Kriteria Pasangan Ideal dalam Islam: Meneladani Sabda Nabi tentang Keutamaan Agama

Hanna Alghumaida
(Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. (رواه البخاري)

Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya telah menceritakan kepada kami, dari ‘Ubaidullah, ia berkata: Sa‘id bin Abi Sa‘id telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Wanita dinikahi karena empat (hal): karena hartanya, nasabnya (garis keturunannya), kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah yang memiliki agama, (niscaya) engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari)

Hadis ini merupakan hadis Shahih yang diriwayatkan Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari, bab Nikah no. 5090, Muslim dalam Shahih-nya no. 2669, Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2047, An-Nasa’i dalam Sunan-nya no. 3230, Ibnu Majah dalam Sunan-nya no.1858, Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 2170.

Prioritas Agama dalam Pemilihan Pasangan

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Baari menjelaskan bahwa kata al hasab artinya kemuliaan karena keturunan dan kerabat, yang diambil dari kata hisaab (menghitung), karena orang dahulu menghitung keutamaan leluhur mereka untuk menunjukkan kemuliaan. Sebagian yang lain juga ada yang menafsirkan al-hasab sebagai akhlak atau perilaku terpuji.

Hadis ini menunjukkan bahwa wanita yang memiliki kemuliaan nasab baik untuk dinikahi, tetapi jika dibandingkan antara wanita yang memiliki nasab yang baik namun tidak begitu baik agamanya dan wanita tanpa nasab mulia tapi kuat agamanya, maka yang beragama lebih diutamakan dan lebih baik untuk dinikahi

Dalam hadis Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasa’i, yang juga dinyatakan Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim.

إن أحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ الْمَالُ

Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kemuliaan (kehormatan) ahli dunia itu terletak pada harta yang mereka miliki.” Ini juga ditegaskan dalam hadis Nabi ﷺ yang diriwayartkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, juga dinyatakan Shahih oleh Al Hakim: “Sesungguhnya hasab (kehormatan) ahli dunia adalah harta; adapun kemuliaan yang sejati adalah takwa.”

Hadis ini bisa dimaknai dua hal pertama: sebagai pengakuan terhadap pandangan masyarakat duniawi, dan yang kedua: sebagai kritik terhadap mereka yang menjadikan harta sebagai barometer kemuliaan.

Adapun dalam hadis diatas disebutkan empat kriteria memilih wanita untuk dinikahi, yaitu: agama, harta, kecantikan, dan keturunan. Dari sini disimpulkan bahwa menikahi wanita cantik itu diperbolehkan dan hal tersebut dianggap baik, namun ketika seseorang memilih wanita yang baik  dari segi agamanya maka itu jauh lebih baik.

Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah menikahi wanita karena kecantikannya atau hartanya, tetapi karena agamanya. Budak wanita hitam yang beragama lebih utama.”

Ungkapan تَرِبَتْ يَدَاكَ “Tarbati yadaak” (semoga tanganmu berdebu) bukanlah doa untuk mendatangkan keburukan, tetapi itu merupakan ungkapan dorongan agar seseorang beruntung dengan memilih wanita yang beragama.

Penerapan Makna Hadis di Era Modern

Umat Islam di era ini dapat memperlihatkan dan menerapkan makna hadis ini dalam konteks yang lebih modern.

a) Pendidikan dan pembinaan akhlak sebagai prioritas
Mendorong agar seseorang yang memilih pasangan untuk dinikahi tidak hanya dilihat dari latar belakang keluarga / status sosial, paras dan penampilannya, maupun hartanya, tetapi menggunakan kacamata pandang yang lebih jauh yaitu dari sisi komitmen keagamaannya: kehidupan ibadah, integritas moral, kejujuran, kepedulian terhadap sesama dan kesalehan.

    b) Mengurangi diskriminasi berdasarkan nasab atau kemapanan ekonomi
    Fenomena orang tua atau keluarga yang menolak calon menantu hanya karena status sosial atau harta yang dimilikinya kerap sekali terjadi di Masyarakat. Padahal, Islam menilai kemuliaan seseorang bukan dari harta atau keturunannya melinkan pada ketakwaan dan juga akhlaknya.

    c) Hukum dan regulasi pernikahan
    Pernikahan dalam konteks masyarakat modern tidak hanya merupakan ikatan spiritual dan emosional, tetapi juga ikatan hukum. Dari itu, adanya aturan dan regulasi pernikahan sangat penting untuk menjamin keadilan dalam rumah tangga, seperti ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    d) Konseling pra nikah
    Konseling pra nikah dapat menjadi salah satu upaya untuk mempersiapkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Program ini pada umumnya menitikberatkan pada pemahaman calon pasangan tentang nilai-nilai keagamaan, kesesuaian iman dan akhlak, serta kesiapan secara spiritual dan psikologis.

