TABLIGH.ID, YOGYAKARTA — Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Dr. KH. Tafsir, menyampaikan pandangan moderat dan reflektif tentang makna tradisi Islam dalam Pengajian Ahad Kliwon di Masjid Al-Musannif, Tabligh Institute Muhammadiyah, Ahad (5/10).
Dalam kesempatan itu, KH. Tafsir mengungkapkan rasa terima kasihnya atas sambutan hadrah yang mengumandangkan Thola‘al Badru ‘Alainā. Menurutnya, ini adalah pengalaman langka di lingkungan Muhammadiyah, meskipun tradisi tersebut telah lama dikenal dalam dunia pesantren.
“Bagi saya, ini pengalaman kedua di Muhammadiyah disambut dengan Thola‘al Badru ‘Alainā. Yang pertama di Pondok Pesantren Muhammadiyah Rembang. Syair ini bukan milik kelompok tertentu, melainkan lahir dari kegembiraan penduduk Yatsrib menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,” jelasnya.
KH. Tafsir kemudian menjelaskan asal-usul syair legendaris itu. Ia menuturkan bahwa Thola‘al Badru ‘Alainā merupakan ekspresi kegembiraan masyarakat Yatsrib—yang kemudian dikenal sebagai Madinah—menyambut Nabi dan para sahabat yang berhijrah dari Makkah.
“Syair itu dilantunkan oleh penduduk Yatsrib, apa pun agamanya, sebagai bentuk rasa syukur atas kehadiran Rasulullah. Nabi bahkan tidak melarang mereka berdiri menyambut kedatangannya,” ujar KH. Tafsir.
Ia juga menyinggung prinsip yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama (NU), yakni al-muhāfaẓatu ‘alal qadīmiṣ ṣāliḥ wal akhdu bil jadīdil aṣlaḥ — memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Menurutnya, tradisi seperti menyambut tamu dengan berdiri bukanlah bid‘ah, melainkan ekspresi penghormatan yang telah menjadi bagian dari budaya Islam Nusantara.
Lebih jauh, KH. Tafsir membahas tradisi pembacaan Maulid al-Barzanji dan Maulid ad-Diba‘i. Ia menjelaskan bahwa keduanya merupakan karya sastra cinta yang menggambarkan rasa mahabbah (cinta) kepada Rasulullah.
“Seperti surat cinta, bahasa dalam syair maulid sering berlebihan. Tapi itu wajar sebagai ungkapan cinta. Nabi digambarkan sebagai bulan purnama, matahari, dan cahaya di atas cahaya. Itu bahasa sastra, bukan akidah,” tegasnya.
KH. Tafsir menegaskan bahwa Muhammadiyah sebaiknya tidak menolak karya seperti Barzanji, melainkan menempatkannya sebagai karya seni dan budaya Islam yang layak diapresiasi.
“Barzanji adalah karya sastra, bukan ritual sakral. Kita perlu bersikap moderat: jangan menolak, tapi juga jangan menyakralkan. Bahkan dalam salah satu syairnya disebut ‘al-ḥaqīqah al-Muḥammadiyyah’, yang menyiratkan kedalaman spiritual,” tambahnya.
Dalam pandangannya, umat Islam memiliki kekayaan warisan nonbenda seperti sastra dan syair, bukan bangunan monumental seperti piramida atau candi. Karena itu, karya-karya seperti Barzanji justru mencerminkan peradaban Islam yang berorientasi pada nilai dan makna.
“Mungkin perlu diadakan festival Barzanji sebagai bentuk apresiasi seni Islam. Bukan ritual, tapi penghargaan terhadap budaya. Muhammadiyah bisa bekerja sama dengan fakultas sastra atau seni, meski selama ini kita lebih kuat di bidang pendidikan dan kesehatan,” usulnya.
KH. Tafsir juga menyinggung sisi humor Nabi yang terekam dalam kitab An-Nabiy wa Tabassumuhu (Canda dan Senyum Nabi). Menurutnya, keseimbangan antara zikir, pikir, dan hiburan merupakan bagian dari ajaran Islam.
“Nabi juga bercanda dan menghargai seni. Hidup itu harus seimbang—berzikir, berpikir, bekerja, istirahat, dan berhibur. Bahkan tata kota Jawa dulu menggambarkan keseimbangan ini: masjid untuk berzikir, pasar untuk bekerja, pendapa untuk berpikir, dan alun-alun untuk berhibur,” tutur KH. Tafsir.
Menutup pengajian, beliau mengajak jamaah untuk menjaga keseimbangan hidup sebagaimana pesan Al-Qur’an: wa lā tukhṣirul mīzān — “janganlah kamu mengurangi keseimbangan.”
“Keseimbangan adalah kunci hidup yang sehat dan harmoni. Pengajian ini bagian dari ikhtiar kita menjaga mīzān itu,” pungkasnya.