Manaqib Kesederhanaan dan Kewara’an Buya A.R. Sutan Mansur

Oleh: Redaksi

Buya Hamka, dalam bukunya Falsafah Hidup yang didedikasikan untuk guru sekaligus abang iparnya, menuturkan tentang sosok Buya A.R. Sutan Mansur. Hingga tahun 1978 (saat buku itu ditulis) , kekayaan Buya Sutan Mansur hanyalah dua kitab yang dimilikinya sejak tahun 1924, ketika masih berada di Pekalongan: Al-Qur’an dan Fathur Rahman, kitab pencari ayat-ayat Al-Qur’an. Dua kitab itulah harta yang senantiasa menemaninya sepanjang hidup.

Dari kedua kitab itu lahir amal dan karya yang nilainya jauh melampaui ukuran duniawi — melahirkan para pemuka Islam, serta mendirikan ratusan sekolah, masjid, dan madrasah di berbagai tempat. Namun, dalam pandangan dunia, kekayaan dan kemewahan lahiriah belum pernah sedikit pun beliau rasakan. Sampai akhir hayatnya, Buya tetap hidup dalam kesederhanaan yang tulus.

Suatu ketika, Ir. Soekarno — sahabat sekaligus muridnya dalam perjuangan — pernah mengajaknya pindah ke Yogyakarta. Bung Karno berjanji akan mengangkatnya menjadi Guru Besar di Sekolah Tinggi Islam, sebuah penghormatan besar bagi seorang ulama dan pejuang seperti beliau. Namun, Buya Sutan Mansur menolak dengan rendah hati. Bukan karena tidak menghargai tawaran itu, melainkan karena hatinya telah lama terbebas dari godaan pangkat dan kemegahan dunia. Ia memilih tetap hidup di tengah masyarakat, membimbing umat dengan ilmu dan keteladanannya yang sederhana.

Pada tahun 1978, usianya telah mencapai sekitar 84 tahun. Raga beliau telah renta, namun jiwanya tetap tegak dan kaya dalam makna sejati. Ia hidup dalam kemewahan batin yang tak ternilai, menyaksikan murid-muridnya tumbuh menjadi orang-orang besar dan berbakti kepada agama. Namun di balik kebahagiaan itu, keluarganya sering menghadapi kenyataan getir dunia. Tak jarang, anak dan istrinya menyampaikan dengan lirih, “Beras yang akan ditanak belum ada, Ayah.”

Dalam keadaan seperti itu, tak pernah tampak kegelisahan di wajahnya. Ia menatap hidup dengan senyum sabar dan keyakinan penuh terhadap rezeki Allah.

Banyak orang mengatakan bahwa Buya Sutan Mansur “bodoh” dalam urusan dunia. Ia tidak begitu mengenal nilai uang. Setiap kali bertemu seseorang yang sedang kesusahan, dan kebetulan ada uang di tangannya, tanpa berpikir panjang ia akan memberikannya begitu saja. Padahal, sesaat kemudian sang istri datang mengabarkan bahwa kebutuhan rumah belum terpenuhi. Namun begitulah Buya — hatinya tak pernah tega melihat orang lain menderita. Ia selalu lebih mendahulukan kebutuhan saudaranya daripada dirinya sendiri.

Pernah suatu kali di Padang Panjang, beliau diberi sedekah berupa perkakas kayu lengkap untuk membangun rumah. Namun belum lama kemudian datang seorang lelaki mengadu bahwa istrinya meninggal dunia, dan ia harus membangun tempat tinggal bagi anak-anaknya yang yatim. Tanpa banyak pertimbangan, seluruh bahan kayu itu diserahkan oleh Buya Sutan Mansur kepada lelaki tersebut.

Inilah “kebodohan” yang suci — kebodohan orang-orang besar yang menolak diperbudak oleh dunia.
“Kebodohan” semacam ini pula yang dimiliki oleh Haji Agus Salim, sahabatnya sesama pejuang bangsa dan guru bagi para pemimpin republik. Keduanya sama-sama “bodoh” dalam logika dunia, tetapi amat cerdas di hadapan Allah. Mereka memahami makna sabda Nabi ﷺ:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Tidak akan berkurang harta karena sedekah.”
(HR. Muslim)

Kewara’an Buya A.R. Sutan Mansur tidak hanya tampak dalam meninggalkan yang haram, tetapi juga dalam menjauhi perkara syubhat dan menahan diri dari gemerlap kekuasaan. Ia menjaga kebersihan hatinya agar dakwahnya tidak ternoda oleh kepentingan duniawi. Ia bukan hanya mengajarkan Islam dengan kata-kata, tetapi mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari — melalui kesederhanaan, keikhlasan, dan pengorbanan tanpa pamrih.

Kini, meski jasadnya telah tiada, teladan Buya A.R. Sutan Mansur tetap hidup. Ia menjadi suluh bagi para dai dan mubalig Muhammadiyah agar senantiasa menjaga keikhlasan niat dan kewara’an langkah. Ia telah menunjukkan bahwa kekayaan sejati bukanlah banyaknya harta, melainkan lapangnya jiwa; dan kemuliaan tidak lahir dari pangkat, melainkan dari kejujuran hati.

Inspirasi dan Refererensi Kutipan Utama : Buku “Falsafah hidup” Karangan Buya Hamka

Related posts

Tafsir Tarbawi Surah Az-Zukhruf Ayat 12–14: Menemukan Tauhid dalam Perjalanan dan Teknologi

Menghidupkan Manhaj ‘Irfani: Dakwah Muhammadiyah yang Menyentuh Hati

Membaca Zaman, Meneguhkan Dakwah: Silaturahim Redaksi Suara Muhammadiyah ke Majelis Tabligh