan pengamatan dari jarak dekat yang lebih bersifat falsifikasi. “Membaca RIB juga harus siap dengan objektifikasi seperti itu ketika disodorkan ke lembaga-lembaga luar,” ujarnya. Karena itu, RIB bukan hanya dokumen internal, melainkan instrumen promosi pemikiran yang harus disebarkan ke dunia dengan versi bahasa Arab dan Inggris.

Dalam paparannya yang bertajuk “Perkhidmatan Kebangsaan”, Takdir menyinggung konsep Negara Pancasila, NKRI sebagai Dārul ‘Ahdi wa Syahādah, serta misi rahmatan lil-‘ālamīn. Konsep nasionalisme dalam konteks ini, menurutnya, harus dibaca dengan perspektif nasionalis-kosmopolitan. Sebab, jika tidak, maka akan muncul paradoks antara batasan nasionalisme sempit ala Westphalian dengan cita-cita dakwah global Muhammadiyah. Ia menegaskan, “Indonesia dengan NKRI-nya harus dimaknai dalam bingkai nasionalis-kosmopolitan. Sebuah konsep yang menggabungkan nilai-nilai nasionalisme yang loyal pada negara sendiri dengan semangat kosmopolitanisme, yakni rasa kebersamaan kemanusiaan secara global.”

Ia menambahkan, sejak awal KH. Ahmad Dahlan sudah berpikir kosmopolit. Pidatonya tahun 1922 tentang pentingnya kesatuan hati seluruh umat manusia agar dapat hidup sejahtera bersama di dunia, menurut Takdir, membuktikan bahwa sejak berdirinya Muhammadiyah sudah berpikiran nasionalis-kosmopolitan, mempersiapkan diri secara aktif untuk berkiprah dalam dakwah global. Hal ini berbeda secara fundamental dengan organisasi transnasional seperti HTI/Ikhwanul Muslimin yang menggaungkan ide khilafah sejagad. Muhammadiyah tidak mendistorsi nasionalisme warga negara, melainkan mengajarkan loyalitas dan bakti kepada negara, sekaligus menuntut warga Muhammadiyah untuk bersatu dengan warga negara lain dalam menyiarkan kegemilangan Islam dan misi kemanusiaan secara global. Bukan nasionalisme sempit seperti katak dalam tempurung, melainkan nasionalisme-kosmopolitan ala burung garuda yang terbang tinggi di cakrawala, melihat horizon luas di luar negerinya.

Dalam cakrawala kosmopolitan itulah, menurut Takdir, sangat logis jika KH. Ahmad Dahlan memilih jalan yang sangat toleran dalam fikih ibadah (tanawwu’), tegas dalam wilayah ushuliyah/tauhid (TBC), serta menggalakkan amal saleh yang menjawab kebutuhan umat manusia. Bahkan, KH. Ahmad Dahlan tidak menyusun kitab fikih ibadah secara khusus.

Dalam bagian lain, Takdir memperkenalkan istilah kapitokrasi, yakni sebuah perhelatan adu kuat modal-finansial dalam pertarungan politik elektoral dengan bungkus demokrasi prosedural. Hal ini, menurutnya, menandai matinya ide atau gagasan bernegara secara sehat. Ia menyebut sistem politik Indonesia kini cenderung bergerak ke arah kapitokrasi, bukan demokrasi substantif. “Untuk memenangkan suara di tingkat RT saja, caleg harus punya modal finansial. Itu bukan demokrasi, tapi kapitokrasi,” tegasnya. Muhammadiyah, lanjutnya, justru memiliki peluang menghadirkan kepemimpinan alternatif yang otentik, berbasis moral dan ide.

Takdir juga menyoroti pentingnya tanawwu’ (keragaman) dalam praksis fikih dan kehidupan sosial Muhammadiyah. “Bagaimana mungkin ingin go internasional, tetapi tidak mampu menerima keragaman dengan tetangga? Itu tidak logis,” ucapnya. Menurutnya, masyarakat akar rumput lebih fleksibel menerima perbedaan dibanding elite yang kerap memaksakan keseragaman atas nama identitas. Karena itu, peran tarjih akan semakin berat, sebab tidak hanya menyajikan narasi halal-haram, melainkan juga menunjukkan variasi amalan sahih yang bisa diterima bersama secara metodologis dalam pengambilan hukum syariat.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00