Oleh. Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Setelah surah Asy-Syura, kita akan melanjutkan kajian kita, yaitu surah Az-Zukhruf.
Surah Az-Zukhruf diambil namanya dari sebuah ayat dalam surah ini, khususnya pada ayat ke-35, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Wa az-zukhruf, wa in kullu żālika lammā matā’ul-ḥayatid-dunyā (Dan perhiasan emas. Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia). Kata Zukhruf di sini secara bahasa artinya adalah perhiasan, khususnya perhiasan yang terbuat dari emas. Jadi, surah ini dinamakan Az-Zukhruf, diambil dari ayat ke-35, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan beberapa kenikmatan dunia (matā’ul-ḥayatid-dunyā), dan salah satunya adalah zukhruf, yaitu perhiasan yang terbuat dari emas. Bagi jemaah yang berminat membuka toko emas, bagus kalau dinamakan ‘Zukhruf’, karena berkaitan erat dengan maknanya, yaitu perhiasan, khususnya dari emas.
Surah Az-Zukhruf ini tergolong Makkiyah, dengan definisi bahwa surah ini diturunkan sebelum terjadinya peristiwa Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Surah ini merupakan surah ke-43 dalam Al-Qur’an dan jumlah ayatnya adalah 89 ayat.
Sebagaimana tabiat surah-surah Makkiyah—yaitu surah-surah yang turun di Kota Makkah, atau dalam makna yang lebih luas, surah-surah yang turun sebelum peristiwa Hijrah—ayat-ayatnya banyak membahas masalah-masalah akidah dan prinsip-prinsip dasar keimanan. Di antaranya adalah urgensi dan keutamaan Al-Qur’an al-Karim sebagai wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kisah umat-umat terdahulu, penjelasan Allah tentang bentuk-bentuk kekufuran dan kemusyrikan yang dilakukan oleh umat terdahulu maupun oleh orang-orang kafir Quraisy, serta pembahasan tentang Hari Kiamat dan huru-haranya.
Termasuk nanti kita akan menemui ayat yang menjelaskan bagaimana orang-orang yang berkeluarga, bersahabat, dan berteman karib di dunia, kelak di akhirat akan berubah menjadi musuh, saling berseteru, dan saling menuntut satu sama lain. Kecuali ikatan persahabatan, persaudaraan, dan kekeluargaan yang dijalin di atas dasar ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla.
Seperti yang telah disampaikan, tema-temanya adalah tema-tema akidah, keimanan, dan hal-hal gaib (ghaibiyat). Semoga dengan mentadaburi surah Az-Zukhruf ini, akidah kita dapat semakin dikuatkan, keimanan kita semakin dikokohkan, dan dapat tergambar dengan jelas bagaimana kondisi di akhirat nanti. Semakin kuat bayangan kita tentang akhirat, maka akan semakin kuat pula semangat kita dalam beribadah, semakin gigih dalam menjauhi keburukan, dan semakin optimal dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan.
Tafadhal, bisa dibuka surah Az-Zukhruf. Pada malam hari ini, kita menargetkan untuk dapat membahas setidaknya hingga ayat keempat, yaitu dari ayat pertama sampai ayat keempat surah Az-Zukhruf. Barakallahu fikum, tafadhal, Ustadz.
A’ūdzu billāhi minasy-syaiṭānir-rajīm.
Bismillāhir-Raḥmānir-Raḥīm.
Ḥā Mīm.
Wal-kitābil-mubīn.
Innā ja’alnāhu qur’ānan ‘arabiyyal la’allakum ta’qilūn.
Wa innahū fī ummil-kitābi ladainā la’aliyyun ḥakīm.
Surah Az-Zukhruf ini diawali dengan Al-Hurūf Al-Muqatha’ah, yaitu Ḥā Mīm. Makna dari Ḥā Mīm sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir: Qad ikhtalafal-mufassirūn fil-ḥurūfil-muqatha’ah allatī fī awā’ilis-suwar (Para mufasir berselisih pendapat mengenai huruf-huruf terpotong yang berada di awal beberapa surah).
