Oleh: KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.
Saya sering mengatakan bahwa di antara tiga manhaj yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam konteks manhaj tarjih—bayani, burhani, dan ‘irfani—yang paling menderita di Muhammadiyah adalah manhaj ‘irfani. Kita kaya dengan pendekatan bayani dan burhani: narasi akademik, argumentasi rasional, penjelasan saintifik, semua itu sudah berlimpah di Muhammadiyah. Namun satu hal yang masih lemah adalah ‘irfani, pendekatan hati, rasa, dan kebijaksanaan spiritual.
Dalam satu diskusi dengan Prof. Dr. MA Fattah Santoso, M.Ag menjelang Muktamar di Surakarta, saya menyampaikan bahwa perjalanan berpikir kita seperti piramida. Lapisan paling bawah adalah hikmah—tempat kita berbicara dengan tenang, berdebat bila perlu, dan itu pun dengan cara yang baik. Namun banyak di antara kita yang berhenti di level debat, bukan pada kebijaksanaan. Akibatnya dakwah kita kehilangan kelembutan dan bahasa hati. Padahal dalam bahasa Arab, ‘irfan itu adalah hikmah. Dakwah bil-hikmah sejatinya dakwah bil-‘irfan, dakwah dengan rasa dan kebeningan hati. Orang yang ma‘rifatullah tidak sekadar mengenal Tuhan melalui akal, tetapi melalui kesadaran spiritual. Banyak orang pandai berbicara tentang Tuhan, tetapi tidak benar-benar beriman kepada-Nya. Begitu pula dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, ada yang berhenti di qira’ah—bacaan intelektual—namun sedikit yang sampai pada tilawah, pembacaan spiritual. Di situlah letak hikmah.
Anak-anak muda hari ini hidup di zaman dan budaya yang berbeda. Cara kita berdakwah harus berubah. Kalau ada mahasiswa tertidur saat diajak salat berjemaah, jangan dimarahi. Pegang tangannya, ajak dengan lembut. Dalam dakwah tidak ada ruang untuk kemarahan. Nabi menghormati pezina yang datang kepadanya, pencuri pun dihormati, bahkan pemabuk pun tidak diusir. Kita sering kehilangan bahasa kasih itu, karena dakwah kita cenderung emosional, bukan spiritual. Padahal yang sesungguhnya butuh orang sesat itu bukan orang sesat yang butuh da’i, tetapi da’i-lah yang butuh orang sesat. Tanpa mereka, dakwah kehilangan makna. Orang yang tersesat justru memberi kesempatan kepada da’i untuk berbuat rahmat.
Rasulullah SAW digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai harisun ‘alaikum, ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittum—beliau sangat mencintai umatnya, sulit rasanya bagi beliau melihat umatnya susah. Itulah cinta yang tidak bisa diungkapkan, seperti seorang ayah yang rela meminjam uang demi anaknya yang sakit. Cinta yang konkret, yang tidak banyak bicara tapi penuh pengorbanan.
Saya sering mengatakan bahwa dakwah yang berkemajuan itu berdiri di atas tiga hal: ihsan, itqan, dan rahmah. Ihsan berarti hubungan vertikal kita dengan Allah, kita well connected dan well oriented kepada-Nya. Itqan berarti kesungguhan dan profesionalisme dalam bekerja, melakukan sesuatu dengan cinta dan kualitas. Rahmah adalah kasih sayang dalam berinteraksi dengan sesama. Ihsan melahirkan itqan, keduanya melahirkan rahmah. Dakwah yang rahmatan lil-‘alamin hanya mungkin bila kita ihsan kepada Allah dan itqan dalam amal duniawi.
Tantangan terbesar hari ini bukan pada anak muda, tetapi pada generasi da’i lama yang masih terjebak dalam pola berpikir lama namun harus menghadapi realitas baru. Anak muda sebenarnya siap, mereka tinggal diarahkan. Tetapi cara penyajian dakwah dan pendidikan agama kita sering ketinggalan zaman. Banyak mahasiswa yang menganggap mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIKA) sebagai beban, bukan pencerahan. Bukan karena materinya salah, melainkan cara penyampaiannya yang tidak menyentuh dunia mereka. Materi yang kita ajarkan masih sama seperti enam tahun lalu, tanpa menyinggung dunia digital, post-truth, atau realitas maya tempat mereka hidup.
Kita perlu berpikir lebih jauh. Jika PBB memiliki Sustainable Development Goals (SDGs), maka Muhammadiyah perlu memiliki Sustainable Dakwah Goals—Ahdaf ad-Da‘wah al-Mustadamāh—tujuan dakwah yang berkelanjutan. Jangan sampai dakwah kita berputar seperti jarum jam dari angka satu kembali ke angka satu. Seharusnya bergerak maju ke jam tiga belas, jam empat belas, dan seterusnya. Muhammadiyah harus punya baseline dan indikator capaian dakwah jangka panjang hingga 2045. Kita perlu ukuran yang jelas: apa yang ingin dicapai, bagaimana mengukurnya, dan siapa yang bertanggung jawab.
Dakwah berkemajuan juga butuh dukungan ekonomi. Kita tidak bisa terus bergantung pada semangat “amal tanpa biaya.” Mubalig, guru, dan dosen sama-sama bekerja untuk dakwah, dan mereka layak mendapatkan penghargaan profesional. Ikhlas dalam Muhammadiyah bukan berarti gratis, tetapi profesional yang mengabdi. Orang yang profesional bukan berarti komersial, tapi ia menjalankan tugasnya dengan semangat khidmat. Karena itu, kita perlu mengembangkan sumber ekonomi dakwah—melalui investasi, usaha produktif, atau koperasi syariah berbasis masjid—agar Majelis Tabligh mandiri dan berkelanjutan.
Kita juga perlu menghidupkan kembali aspek kultural dan spiritual Muhammadiyah, misalnya dengan “Manakib Kiai Dahlan.” Bukan dalam arti ritual, tapi sebagai literasi kultural dan spiritual, menggali nilai-nilai luhur pendiri Muhammadiyah. Acara seperti “Ngaji Leluhur” atau “Bermunajat” bisa menjadi ruang refleksi, menumbuhkan cinta dan kebanggaan terhadap warisan spiritual Kiai Dahlan.
Dakwah Muhammadiyah hari ini harus kembali menyentuh hati—tidak hanya kuat di nalar, tapi juga kaya di rasa. Kita perlu menumbuhkan manhaj ‘irfani, memperkuat ihsan, itqan, dan rahmah, serta menyiapkan sistem dakwah yang berkelanjutan dan profesional. Dengan begitu, dakwah kita tidak hanya cerdas dan rasional, tetapi juga lembut, menyentuh, dan membahagiakan, seperti dakwah Nabi yang penuh cinta dan kebijaksanaan.

