Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A., P.hD
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, wassalatu wassalamu ‘ala rasulillah, nabiyyina wa sayyidina Muhammad ibni ‘Abdillah, wa ‘ala alihi wa sahbihi wa man walaah.
Saudara-saudariku di mana pun kita semua berada, semoga kita senantiasa dilindungi dan dibahagiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menjalani seluruh aktivitas kehidupan kita, sehingga insya Allah mampu menghadirkan bekal-bekal terbaik sebelum kita kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tentunya dalam kehidupan ini, kita berharap mendapati kesuksesan dan kebahagiaan. Dan kedua hal yang dimaksud dapat berkelanjutan di setiap tempat yang kita pijak—bukan hanya di dunia, tetapi juga insya Allah saat di alam kubur, demikian pula saat berkehidupan abadi di akhirat kelak.
Untuk itulah, kita sering berdoa:
“Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina ‘adzaban-nar.”
Demikian seperti diajarkan di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 201.
Al-Qur’an menampilkan satu peta jalan yang mengantarkan setiap hamba pada kehidupan yang sangat ideal, berada selalu dalam naungan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itu dapat mengantarkan percepatan hamba yang dimaksud meraih kesuksesan dan kebahagiaan.
Di dalam bahasa Arab, sukses dan bahagia disebut dengan falah.
Jika itu dapat digenggam, maka disebut dengan aflaha.
Orang yang dapat menggenggam kesuksesan dan kebahagiaan dinamakan muflih, dan jamaknya disebut muflihun.
Orang-orang yang berada dalam naungan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dengan itu ia dibimbing untuk dimudahkan beraktivitas, dilindungi dari berbagai macam gangguan, serta diberikan petunjuk yang memudahkan mencapai harapan—maka setidaknya mereka berada dalam naungan petunjuk dan kebaikan (‘ala huda).
Jika kita gabungkan: berada dalam petunjuk dan perlindungan yang diberikan oleh Allah, dan orang-orang ini mampu cepat meraih kesuksesan dan kebahagiaan, maka dua bagian ini jika kita satukan menjadi:
“Ulaika ‘ala huda min rabbihim, wa ulaika humul-muflihun.”
Kalimat ini tertuang dalam satu ayat yang utuh di dalam Al-Qur’an, yaitu surah Al-Baqarah ayat kelima, sekaligus memberikan tanda kepada kita bahwa ada orang-orang yang sangat mudah beraktivitas, memiliki petunjuk yang jelas, dan cepat menggapai kesuksesan serta kebahagiaan.
Siapa mereka itu? Bagaimana cara mendapatinya?
Di sinilah kita akan mencoba meringkas itu semua secara singkat dan padat, tentunya, teman-teman.
“Ulaika” (mereka itu) dikembalikan kepada mereka yang memiliki ciri-ciri pada ayat-ayat sebelumnya. Jika tadi ditampilkan capaiannya di ayat kelima, maka kita dapatkan pada ayat keempat, ketiga, dan kedua, yang merangkum seluruh langkah menuju kebahagiaan dan kesuksesan sejati yang dimaksud.
Ada lima hal yang kelimanya bisa kita carikan, khususnya dari ayat 3 dan 4, terkait dengan jalan cepat menuju kesuksesan, kebaikan, serta kebahagiaan yang sejati.
Yang pertama:
“Alladzina yu’minuna bil-ghaib.”
Yaitu orang-orang yang selalu meng-upgrade imannya kepada Allah, sekalipun Allah belum tampak secara langsung dalam pandangannya.
Jadi, syarat pertama seseorang ingin mendapatkan kedekatan dengan Allah—sehingga ketika terbangun relasi yang dekat ini, aksesnya terbuka untuknya—jika seluruh akses terbuka, maka tentu konsekuensinya kesuksesan dan kebahagiaan mudah sekali didapat dalam kehidupan.
Ini bisa ditafsirkan dengan logika yang sangat sederhana: Anda memiliki akses di mana pun, dalam keadaan apa pun. Akses yang mempercepat harapan dari apa yang ingin Anda capai. Tidak ada yang semisal dengan Allah—laisa kamitslihi syai’un.
