web stats
Home » Mengukur Cinta Kita kepada Rasulullah

Mengukur Cinta Kita kepada Rasulullah

by Redaksi
0 comment

Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M. A.

Telah berlalu momentum Maulid Nabi. Bukan lagi saatnya memperdebatkan hukumnya atau meributkan ritualnya. Kini waktunya kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: seberapa dalam sebenarnya cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Rasulullah pernah bersabda, iman seseorang tidaklah sempurna hingga beliau lebih dicintai daripada orang tua, anak, dan seluruh manusia. Bahkan, dalam riwayat lain disebutkan: lebih dari dirinya sendiri. Lebih dari harta yang dikumpulkan, lebih dari nyawa yang dipertaruhkan di jalan Allah.

Lalu, di mana posisi kita?

Pertama: Sejauh mana ma’rifah kita?

Yakni pengenalan kita terhadap beliau. Sudahkah kita membaca banyak kisah sirah Nabawiyah, perjalanan hidup Rasulullah? Jika diminta menyebutkan nasab beliau, sampai generasi keberapa kita mampu menyebutkannya? Dapatkah kita mengingat nama seluruh Ummahatul Mu’minin—istri-istri beliau? Atau nama semua putra-putri beliau?

Sebab, tak kenal maka tak sayang. Mustahil ada cinta yang tulus dan mendalam tanpa pengenalan. Cinta sejati lahir dari mengenal akhlaknya, perilakunya, bahkan—sebagaimana digambarkan para sahabat—penampilan beliau yang penuh keindahan dan kewibawaan.

Kedua: Sejauh mana ittiba’ kita?

Yaitu keteladanan kita terhadap sunnahnya. Sebab, bukti cinta yang paling nyata adalah berusaha meniru dan mengikuti jejak orang yang dicintai.

Para sahabat adalah teladan nyata. Mereka begitu setia mengikuti setiap gerak-gerik Rasulullah. Ada yang berputar mengelilingi suatu tempat hanya karena pernah melihat beliau melakukannya. Ada pula yang meniru hal-hal kecil, bahkan seperti memilih tempat buang air, hanya karena pernah melihat Nabi dari kejauhan. Bukan berarti itu bagian dari syariat, tapi itulah wujud cinta yang polos dan mendalam.

Maka, dalam keseharian kita, sudahkah ibadah dan amalan kita sesuai sunnahnya? Rasulullah bersabda, “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak.” Tidakkah kita ingin merasakan pengalaman meneladani sunnah-sunnah beliau? Yang belum pernah puasa Ayyamul Bidh, cobalah sekali. Yang belum terbiasa dengan siwak, mulailah. Atau, saat memasak, perbanyak kuahnya untuk dibagikan kepada tetangga—sebagaimana beliau anjurkan.

Namun, bagaimana mungkin kita dapat meneladani sunnah jika jarang sekali membaca hadis-hadisnya? Di usia kita sekarang, berapa banyak hadis yang sudah kita baca, dengar, atau pahami? Tidak perlu langsung menghafalnya, cukup membiasakan diri membaca.

Bayangkan perjuangan para perawi hadis yang menempuh perjalanan panjang, penuh pengorbanan, hanya untuk meriwayatkan satu atau dua hadis. Mereka memverifikasi setiap perawi dengan ilmu jarh wa ta’dil—menilai siapa yang tsiqah (terpercaya) dan siapa yang kadzdzab (pendusta). Semua itu agar kita di zaman sekarang bisa dengan mudah mengakses aplikasi hadis lengkap dengan terjemahannya. Maka, sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak membacanya.

Mari kita buat resolusi kecil: one day one hadis—satu hadis sehari. Banyak hadis, terutama tentang akhlak dan nasihat, yang sederhana dan mudah dipahami tanpa penjelasan panjang.

Ketiga: Seberapa sering kita bershalawat untuk beliau?

Sesungguhnya Rasulullah tidak membutuhkan shalawat kita. Beliau sudah dijanjikan maqaman mahmuda—kedudukan yang terpuji. Justru kitalah yang beruntung. Dalam hadis disebutkan, satu shalawat dari kita dibalas Allah dengan sepuluh kebaikan. Bahkan, ruh beliau akan dikembalikan untuk menjawab shalawat yang kita panjatkan.

Inilah investasi pahala paling strategis: sedikit tenaga, balasannya berlipat ganda.

Dan perintah bershalawat ini begitu istimewa. Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi sebelum memerintahkan kita untuk mengucapkannya. Betapa agung kehormatan ini.


Karena itu, pada momentum ini, mari kita hadirkan tiga hal:

  1. Pengenalan akan sirah beliau.
  2. Keteladanan terhadap sunnahnya.
  3. Shalawat yang dipanjatkan dengan penuh cinta dan kerinduan—tanpa berlebihan, tanpa ghuluw.

Kita selalu ingat syahadat kita: asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Beliau adalah hamba sekaligus utusan Allah. Cinta kita haruslah berada dalam koridor itu: mencintai beliau dengan penuh penghormatan, tanpa mengangkatnya melebihi kedudukan yang Allah tetapkan, dan tanpa mengurangi kemuliaan yang telah Allah anugerahkan kepadanya.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00