Sebagaimana pernah kita jelaskan dahulu ketika membahas huruf-huruf muqatha’ah di awal beberapa surah yang pernah kita pelajari, para mufasir berbeda pendapat tentang maknanya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa makna huruf-huruf tersebut adalah sesuatu yang hanya Allah saja yang mengetahuinya (min amrallāhi bi’ilmihā). Jika pendapat ini yang benar, maka hal ini merupakan bagian dari kemukjizatan Al-Qur’an. Betapapun hebat dan alimnya kita terhadap Al-Qur’an al-Karim, tetap akan ada hal yang tidak kita ketahui. Kesimpulannya, jangan pernah berhenti untuk mempelajari Al-Qur’an. Terus-meneruslah berusaha memahami makna dan kandungannya. Selesai dari Juz 30, kita kembali lagi ke Juz 1. Selesai mempelajari satu kitab tafsir, kita beralih ke kitab tafsir lainnya. Terus-menerus kita tadaburi, dan insya Allah akan terus mengalir kepada kita makna-makna, poin-poin tadabur, dan inspirasi-inspirasi yang luar biasa, karena ini adalah Kalamullah yang penuh dengan kemukjizatan. Sedalam apa pun kita menyelam di samudra Al-Qur’an, tetap akan ada bagian tertentu yang tidak kita ketahui, yang para rasul pun tidak mengetahuinya, dan yang mengetahuinya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antara para mufasir, ada yang berusaha menafsirkannya. Ada yang berpendapat bahwa huruf-huruf muqatha’ah itu merupakan nama dari surah tersebut. Maka, surah Az-Zukhruf ini juga disebut dengan Surah Ḥā Mīm. Ada juga yang berpendapat bahwa keberadaan huruf-huruf muqatha’ah itu adalah untuk menarik perhatian (lī jaḏlil-intibāh). Ketika menyampaikan sesuatu yang diawali dengan kalimat-kalimat yang asing, diharapkan audiens atau orang yang mendengarnya akan merasa penasaran: “Apa ini? Mengapa aneh? Apa maknanya?” dan seterusnya. Ada juga yang berpendapat bahwa ini merupakan bentuk nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ada pula yang berpendapat bahwa Ḥā Mīm ini merupakan bentuk qasam (sumpah), yang kemudian diikuti dengan sumpah yang kedua pada ayat berikutnya. Wallāhu a’lam bish-shawāb (Allah yang paling tahu kebenarannya). Manakah yang benar? Yang paling aman adalah kita menyerahkan makna sebenarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai bagian dari rahasia-Nya yang menunjukkan betapa luar biasanya kemukjizatan Al-Qur’an.
Kemudian, Wal-kitābil-mubīn (Demi Kitab yang jelas). Al-Kitāb di sini maksudnya adalah Al-Qur’an. Al-Mubīn artinya yang jelas. Ibnu Katsir memaknainya dengan al-bayyin al-wāḍih al-jaliyul-ma’āni wal-alfāẓ (yang terang dan gamblang, baik makna maupun lafaznya), limā annahū nuzila bil-lughatil-‘arabiyyah (karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab), allatī hiya afshaḥul-lughāt (yang merupakan bahasa paling fasih), dan abānatun (paling jelas pengucapannya). Setiap hurufnya memiliki karakteristik yang spesifik. Jika seseorang fasih berbahasa Arab, maka itu akan memudahkannya untuk fasih dalam bahasa lainnya, karena kefasihan dalam bahasa Arab merupakan kemampuan linguistik (qudrah lughawiyyah) yang tidak mudah.
Oleh karena itu, para pakar pendidikan, khususnya ulama tarbiyah, menyarankan agar anak-anak kecil disegerakan untuk menghafal Al-Qur’an. Itu bukan hanya untuk mendapatkan keberkahan Al-Qur’an meskipun mereka belum bisa membaca atau memahaminya, bukan hanya untuk mendapatkan keutamaan menghafal Al-Qur’an (ḥifẓul-Qur’ān), tetapi juga ada manfaat luar biasa dalam meningkatkan kecerdasan mereka. Kemampuan menghafal kosakata (mufradāt) dalam Al-Qur’an yang luar biasa lengkap, dengan pengucapan yang spesifik, sangat berpengaruh pada kecerdasan linguistik dan kecerdasan intelektual (IQ) anak-anak kita.
Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, mengapa Al-Qur’an dikatakan sebagai Al-Mubīn adalah karena diturunkan dengan bahasa Arab (nuzila bil-lughatil-‘arabiyyah) yang merupakan bahasa paling fasih dan paling jelas (afshaḥul-lughāt wa abānuha).
Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan: “Wal-kitābul-mubīn: aqsama bil-kitābil-ladzī abāna ṭarīqal-hudā minal-ḍalālah, wa annā mā taḥtāju ilaihil-ummah minasy-syarā’i'” (Demi Kitab yang jelas: Allah bersumpah dengan Kitab yang menjelaskan jalan petunjuk dari kesesatan, dan menjelaskan segala yang dibutuhkan umat dari syariat-syariat).
Kenapa dikatakan Mubīn? Kenapa dikatakan sebagai kitab yang jelas? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan kitab yang menjelaskan jalan petunjuk (ṭarīqal-hudā) dan membedakannya dari jalan kesesatan (aḍ-ḍalālah), serta menjelaskan kepada umat segala yang mereka butuhkan dari syariat-syariat dan aturan-aturan, yang semuanya dijelaskan dalam Al-Qur’an, sehingga dikatakan sebagai Al-Kitābul-Mubīn.
Ada yang menarik dari penjelasan As-Sa’di: “Hāżā qasamun bil-Qur’ān ‘alal-Qur’ān” (Ini adalah sumpah dengan Al-Qur’an atas Al-Qur’an). Di sini, wāw adalah wāwul-qasam (huruf waw untuk bersumpah). Allah bersumpah dengan Al-Qur’an, sebuah kitab yang jelas.
Ikhwatī fillāh, arsyadakumullāh, tentang bab sumpah (bābul-qasam) ini juga masuk dalam pembahasan akidah. Sebagai seorang muslim dan mukmin, kita tidak boleh bersumpah dengan selain Allah. Kita tidak boleh mengatakan “Demi Al-Qur’an”, tidak boleh. Meskipun dalam Al-Qur’an ada kalimat sumpah seperti itu, yang bersumpah adalah Allah, bukan kita. Dalam keseharian, kita tidak boleh bersumpah kecuali dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa bersumpah dengan selain Allah (al-qasamu bi ghairillāh) termasuk perbuatan syirik. Hati-hati, jangan sampai kita bersumpah dengan selain Allah.
Dahulu, orang-orang kafir Quraisy sering bersumpah dengan Ka’bah, “Wal-Ka’bah!”. Kemudian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meluruskannya dengan menambahkan, “Wa Rabbil-Ka’bah!” (Demi Rabb Pemilik Ka’bah), bukan demi Ka’bahnya. Hati-hati, kadang kita agak berlebihan dalam sumpah. Seringkali ditambahkan, “Demi Allah, demi Rasulullah.” Itu tidak benar. Jika kata “demi” diniatkan sebagai sumpah, maka bersumpah demi Rasulullah adalah tidak benar. Meskipun kelihatan islami, seolah-olah tidak mantap jika tidak ditambahi “demi Rasulullah”, padahal itu salah. Kita tidak boleh bersumpah dengan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa? Karena dalam sumpah itu terdapat pengagungan (ta’ẓīm), di mana tidak ada zat yang berhak diagungkan melebihi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jadi, kita sebagai hamba tidak boleh bersumpah dengan selain Allah. Di sini, Allah menggunakan wāwul-qasam, meskipun bisa juga menggunakan alat sumpah lainnya seperti ba’ (demi) atau ta’ (demi). Kita, para hamba, tidak boleh bersumpah dengan selain Allah. Namun, Allah sendiri bebas bersumpah dengan apa pun. Dalam Al-Qur’an, banyak sekali Allah bersumpah dengan buah Tin, buah Zaitun, waktu Asar, waktu Dhuha, waktu malam, matahari, bulan, dan lain-lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala bebas bersumpah dengan apa pun. Dan, sesuatu yang Allah jadikan sebagai objek sumpah-Nya pasti sesuatu itu istimewa. Ini penting. Termasuk ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan Al-Qur’an, bersumpah dengan Al-Kitābul-Mubīn, ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah sesuatu yang agung (mu’aẓẓam) dan mulia.
Kemudian, Ikhwatī fillāh, arsyadakumullāh, ayat berikutnya—dan ini adalah jawābul-qasam (jawaban dari sumpah)—adalah: Innā ja’alnāhu qur’ānan ‘arabiyyal la’allakum ta’qilūn (Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kalian memahaminya).
Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan makna ja’alnāhu dengan sammaināhu wa waṣṣafnāhu (Kami menamainya dan Kami mensifatinya). Ada juga yang berpendapat bahwa ja’alnāhu berarti anzalnāhu (Kami menurunkannya), qulnāhu (Kami mengatakannya), atau bayyannāhu (Kami menjelaskannya), seperti yang disampaikan Sufyan Ats-Tsauri. Semua makna ini saling beririsan dan dapat menjadi arti dari kata ja’alnā.
Qur’ānan ‘arabiyyan (sebagai bacaan dalam bahasa Arab). As-Sa’di menjelaskan: “Annahū ja’alahū bil-lughatil-‘arabiyyah li’annahā afṣaḥul-lughāti wa abānuha wa abyanuhā, wa żakara al-ḥikmah fī żālika” (Bahwa Allah menjadikannya dalam bahasa Arab karena bahasa Arab adalah bahasa paling fasih, paling jelas, dan paling terang. Dan Allah menyebutkan hikmah di baliknya).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa yang paling fasih, paling jelas, dan paling terang. Allah menyebutkan hikmahnya: mengapa yang dipilih adalah bahasa Arab? Karena kitab-kitab sebelumnya tidak diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Ini menarik, karena Nabi Muhammad adalah nabi akhir zaman dan rahmat bagi seluruh alam, umatnya tersebar di seluruh dunia. Maka, kitab suci yang diturunkan haruslah dalam bahasa yang dapat menjadi parameter dan patokan utama dibandingkan bahasa-bahasa lainnya. Ia harus merupakan bahasa paling fasih, paling jelas dalam memberikan makna, dan paling kaya. Jika tidak, akan sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Ikhwatī fillāh, arsyadakumullāh, coba bandingkan dengan bahasa Indonesia. Terkadang agak sulit menerjemahkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia karena begitu kayanya bahasa Arab. Apalagi bahasa Indonesia yang banyak menyerap dari bahasa Melayu, yang dalam bahasa Melayu sendiri banyak kata serapan dari bahasa Arab. Misalnya: DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). “Dewan” dari dīwān, “Perwakilan” dari wakāla – yuwakkilu – tawkīl, “Rakyat” dari ra’iyyah (yang dipimpin). MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). “Majelis” jelas bahasa Arab, “Permusyawaratan” dari musyāwarah, “Rakyat” lagi. “Masyarakat” dari musyārakah (saling berkontribusi dan berinteraksi). Bahkan, terkadang kita lebih mudah menerjemahkan bahasa Arab ke bahasa Jawa daripada ke bahasa Indonesia. Ini menunjukkan betapa kayanya bahasa Arab.
Bahasa yang seperti inilah yang pantas dijadikan sebagai bahasa Al-Qur’an, sehingga ketika disebarkan ke seluruh dunia, tidak mengalami distorsi makna. Ikhwatī fillāh, arsyadakumullāh, para ulama menegaskan tentang terjemah Al-Qur’an. Hati-hati dengan terjemah harfiah, karena dapat mendistorsi banyak makna yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an. Terjemahnya seharusnya adalah terjemah tafsiriyah, karena memang sulit. Satu kata dalam Al-Qur’an bahasa Arab seringkali harus diterjemahkan dengan beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia agar lebih jelas dan sesuai dengan maksud yang dikandung oleh bahasa Arab.
Ikhwatī fillāh, arsyadakumullāh, ini menunjukkan betapa istimewanya bahasa Arab. Dalam ayat lain, Al-Qur’an diturunkan bilisānin ‘arabiyyim mubīn (dengan bahasa Arab yang jelas). Bahasa Arab juga dikatakan sebagai lughatu ahlil-jannah (bahasa penduduk surga). Yang pasti, Ikhwatī fillāh, arsyadakumullāh, dijadikannya bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an adalah bentuk pemuliaan (takrīm) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita sebagai muslim sudah seharusnya berkewajiban untuk mempelajari bahasa Arab. Tidak mungkin kita dapat memahami Al-Qur’an dan Hadits secara maksimal tanpa belajar bahasa Arab. Kaidahnya jelas: Mā lā yatimmu al-wājibu illā bihī fahuwa wājib (Suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib). Kita tidak akan maksimal memahami Al-Qur’an (yang wajib) tanpa belajar bahasa Arab, maka belajar bahasa Arab menjadi wajib. Para ulama mengingatkan: Ta’allamū al-lughatal-‘arabiyyah fa innahā juz’un min dīnikum (Pelajarilah bahasa Arab, karena ia adalah bagian dari agamamu).