    Sekufu dan Matching Hypothesis

    Kata sekufu diambil dar Bahasa arab kafa’ah / الكفاءة yang berarti setara atau sepadan terutama dalam konteks pernikahan.

    Dalam fikih Islam, kafa’ah atau sekufu merujuk pada nilai kesetaraan antara calon pasangan suami dan istri dalam hal-hal krusial, seperti 1) Agama dan akhlak, 2) Status Sosial dan keturunan, 3) Pekerjaan atau profesi, 4) Kebebasan dan martabat, 5) Ekonomi. Tujuan utama sekufu bukan untuk alasan diskriminasi, justru untuk menjaga keharmonisan rumah tangga  dan menghindari konflik sosial yang dapat mengancam kehormatan keluarga.

    Matching Hypothesis dalam social psycology (psikologi sosial)yang menyatakan bahwa seorang individu cenderung memilih pasangan yang relative sama dengan dirinya sendiri, dan hal ini bisa dari segi pandangan tentang keluarga, agama, gaya hidup, kejujuran, tanggung jawab, dan tujuan hidup. Teori yang ditemukan oleh Elaine Hatfield dan Ellen Berscheid (1969) menunjukkan bahwa pasangan dengan nilai hidup yang serupa cenderung lebih stabil dan bahagia, perbedaan nilai yang besar seringkali menimbulkan konflik jangka panjang meskipun diawal hubungan tampak harmonis.

    Konsep kafa’ah dalam Islam dan Matching Hypothesis memiliki kemiripan yaitu keseimbangan antara calon pasangan suami dan istri dalam aspek agama dan akhlak, stastus sosial, ekonomi, maupun keturunan (nasab). Tujuannya bukan untuk membatasi pernikahan, namun untuk mengjaga keharmonisan, kelanggengan, dan kestabilan pasangan dalam rumah tangga. Maka baik dari Matching Hypothesis ataupun konsep kafa’ah sama-sama menekankan aspek kesepadanan sebagai faktor penting dalam menciptakan sebuah hubungan yang seimbang dan berkelanjutan. 

    Kisah Pernikahan Zaid bin Haritsah

    Pernikahan antara Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy merupakan sebuah kisah yang mencerminkan konsep kafa’ah pada zaman Nabi ﷺ. Secara sosial, keduanya tidak sekufu karena Zaid berasal dari hamba sahaya yaitu seorang budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah ﷺ yang juga kemudian diangkat sebagai anak beliau sebelum adanya larangan tabanni (mengangkat anak secara nasab). Sedangkan Zainab adalah seorang wanita Quraisy dari kalangan bangsawan dan merupakan sepupu Nabi ﷺ. Awalnya Zainab menolak Zaid yang meminangnya melalui Nabi ﷺ, maka turunlah Q.S Al-Ahzab ayat 36.

    وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

    Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

    Rasulullah ﷺ sendiri pun yang menikahkan mereka untuk menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang tidak diukur dari nasab, tetapi dari sisi ketakwaan seseorang kepada Allah. Namun meskipun Zainab mengabulkan kehendak Rasulullah ﷺ untuk dijodohkan dengan Zaid, ternyata pernikahan dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda itu membuat hubungan mereka tidak harmonis. Zainab tetap merasa bahwa dirinya lebih tinggi daripada suaminya yang membuat rumah tangga mereka tidak rukun, dan Zaid pun mengadukan masalah tersebut kepada Nabi ﷺ, hingga akhirnya Zaid yang tidak sanggup lagi menahan derita batin tersebut pun menalak istrinya.

    Related posts

    KELUARGA SEBAGAI AMANAH DARI ALLAH

    Penguatan Peran Keluarga, Bangun Generasi Berkarakter Islami

    Quranic Parenting: Saat Keluarga Dekat Berseteru di Hari Kiamat