Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Surah Az-Zukhruf ayat 12–14 menggambarkan hubungan erat antara kehidupan manusia, alam semesta, dan kesadaran akan kehadiran Allah. Ayat-ayat ini menjadi pengingat bahwa setiap nikmat dan kemudahan yang kita rasakan — termasuk kemampuan manusia untuk berlayar, berkendara, dan bepergian — merupakan bagian dari karunia dan kekuasaan-Nya.
Ayat dan Terjemahan
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
وَالَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُم مِّنَ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ مَا تَرْكَبُونَ
لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنقَلِبُونَ
Artinya:
“Dan Dialah yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan, dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi, agar kamu duduk di atas punggungnya, kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya, dan supaya kamu mengucapkan: ‘Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.’” (QS. Az-Zukhruf [43]: 12–14)
Dalam penjelasan para mufasir, seperti Ibnu Katsir, ayat ini menegaskan dua hal mendasar: penciptaan dan penundukan. Allah menciptakan segala sesuatu dalam bentuk berpasangan — tumbuhan, hewan, dan manusia — sebagai bukti kesempurnaan sistem ciptaan-Nya.
Selain itu, Allah menundukkan (tashkhīr) berbagai makhluk untuk kepentingan manusia: kapal yang dapat berlayar di lautan, hewan yang bisa dijadikan kendaraan, hingga hasil bumi yang menopang kehidupan. Semua itu berjalan bukan karena kemampuan manusia, tetapi karena izin dan pengaturan Allah.
Pada masa dahulu, kapal digerakkan oleh layar dan angin, sementara hewan digunakan untuk perjalanan jauh. Kini, manusia naik mobil, kapal mesin, atau pesawat terbang. Namun, hakikatnya sama: semua kendaraan itu dapat berfungsi hanya karena kehendak Allah. Bila sejenak mesin gagal bekerja atau pesawat terganggu di udara, manusia segera tersadar betapa lemah dirinya di hadapan kekuasaan Tuhan.
Doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ saat bepergian bukan sekadar bacaan rutinitas, melainkan latihan kesadaran spiritual:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ، وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنقَلِبُونَ
Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.
Doa ini mengandung dua makna penting:
- I‘tirāf (pengakuan) atas nikmat Allah dan kelemahan manusia.
- Tawāḍu‘ (kerendahan hati) yang menumbuhkan rasa syukur dan kesadaran akan akhir perjalanan hidup.
Sebesar apa pun kemajuan teknologi, manusia tetaplah makhluk yang bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah. Segala kecanggihan transportasi dan komunikasi modern hanyalah sarana yang tunduk pada hukum alam ciptaan-Nya.
Dalam konteks pendidikan dan ilmu pengetahuan, ayat ini menegaskan pentingnya menghubungkan sains dengan tauhid. Fenomena alam — dari gravitasi, gelombang laut, hingga rotasi bumi — seharusnya tidak hanya dilihat sebagai objek ilmiah, tetapi juga sebagai tanda kebesaran Allah (āyāt kauniyyah).
Ketika seorang ilmuwan meneliti hukum fisika atau seorang pelajar mempelajari anatomi tubuh manusia, semestinya ia melihat keteraturan itu sebagai bukti dari rubūbiyyah (pengaturan ilahi). Dengan begitu, ilmu pengetahuan justru memperkuat keimanan, bukan menjauhkannya.
Bagian akhir ayat menutup dengan kalimat:
وَإِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا لَمُنقَلِبُونَ
“Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.”
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap perjalanan duniawi sejatinya hanyalah bagian dari perjalanan panjang menuju Allah. Bahkan di tengah aktivitas paling duniawi sekalipun — seperti bepergian — Al-Qur’an mengaitkannya dengan kesadaran akan akhirat.
Nilai ini juga tercermin dalam ayat lain:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 197)
Demikian pula ketika berbicara tentang pakaian, Allah menegaskan:
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”
(QS. Al-A‘rāf [7]: 26)
Artinya, bahkan dalam urusan dunia seperti perjalanan dan berpakaian, Al-Qur’an selalu menuntun manusia agar tidak melupakan dimensi ukhrawi.
Dari rangkaian ayat ini, terdapat dua nilai pendidikan (tarbiyah) yang dapat ditarik:
- Tarbiyah ‘alal Īmān — Pendidikan berbasis keimanan.
Ilmu dan fenomena alam hendaknya menjadi sarana untuk mengenal Allah dan memperkuat keyakinan akan kehidupan akhirat. - Tarbiyah ‘alad Du‘ā — Pendidikan melalui doa.
Doa tidak hanya dimaksudkan untuk memperoleh pahala, tetapi juga sebagai latihan kesadaran diri, syukur, dan kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.
Surah Az-Zukhruf ayat 12–14 mengajarkan bahwa di balik setiap perjalanan manusia — baik di darat, laut, maupun udara — tersimpan pesan spiritual yang dalam: bahwa semua kemudahan dan kecanggihan hanyalah hasil dari penundukan Allah terhadap alam.
Ketika manusia menyadari hal ini, teknologi tidak lagi menjauhkan dari Tuhan, melainkan justru menjadi jalan untuk mengenal kebesaran-Nya. Pada akhirnya, setiap langkah dan perjalanan akan selalu bermuara pada satu tujuan: kembali kepada Allah Subhānahu wa Ta‘ālā.
sumber [LIVE] TAFSIR TARBAWI | DR. HAKIMUDDIN SALIM, M.A.:
https://www.youtube.com/watch?v=PlxmmKd8AKc&t=2231s