Namun dalam kehidupan duniawi kita saja, orang yang punya akses kepada pimpinan mudah sekali mendapatkan beragam macam bentuk kemudahan dalam beraktivitas. Demikian seterusnya. Maka, bagaimana dengan orang yang memiliki akses yang sangat kuat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Dengan akses yang kuat itu, kedekatan yang lebih itu, Allah pun membuka seluruh jalur-jalur kemudahan dalam berkehidupan—baik itu di dunia, di alam kuburnya, sebelum wafat wajahnya tersenyum, saking bahagianya ia mendapatkan paparan keindahan yang akan diraih setelah wafat. Itu pun demikian dengan akhirat. Bukan sekadar harapan, tetapi ia memahami itu sebagai janji yang pasti yang akan ia peroleh.
Maka, syarat pertama adalah berusaha untuk terus meningkatkan iman—tidak sekadar beriman. Ada amanu (telah beriman), ada yu’minun (selalu meningkatkan kualitas imannya, selalu meng-upgrade keadaan imannya).
Syarat yang kedua, sekaligus juga menjawab dari paparan yang pertama: bagaimana cara kita meningkatkan iman kita, meng-upgrade iman, sehingga dengan itu terbangun satu relasi yang kuat dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Maka yang kedua:
“Wa yuqimunas-salah.”
Berupaya menunaikan salat dengan sempurna sesuai kemampuan kita.
Maka, ciri orang yang selalu berusaha meningkatkan iman dan membangun kedekatan lebih dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pembuktian pertamanya adalah dengan berupaya menunaikan salat semaksimal mungkin, sebaik mungkin. Bisa berupa pemaknaan kuantitas.
Ada orang yang mencukupkan salat fardu saja—yang penting Subuh, Zuhur, Asar, Maghrib, Isya ditunaikan. Tetapi orang-orang yang ingin meningkatkan keimanannya kepada Allah, membangun hubungan yang lebih dekat dan lebih kuat, ia coba ikuti dengan sunahnya: sebelum Subuh ada sunahnya, ia kejar; antara Subuh ke Zuhur ada salat sunah apa saja, ia coba rinci; ia coba berusaha menunaikan sesuai kemampuannya.
Kemudian sebelum Zuhur ada sunah apa saja? Setelah Zuhur ada sunah apa? Demikian pula di Asar, Maghrib, Isya, di pertengahan malam—sesuai kemampuan, ia mengeluarkan tema-tema terkait dengan salat, waktu-waktu terkait dengan salat, maka ia berusaha menunaikan berapa rakaat yang bisa ia tingkatkan.
Pasti ada perbedaan: orang yang sekadar menunaikan salat fardu dibandingkan dengan yang menambah dan meningkatkan dengan sunah, akan terasa perbedaan pada dirinya. Dan dengan perbedaan itu, terasa konektivitas hubungan yang terbangun antara seorang hamba dengan Allah Sang Pencipta pasti juga berbeda, dan dampaknya akan lain.
Orang-orang yang memiliki konektivitas yang baik dengan Allah, melatih pertama kali dengan kuantitas (dengan jumlah), setelah itu akan berpengaruh pada kualitas. Yuqimun bukan sekadar menunaikan, tetapi ia merasakan kekhusyukan di dalamnya, kenikmatan dalam menunaikan salat.
Maka, ia mulai mencoba memahami: mengapa tangannya mengangkat seperti ini, kenapa harus baca Allahu Akbar, apa maknanya Allahu Akbar? Kemudian ia juga berupaya memahami iftitah, berusaha memahami Al-Fatihah, sehingga tiga bagian tubuhnya berfungsi secara maksimal saat menunaikan salat: tangannya bergerak, lisannya bicara (organ tubuh bagian luar), kemudian pikirannya menerjemahkan (mulai bagian dalam), intinya nanti rasa hati yang merasakan.
Ketika lisannya bicara Allahu Akbar, pikiran menerjemahkan “Allah Maha Besar”, hati meresapi: “Ya Allah, aku berikrar Engkau Yang Maha Besar, Maha Agung. Namun dalam keseharian, seringkali aku membawa keagungan, keangkuhan, dan itu menjadi hal yang tidak baik.” Lalu diresapi, ditobati, masuk ke iftitah: Allahumma baid baini wa baina khatayaya, ataupun wajjahtu, dan lainnya—sebagai bagian dari komitmen untuk memperbaiki diri, menjauhkan dari kekurangan dan kesalahan, membangun kesalehan dan kebaikan-kebaikan baru. Itu dampaknya sudah sangat luar biasa.
Jadi, bila itu kita latih, akses terbuka. Setelah kita mendapatkan akses itu, bagaimana membangun sifat yang ketiga:
“Wa mimma razaqnahum yunfiqun.”