Penegasan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab ini semoga mampu menguatkan tekad dan semangat kita untuk mempelajarinya. Alhamdulillah, seiring waktu, banyak metode singkat dalam belajar bahasa Arab, banyak ditemukan formula, rumus, dan manhaj baru. Sekarang juga banyak lembaga yang menyelenggarakan pembelajaran bahasa Arab, baik formal maupun nonformal, dalam bentuk kursus-kursus, dan ada yang khusus untuk non-native speaker (lighairin nāṭiqīna bihā). Sudah banyak kemajuan dan penemuan mutakhir untuk memudahkan kita belajar bahasa Arab. Bahkan, banyak aplikasi yang dapat membantu.
Maka, jika kita ingin maksimal membaca dan memahami Al-Qur’an, kita harus belajar bahasanya. Nikmat rasanya ketika membaca Al-Qur’an sekaligus memahami artinya tanpa harus membuka terjemah, sehingga kita dapat betah berlama-lama membacanya dan benar-benar menikmati bacaannya. Jika tidak paham bahasa Arab, hal itu tidak mungkin terjadi. Maka, belum terlambat dan tidak ada kata terlambat untuk terus belajar bahasa Arab, termasuk melalui apa yang kita lakukan dalam kajian ini. Kita sengaja ketika menerjemahkan ayat-ayat yang dikupas, membaca kosakatanya (mufradāt) satu per satu. Jika diikuti secara rutin, lama-kelamaan akan hafal karena banyak kata yang terulang dalam Al-Qur’an. Kita perlu telaten menyimak. Wal-Kitābu (Kitab), Al-Mubīnu (yang jelas), Innā (Sesungguhnya Kami), Ja’alnāhu (Kami menjadikannya). Jika kita telaten mengikuti, lama-lama kosakata itu akan melekat karena banyak yang terulang. Ini sering disebut dengan metode manhajī, yang kekuatannya ada pada pengulangan (tikrār).
Kita dapat belajar Al-Qur’an sambil belajar bahasa Arab, atau belajar bahasa Arab sambil belajar Al-Qur’an, semoga apa yang Allah tegaskan dalam ayat ini memotivasi kita untuk dapat mempelajarinya.
Kemudian, Wa innahū fī ummil-kitābi ladainā la’aliyyun ḥakīm (Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab di sisi Kami, benar-benar tinggi nilainya dan penuh dengan hikmah).
Para ulama menafsirkan Ummul Kitab dengan Lauhul Mahfuzh. Ladainā artinya ‘indanā (di sisi Kami). La’aliyyun: dzū makānatin ‘āliyah, ‘aẓīmah, wa rafī’ah (memiliki kedudukan yang agung, mulia, dan tinggi). Ḥakīm: penuh dengan hikmah.
Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir, bayyana syarafahū fil malā’il a’lā (menjelaskan kemuliaannya di kalangan penduduk langit), liyusyrifahū wa yu’aẓẓimahū ahlal-arḍ (agar penduduk bumi memuliakan dan mengagungkannya). Asalnya dari Lauhul Mahfuzh. Makna Ladainā, sebagaimana dijelaskan Ibnu Abbas dan Mujahid, adalah ‘indanā (di sisi Allah). La’aliyyun: dzū makānatin ‘āliyah, ‘aẓīmah, wa rafī’ah.
Seharusnya kita dapat memuliakan Al-Qur’an karena ini adalah Kalamullah. Dan telah dijelaskan di sini bahwa Al-Qur’an itu ladainā la’aliyyun ḥakīm (di sisi Allah mempunyai posisi yang tinggi dan mulia) di kalangan penduduk langit. Kita yang berada di bumi ini seharusnya lebih memuliakannya lagi. Penduduk langit yang dekat dengan Allah (muqarrabūn) saja memuliakan Al-Qur’an, masa kita menganggapnya biasa saja? Tidak jarang kita tidak sempat membacanya, memahaminya pun sekadarnya. Banyak yang kita lakukan seolah tidak menganggap Al-Qur’an ini istimewa, padahal Allah menegaskan: Wa innahū fī ummil-kitābi ladainā la’aliyyun ḥakīm.
