Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.
Al-Qur’an tidak habis-habisnya menyajikan khazanah makna yang dalam. Setelah sebelumnya mengupas tentang kemuliaan Al-Qur’an, Surah Az-Zukhruf ayat 5 hingga 8 mengetengahkan pesan-pesan universal yang relevan dengan tantangan setiap zaman, termasuk masa kini.
Ayat 5: Peringatan yang Tak Pernah Berhenti
Allah berfirman, “Maka apakah Kami akan berhenti menurunkan peringatan (Al-Qur’an) kepadamu karena kamu adalah kaum yang melampaui batas?” (QS. Az-Zukhruf: 5).
Pertanyaan dalam ayat ini bukanlah tanda keraguan, melainkan penegasan bahwa kasih sayang dan peringatan Allah terus mengalir, meskipun manusia dalam keadaan melampaui batas (musrifin). Para ahli tafsir, seperti Imam Al-Qurthubi, mengemukakan dua penafsiran utama untuk kata adz-Dzikr dalam ayat ini. Pertama, sebagai Al-Qur’an itu sendiri, yang berarti Allah tidak akan menghentikan wahyu sebagai petunjuk. Kedua, sebagai azab, yang bermakna Allah tidak akan membiarkan begitu saja kezaliman yang dilakukan suatu kaum.
Kedua penafsiran ini saling melengkapi. Di satu sisi, Al-Qur’an senantiasa hadir sebagai cahaya petunjuk. Di sisi lain, sejarah menunjukkan bahwa kehancuran peradaban yang zalim juga merupakan bentuk peringatan nyata (tadzkirah) dari Allah. Ayat ini mengajak kita untuk introspeksi: sudahkah kita menyambut petunjuk Ilahi, ataukah kita termasuk yang menunggu datangnya peringatan dalam bentuk lain?
Konsekuensi dari memuliakan Al-Qur’an sebagai petunjuk adalah kesungguhan dalam memahaminya. Inilah mengapa para ulama menekankan pentingnya mempelajari bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an. Sebuah kaidah menyatakan, “Suatu kewajiban yang tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.” Memahami sumber ajaran Islam adalah kewajiban, dan bahasa Arab adalah kunci utamanya. Di era dimana akses belajar bahasa Arab begitu mudah, komitmen untuk mempelajarinya menjadi bukti nyata penghormatan kita kepada Kalamullah.
Ayat 6-7: Pelajaran dari Lintasan Sejarah Para Nabi
Allah kemudian berfirman, “Dan betapa banyak nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat terdahulu. Dan tidak seorang nabi pun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az-Zukhruf: 6-7).
Ayat ini merupakan konsolidasi dan penguatan hati (tasliyah) yang ditujukan bukan hanya untuk Rasulullah SAW, tetapi untuk setiap pengemban dakwah. Pesannya jelas: penolakan, cemoohan, dan pendustaan adalah sunnatullah dalam perjalanan menegakkan kebenaran. Setiap nabi, dari yang paling mulia sekalipun, menghadapi tantangan yang serupa, bahkan seringkali lebih berat.
Menyadari hal ini memberikan keteguhan yang luar biasa. Saat menghadapi rintangan dalam menyampaikan atau menjalani kebenaran, mengingat perjuangan para nabi dan rasul dapat meringankan beban. Seolah Allah berkata, “Kamu tidak sendiri.” Cobaan yang kita alami hari ini, mungkin belum sebanding dengan ujian yang dihadapi para pendahulu kita yang saleh. Pelajaran ini mengajarkan arti kesabaran dan ketabahan yang hakiki.
Ayat 8: Kekuasaan Allah atas Segala Tirani
Kelanjutan dari hiburan tersebut adalah jaminan kekuasaan Allah: “Lalu Kami binasakan orang-orang yang lebih besar kekuatannya daripada mereka itu, dan telah berlalu contoh umat-umat terdahulu.” (QS. Az-Zukhruf: 8).
Ini adalah penegasan bahwa keangkuhan dan kekuatan duniawi para penentang kebenaran adalah semu. Allah Maha Kuasa untuk menghancurkan siapa pun yang melampaui batas, sekalipun mereka memiliki peradaban yang maju dan kekuatan militer yang hebat, seperti Firaun atau Namrud. Ayat ini menanamkan optimisme dan keberanian. Tidak ada alasan untuk merasa kecil atau takut terhadap kezaliman yang tampak perkasa, karena pertolongan Allah pasti datang menurut ketentuan-Nya. Kisah-kisah umat terdahulu dalam Al-Qur’an bukan sekadar dongengan, tetapi pelajaran nyata tentang hukum sebab-akibat dalam peradaban manusia.
Refleksi untuk Kehidupan Kontemporer
Dari rangkaian ayat ini, setidaknya ada tiga pelajaran utama yang dapat kita rengkuh:
- Komitmen pada Al-Qur’an: Penghormatan kepada Al-Qur’an harus diwujudkan dalam bentuk interaksi yang intens, baik melalui tilawah, tadabbur, maupun upaya serius untuk memahami bahasanya.
- Keteguhan dalam Kebenaran: Meneladani ketabahan para nabi memberikan kita perspektif yang luas saat menghadapi tantangan. Setiap rintangan adalah bagian dari proses yang telah dialami oleh orang-orang terbaik sebelum kita.
- Pelajaran dari Sejarah: Membaca dan mentadabburi kisah-kisah dalam Al-Qur’an serta sirah nabawiyah adalah sumber kekuatan hati. Ia mengingatkan kita pada hukum Allah yang berlaku atas orang-orang zalim dan janji-Nya kepada orang-orang yang sabar.
Dengan merenungkan ayat-ayat ini, hati kita diharapkan dapat menemukan ketenangan, pikiran menjadi terbuka, dan semangat untuk terus istiqamah dalam kebenaran semakin berkobar.