Adalah orang-orang yang mampu berbagi kebaikan dirinya dengan meningkatkan kemuliaan sosialnya. Jadi, ada amalan sosial.
Setelah baik secara individu, secara pribadi, ia bagikan kebaikan itu secara komunal, secara sosial. Jadi, satu: meningkatkan keimanan; dua: melatih itu dengan menunaikan salat, terkoneksi dengan Allah; dan memancarkan kebaikan personal itu dalam komunitas sosial: berbagi dengan ilmunya jika ia punya ilmu, berbagi dengan materi jika ia memiliki kelebihan materinya, berbagi dengan sifat-sifat baik—minimal dengan senyuman.
Maka, nilai-nilai itu akan mempercepat kebaikan-kebaikan yang mampu diraih. Kebahagiaan bisa diraih ketika berbagi sifat-sifat kebaikan dengan orang lain, walaupun dengan senyuman yang membahagiakan orang: “basmatuka fi wajhi akhika shadaqah”—senyummu yang membahagiakan saudaramu itu bagian dari sedekah, dan itu sifat sosial yang baik.
Kemudian ada dengan materi, ada dengan pengetahuan. Maka, orang-orang yang menerima pembagian-pembagian nilai kebaikan itu dengan aspek nilai kesalehan sosial tadi, tanpa disadari membuka jaringan, membuka perlindungan yang telah Allah buat sistemnya secara alami—sunnatullah fil kaun—sunnah yang Allah letakkan sebagai hukum berkehidupan yang sifatnya universal.
Kemudian yang keempat, tentu untuk melakukan itu semua—meningkatkan iman, menunaikan salat dengan baik, mengoptimalkan sifat sosial—itu mesti ada panduan. Tidak bisa kita mengerjakan sendiri. Maka, turunlah yang keempat:
“Walladzina yu’minuna bima unzila ilaika wa ma unzila min qablika.”
Maka, orang-orang ini berupaya menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman berkehidupan. Allah menyampaikan dengan sangat terang dan sangat jelas, bahwa Al-Qur’an ketika diturunkan fungsinya bukan sekadar untuk dibaca, tetapi sebagai kurikulum kehidupan yang mengantarkan seluruh keadaan hidup kita menuju kebahagiaan dan kesuksesan sejati.
Kurang lebih 6360 ayat, 114 surah, 30 juz—itu isinya adalah kurikulum kehidupan. Kita keluarkan tema-tema kehidupan dari ayat-ayat yang sangat indah itu, yang terang dan jelas petunjuknya secara tematik: tema tentang pokok kehidupan, tentang fungsi tubuh kita—bagaimana mata harus melihat, telinga harus mendengar, lisan berbicara, sampai ke ujung kaki; bagaimana panduan dalam menjalani aktivitas hidup sebagai seorang—misalnya profesional, ia pebisnis; ada lagi yang di birokrasi, di diplomasi; ada yang mengajar, ada yang berdagang, dan sebagainya.
Dikeluarkan ayatnya, lalu dilihat detailnya pada petunjuk kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan belajar dari orang-orang terdahulu ketika menjalankan petunjuk di eranya—seperti apa hasilnya? Disempurnakan di era Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, diwariskan kurikulumnya sampai sekarang. Al-Qur’annya tidak berubah, dan orang-orang yang menjalani itu setiap generasi didapatkan capaian tertinggi yang membangun peradaban.
Sebaliknya, ketika itu dijauhi, apalagi ditinggalkan—nauzubillah—maka yang muncul adalah ketertinggalan, kemudian kejatuhan, terjerap. Silakan lihat perjalanan sejarah: semakin warisan itu digunakan, semakin cepat mendapatkan kemajuan, kecerahan, dan kebaikan. Dan ketika jatuh peradaban itu, riset menunjukkan kejatuhan itu diakibatkan oleh terlenanya pada dunia yang dirasakan, dan mulai menjauh dari kurikulum kehidupan yang telah digariskan dalam Al-Qur’an.
Kemudian yang kelima yang terakhir adalah:
“Wa bil-akhirati hum yuqinun.”
Mereka yakin dengan kehidupan akhirat, sehingga menjadikan akhirat sebagai proyek yang terpenting dari semua berbagai macam perjalanan hidup yang dilalui.
