Oleh: Talqis Nurdianto, Lc., M.A., P.hD
Bismillahirrahmanirrahim. Kajian kitab Al-Adab Al-Mufrad mengangkat sebuah bab yang sangat menyentuh kesadaran, yaitu “Man Adraka Walidaihi Falamm Yadkhulil Jannah” – tentang orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak masuk surga. Judul ini bagaikan teguran yang sangat dalam, terutama bagi seorang anak yang masih diberi kesempatan untuk tinggal bersama orang tuanya, tetapi justru kehilangan peluang emas untuk meraih surga. Pelajaran ini tetap berharga bagi semua orang, baik yang masih dikaruniai orang tua – baik kedua-duanya atau hanya salah satu – maupun yang sudah tidak memilikinya. Bahkan bagi mereka yang usianya telah lanjut, pesan ini tidak kehilangan relevansinya.
Sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mencatat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda dengan mengulangi perkataan “Raghima anfuhu!” yang berarti “Celakalah dia!” sebanyak tiga kali. Pengulangan ini menegaskan betapa seriusnya perkara yang disampaikan. Ketika para sahabat bertanya siapa yang dimaksud, Rasulullah menjelaskan bahwa yang celaka adalah seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya, hidup hingga usia lanjut, tetapi ia justru masuk neraka. Ancaman ini secara langsung mengaitkan hubungan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah sepuh dengan nasib akhiratnya.
Realita yang digambarkan dalam hadis ini seringkali terlihat dalam kehidupan. Saat orang tua masih kuat, sehat, dan memiliki penghasilan, rasa segan dari anak mungkin masih terasa secara wajar. Namun, ujian yang sesungguhnya muncul ketika orang tua telah memasuki masa “purnatugas”: tidak lagi bekerja, tabungan pensiun yang terbatas, intensitas berobat yang meningkat, dan membutuhkan bantuan untuk aktivitas sehari-hari yang paling dasar. Pada kondisi inilah, nilai seorang anak diuji. Seorang anak yang tetap berbakti dengan tulus, meski dengan kemampuan finansial yang pas-pasan, menunjukkan ketulusan dan kehebatan hati yang sesungguhnya. Kehebatan itu terletak pada kemauan untuk tetap memuliakan orang tua di saat mereka tidak lagi memberikan keuntungan materi.
Bakti seorang anak kepada orang tua yang sudah lanjut usia dapat diwujudkan dalam banyak bentuk. Mulai dari perhatian dan pengawasan, seperti memantau kondisi orang tua melalui komunikasi rutin atau teknologi, hingga pelayanan fisik seperti menuntunnya berjalan dengan sabar atau membantu aktivitas sehari-hari. Dukungan finansial untuk biaya pengobatan dan kebutuhan pokok juga merupakan bentuk nyata. Namun, yang paling mendasar adalah kesabaran dalam menghadapi perubahan sikap dan tingkah laku orang tua yang merupakan dampak alami dari penuaan. Kepedulian semacam ini tidak lahir secara instan, tetapi biasanya berakar dari pola asuh dalam keluarga yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan kekompakan.
Kedudukan birrul walidain atau berbakti kepada orang tua dalam Islam memiliki posisi yang sangat tinggi. Al-Qur’an dalam Surah Al-Isra’ ayat 23 bahkan menempatkannya setingkat dengan perintah untuk menyembah Allah semata. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa pahala birrul walidain disetarakan dengan pahala ibadah, yang menunjukkan betapa mulianya orang yang berbuat baik kepada orang tuanya. Ayat tersebut dengan jelas melarang perkataan sekecil “ah” yang menunjukkan kejengkelan, apalagi hardikan atau bentakan. Sebaliknya, seorang anak diperintahkan untuk mengucapkan perkataan yang mulia, merendahkan diri dengan penuh kasih sayang, dan terus-menerus mendoakan kebaikan untuk orang tuanya.
Bagi mereka yang masih memiliki orang tua, terutama yang telah lanjut usia, kesempatan ini adalah pintu surga yang terbuka lebar. Setiap kesabaran, pengorbanan tenaga, dan biaya yang dikeluarkan untuk merawat orang tua adalah investasi akhirat yang nilainya tak terhingga. Merawat orang tua di usia senja seringkali diibaratkan seperti merawat anak kecil, tetapi dengan tantangan yang berbeda. Jika dilakukan dengan ikhlas, kenangan memandikan, menceboki, atau sekadar menemani orang tua di masa sepuhnya akan menjadi kenangan terindah dan ibadah yang tidak ternilai. Bagi yang sudah tidak memiliki orang tua, birrul walidain tetap dapat dilaksanakan dengan cara mendoakan mereka, melanjutkan silaturahmi dengan kerabat orang tua, dan menghormati orang tua lain yang sudah sepuh.
Dalam situasi di mana orang tua tidak seiman, Islam memberikan panduan yang jelas. Surah Luqman ayat 15 menegaskan bahwa seorang anak tidak boleh menaati orang tua dalam hal yang merupakan kemaksiatan kepada Allah, seperti menyekutukan-Nya. Namun, dalam hal pergaulan duniawi, anak tetap diperintahkan untuk bergaul dengan baik dan menghormati mereka. Ini menunjukkan keseimbangan antara menjaga akidah dan tetap menjunjung tinggi adab sebagai seorang anak.
Peran orang tua juga sangat penting dalam menanamkan nilai bakti ini kepada generasi berikutnya. Keteladanan orang tua dalam memperlakukan kakek dan nenek dengan hormat adalah pelajaran hidup yang paling efektif. Mengajarkan anak untuk mendoakan orang tua, menyampaikan hadis dan ayat tentang keutamaan birrul walidain dengan cara yang mudah dipahami, serta menegur sikap kurang sopan anak kepada orang tua adalah bagian dari tanggung jawab ini. Seorang anak yang terbiasa melihat orang tuanya memuliakan kakek-neneknya akan lebih mudah meneladani perilaku tersebut.
Pada akhirnya, merawat orang tua yang sudah sepuh memang memerlukan kesabaran dan pengorbanan yang besar. Namun, ingatlah bahwa inilah salah satu jalan menuju surga yang dijanjikan. Setiap keringat, setiap pengorbanan materi, dan setiap detik kesabaran yang diberikan untuk orang tua lansia adalah langkah nyata mendekatkan diri kepada ridha Allah. Bagi orang tua, mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya dan memberikan teladan yang baik adalah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Sedangkan bagi anak, memuliakan orang tua adalah kunci surga yang telah Allah titipkan dalam rumah mereka sendiri. Semoga kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur dengan memuliakan orang tua, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.