Dari sini, para ulama juga berpendapat bahwa kita tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci. Hal ini dihubungkan dengan makna ayat lain: Lā yamassuhū illal-muṭahharūn (Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan). Meskipun para ulama berbeda pendapat: ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an saat diturunkan kecuali malaikat yang suci (al-muṭahharūn adalah malaikat). Ada juga, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawanya, yang berpendapat bahwa tidak ada yang dapat menangkap makna dan kandungan Al-Qur’an kecuali hati yang suci (qalbun ṭahīr), yaitu hati orang-orang yang bertakwa (qulūbul-muttaqīn). Namun, ada juga pendapat fikih bahwa kita tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci, sebagai bentuk penghormatan (iḥtirām), mengingat penduduk langit (al-mala’ul a’lā) sangat memuliakannya—diturunkan dari Lauhul Mahfuzh melalui perantara malaikat yang paling mulia (afḍḍalul-malā’ikah).
Maka, jangan sampai kita tidak memuliakan Al-Qur’an, baik secara jasmani (fisik) maupun maknawi. Hati-hati, jangan letakkan Al-Qur’an di tempat yang rendah; taruhlah di meja atau di tempat yang lebih tinggi. Sangat menyedihkan, di masyarakat kita masih banyak yang kurang menghormati mushaf. Bahkan, berkali-kali ditemukan bungkus nasi yang menggunakan kertas bekas lembaran soal pendidikan agama Islam yang berisi ayat Qur’an. Saya pernah mendapatkan mushaf dari penerbit—seringnya penerbit yang dimiliki non-Muslim yang tidak memiliki sensitivitas terhadap mushaf—yang salah cetak atau kurang rapi, lalu dibuang dan dipakai untuk membungkus nasi. Sampai kita bingung, satu bungkus nasi ada bahasa Arabnya, tidak dibuang, malah disimpan. Tapi ternyata yang lain juga sama. Akhirnya, kita minta kepada penjualnya untuk membakar sampahnya sambil kita memberi tambahan uang.
Ini agak mengkhawatirkan di masyarakat kita. Belum lagi, percetakan Al-Qur’an yang sebagian dimiliki non-Muslim, dimana dalam prosesnya, kuas yang digunakan terkadang terbuat dari bulu babi, dan lain sebagainya—meskipun sekarang banyak penerbit muslim yang lebih ketat, memastikan pekerjanya selalu dalam keadaan wudu, dan bahan-bahan yang digunakan halal. Kemudian, mushaf yang sudah tidak terpakai tidak langsung menempel di tanah atau lantai, tetapi ada tempat dudukannya yang lebih tinggi sebagai bentuk penghormatan. Kertas-kertas yang tertulis ayat Qur’an atau lafaz jalalah diperlakukan khusus, dibakar, dan tidak dibuang sembarangan.
Bahkan, di Saudi ada tempat sampah khusus: sampah organik, non-organik, dan ālāt muḥtaramah (benda-benda yang dimuliakan), seperti mushaf atau kertas bertuliskan ayat. Ada yayasan khusus (iḥtirām masāhif) yang tugasnya keliling ke masjid-masjid memeriksa mushaf. Jika berdebu, dibersihkan; jika lepas, dijilid ulang. Di mobil mereka ada alat jilid. Jika halamannya sudah tidak lengkap, dibakar. Banyak masjid yang menuliskan: Wa man yu’aẓẓim sya’āirallāhi fa innahā min taqwal-qulūb (Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati).
Kita pernah ditegur karena menyelonjorkan kaki ke arah mushaf, padahal masih ada jaraknya. Masya Allah, itu adalah bentuk penghormatan. Secara fisik saja sudah sulit, apalagi secara maknawi: mengamalkannya, mentadaburinya, dan memperjuangkannya.
Apa yang disampaikan di sini menunjukkan betapa tingginya kedudukan Al-Qur’an al-Karim. Tentu, penghormatan kita bukan hanya kepada mushaf atau Al-Qur’an itu sendiri, tetapi juga kepada ahlul-Qur’ān: para pengajar Al-Qur’an, penghafal Al-Qur’an, dan santri-santri yang mempelajarinya. Menghormati mereka adalah bentuk penghormatan kita kepada Al-Qur’an.
Ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi: tentang pentingnya pendidikan bahasa Arab, urgensi bahasa Arab dalam mempelajari Al-Qur’an al-Karim, serta kemuliaan Al-Qur’an yang seharusnya mendidik kita dan anak-anak kita untuk beradab (atta’dub) terhadap Al-Qur’an al-Karim.