Tentunya, akhirat adalah ujung kehidupan kita. Setiap kita berpindah ke satu tempat, kita akan menyiapkan bekal. Ingin liburan ke kota lain saja kita menyiapkan bekal, ingin liburan ke negara lain kita menyiapkan bekal. Tujuannya: saat tiba di tempat itu, kita mendapatkan kehidupan yang memberikan kenyamanan.
Pertanyaan akhirnya adalah: di tempat kita terakhir berkehidupan, dan tidak ada tempat lagi untuk kita tuju, tidak ada perpindahan lagi—abadi ada di situ—bekal apa yang sudah kita siapkan?
Maka, orang cerdas adalah orang yang berupaya mencari bekal terbaik di setiap tempat yang akan ia tinggali, sekalipun hanya transit. Dan di antara yang tercerdas itu, ia mengumpulkan bekal paripurna untuk tempat abadinya. Dan di tempat itulah ia akan hidup selamanya, dan tidak berpindah ruang kembali.
Lima hal ini jika dihadirkan dalam kehidupan kita, maka menghadirkan ayat yang kelima:
“Ulaika”—mereka itu—yang mampu meningkatkan keimanannya kepada Allah, dengan berupaya melatih itu melalui penunaian salat yang baik, lalu mengoptimalkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai panduan hidup, melihat pada praktik di zaman-zaman dulu ketika dipraktikkan dengan nilai kekinian sesuai dengan eranya, lalu menjadikan akhirat sebagai proyek terbaiknya.
Itulah ‘ala hudam min rabbihim—orang-orang yang akan selalu berada dalam petunjuk Allah, sehingga memudahkan ia meraih kebahagiaan dan kesuksesan, berada dalam perlindungan.
“Wa ulaika humul-muflihun.”
Dan pastilah orang-orang itu akan selalu merasakan kebahagiaan dan kesuksesan yang sejati.
Lima hal ini ketika dikerjakan, dengan raihan tadi, hanya akan mampu dilakukan oleh orang-orang yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang bertakwa:
“Dzalikal-kitabu la raiba fih, hudal-lilmuttaqin.”
Isi Al-Qur’an itu yang sangat indah, yang jauh dari gambaran kita, yang punya keagungan yang tinggi—tidak pernah ada keraguan di dalamnya. Kita mesti yakin. Jangan pernah meragukan satu ayat pun, bahkan satu huruf pun di dalam Al-Qur’an.
Maka, ketika itu bisa kita yakini dengan optimal, keyakinan itu harus membuat kita mampu untuk menggali pemahaman dalam Al-Qur’an dan mengoptimalkannya. Maka, jadilah ia petunjuk. Siapa yang mampu melakukan itu?
“Hudal-lilmuttaqin.”
Semua kurikulum kebaikan dan petunjuk itu hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang yang bertakwa.
Maka, ketika khatib Jumat mengatakan, “Mari kita tingkatkan takwa,” ketika dalam pengajian dibuka dengan peningkatan takwa—sejatinya takwa itu mengantarkan kita pada kebahagiaan dan kesuksesan yang sejati.
Siapa pun yang mampu meningkatkan takwa, maka ia berpeluang mendapatkan beragam solusi dari berbagai macam persoalan kehidupan yang dihadapi. Bahkan, rezeki pun boleh jadi akan mengalir kepadanya dari sisi yang tidak ia duga.
“Wattaqullaha la’allakum tuflihun.”
Tingkatkanlah takwa kalian kepada Allah, maka kalian akan cenderung mendapati kesuksesan dan kebahagiaan yang sejati.
“Wattaqullaha wa yu’allimukumullah.”
Tingkatkanlah takwa kalian kepada Allah, dan Allah akan berkenan mengajarkan kepada kalian pengetahuan-pengetahuan yang baru.
Takwa ada pada pengetahuan, takwa ada pada kebahagiaan, takwa adalah solusi berkehidupan.
Pertanyaannya: siapa di antara kita—yang mengaku sebagai insan beribadah, menyimak video ini—yang berupaya memotivasi dirinya untuk meningkatkan takwanya kepada Allah, dan mendapati janji Allah sebagai sesuatu yang pasti untuk diraih?
Semoga berkenan. Maafkan saya atas segala kekurangan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Judul Video: https://www.youtube.com/watch?v=Xqf3VHmWaJg&t=11s
Channel: Adi Hidayat Official
Tanggal Publikasi: 15 Sep 2025
Durasi: 18menit 06 detik
URL: https://www.youtube.com/watch?v=Xqf3VHmWaJg&t=11s