Membaca Zaman, Meneguhkan Dakwah: Silaturahim Redaksi Suara Muhammadiyah ke Majelis Tabligh

silaturahim SM ke Majelis Tabligh Muhammadiyah


TABLIGH.ID, Yogyakarta, 8 Oktober 2025
– Tim Redaksi Suara Muhammadiyah melakukan kunjungan silaturahim ke Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pusdiklat Tabligh Institute Muhammadiyah, Rabu (8/10).
Rombongan redaksi dipimpin oleh Isngadi Marwah Atmadja, bersama Lutfi Effendi, Rizki Putra Dewantoro, Imron Nasri, Ganjar Sri Husudo, Diko, Ahmad Riza Primadi, dan Cristoffer Veron Purnomo.
Kedatangan mereka diterima langsung oleh Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.

Dalam pertemuan yang berlangsung hangat tersebut, tim redaksi menyampaikan niat untuk memperkuat silaturahim antar-majelis di lingkungan Persyarikatan.
Isngadi Marwah Atmadja menjelaskan bahwa pertemuan ini juga bertujuan menggali persoalan aktual dalam dakwah dan kehidupan keagamaan umat.

“Kami ingin mengetahui bagaimana kondisi dakwah kita di lapangan saat ini. Dulu, proposal pesantren atau masjid selalu dikaitkan dengan isu kristenisasi. Sekarang, tantangan utamanya justru dekadensi moral dan jarak pesantren dengan masyarakat. Kami ingin mendengar bagaimana Majelis Tabligh membaca perubahan zaman ini,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, KH. Fathurrahman Kamal menyampaikan refleksi kritis tentang dinamika dakwah Muhammadiyah di tengah perubahan sosial yang cepat.
Menurutnya, secara ideologis Muhammadiyah bersifat inklusif, namun dalam praktik sosial, warganya kerap tampil eksklusif.

“Muhammadiyah itu inklusif, tapi orang Muhammadiyah sering kali eksklusif. Kita terjebak dalam birokratisme keagamaan, sementara anak-anak muda hari ini hidup di dunia yang serba real time. Mereka tidak bisa menunggu hasil rapat panjang untuk menjawab persoalan agama,” tegasnya.

Ia mengungkapkan, tantangan dakwah saat ini bukan hanya soal materi keislaman, tetapi juga soal kecepatan merespons realitas.
“Kalau dulu kita belajar agama lewat pengajian, anak sekarang belajar lewat YouTube dan langsung mengecek hadisnya. Mereka independen dalam menentukan paham keagamaan,” lanjutnya.

Dalam pandangan KH. Fathurrahman, Manhaj Tarjih menjadi fondasi penting untuk menjaga inklusivitas pemikiran Islam Muhammadiyah.
Tanpa Manhaj Tarjih, menurutnya, pemahaman keagamaan warga Muhammadiyah bisa bergeser ke arah ideologi lain.

“Kalau orang Muhammadiyah bicara Al-Qur’an tanpa Manhaj Tarjih, dia bisa jadi Salafi. Bicara jihad tanpa Manhaj Tarjih, bisa jadi jihadis. Bicara tazkiyah tanpa Manhaj Tarjih, bisa jadi Jamaah Tabligh. Karena itu, kunci berpikir dan berdakwah kita ada di Manhaj Tarjih,” jelasnya.

Fathurrahman juga menyinggung perlunya fikih yang komparatif dan kontekstual, bukan yang kaku dan menghakimi.

“Kalau di Saudi, fikih dikaji multi-mazhab secara akademik. Kita justru sering menjadikan fikih seperti mahkamah peradilan—ada yang sunnah, ada yang bid‘ah—padahal seharusnya dialogis dan terbuka,” ujarnya.

Lebih jauh, Ketua Majelis Tabligh ini juga menyoroti pentingnya pendekatan kultural dalam dakwah Muhammadiyah.
Menurutnya, sebagian tradisi Islam yang bernuansa sastra dan budaya, seperti manakib atau maulid, bisa dimaknai sebagai media literasi sejarah keislaman, bukan ritual bid‘ah.

“Membaca kisah orang saleh itu bisa menumbuhkan rahmat dan cinta pada kebaikan. Ibnu Taimiyah saja menegaskan hal itu. Maka, mengenang Kiai Ahmad Dahlan dan para pendiri Muhammadiyah juga bentuk manakib—bukan kultus, tapi pendidikan sejarah dan spiritualitas,” paparnya.

KH. Fathurrahman bahkan mengusulkan agar Majelis Tabligh menghidupkan tradisi manakib Muhammadiyah dalam bentuk forum sanad kemuhammadiyahan, yakni kegiatan rutin yang mengulas kisah dan perjuangan tokoh-tokoh Persyarikatan.
“Tidak mungkin kita mencintai Muhammadiyah tanpa mencintai Kiai Dahlan. Maka, mengenal sejarah perjuangan beliau adalah bentuk kecintaan yang rasional dan spiritual,” tambahnya.

Pertemuan yang berlangsung lebih dari dua jam itu ditutup dengan refleksi bersama mengenai arah dakwah ke depan.
Baik tim Suara Muhammadiyah maupun Majelis Tabligh sepakat bahwa dakwah Muhammadiyah perlu tampil lebih adaptif, inklusif, dan kontekstual, tanpa kehilangan basis keilmuannya.

“Zaman sudah berubah. Anak muda hari ini tidak bisa diindoktrinasi. Dakwah harus bergerak dari pendekatan formal ke pendekatan komunitas dan passion-based,” tutup KH. Fathurrahman

Kunjungan tersebut menjadi langkah awal kolaborasi strategis antara Suara Muhammadiyah dan Majelis Tabligh dalam memperkuat narasi dakwah Islam berkemajuan di ruang publik digital dan komunitas.

Related posts

Majelis Tabligh Matangkan Persiapan Rakernas II: Lahirkan Empat Gerakan Strategis Dakwah Muhammadiyah

Tafsir Tarbawi Surah Az-Zukhruf Ayat 12–14: Menemukan Tauhid dalam Perjalanan dan Teknologi

Penguatan Peran Keluarga, Bangun Generasi Berkarakter Islami