TABLIGH.ID, YOGYAKARTA, 2025 — Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I, menegaskan bahwa Risalah Islam Berkemajuan bukan hanya gagasan intelektual, melainkan pandangan hidup dan arah perjuangan dakwah yang menjadi ciri khas Muhammadiyah dalam membangun peradaban. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Materi ke-12: Strategi Dakwah Muhammadiyah (Implementasi Risalah Islam Berkemajuan di Ranah Tabligh), dalam rangkaian kegiatan Sekolah Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, yang dihadiri oleh para kader, mubaligh, dan aktivis tabligh dari berbagai daerah via zoom meeting.
Dalam paparannya, KH. Fathurrahman memulai dengan pertanyaan reflektif, “Mengapa harus ada Risalah Islam Berkemajuan? Bukankah kemajuan juga dimiliki oleh bangsa dan kelompok lain?” Ia kemudian menjelaskan bahwa meskipun banyak peradaban berbicara tentang kemajuan, pandangan Muhammadiyah tentang kemajuan memiliki dasar yang berbeda secara mendasar dari konsep progressivism dalam peradaban Barat. “Jawabannya tentu tidak sama,” tegasnya. “Karena pandangan tentang kemajuan dalam Islam dan dalam Muhammadiyah berbeda secara mendasar dari cara pandang Barat yang sekuler.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa banyak ilmuwan—baik Muslim maupun non-Muslim—telah mengkritik kerapuhan fondasi peradaban Barat modern. Menurutnya, peradaban Barat berdiri di atas tiga pilar problematik: rasionalisme ekstrem yang memutlakkan akal, materialisme yang menuhankan harta dan kemakmuran, serta humanisme sekuler yang memisahkan manusia dari Tuhan. Tiga fondasi tersebut, kata KH. Fathurrahman, telah melahirkan tiga bentuk krisis besar: saintifisme yang memutlakan ilmu pengetahuan empiris, neo-ateisme yang menolak agama secara aktif, dan agnostisisme yang menegaskan bahwa kebenaran hakiki mustahil dicapai manusia.
Dampak dari pandangan sekuler ini, menurutnya, melahirkan tiga krisis besar dalam peradaban modern. Pertama, krisis spiritual yang membuat manusia kehilangan ketenteraman batin meskipun hidup dalam kemakmuran. Ia mencontohkan Jepang sebagai negara dengan pendapatan tinggi namun tingkat bunuh diri yang juga tinggi. “Muhammadiyah sejak Muktamar 2005 menegaskan bahwa problem utama manusia modern adalah the loss of soul—kehilangan ruh dan spiritualitas,” ujarnya.
Kedua, krisis relativisme nilai, ketika manusia tidak lagi memiliki standar moral yang tetap. “Segala sesuatu diukur berdasarkan kesepakatan sosial, bukan wahyu,” ungkapnya. Ia kemudian mengutip firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ
“Orang-orang kafir bersenang-senang dan makan seperti hewan ternak, dan tempat kembali mereka adalah neraka.” (QS. Muhammad [47]: 12)
Krisis ketiga adalah krisis makna eksistensial. Manusia modern, menurut KH. Fathurrahman, hidup dalam keramaian tetapi jiwanya sepi, kehilangan arah dan tujuan hidup. “Inilah wajah manusia modern: pandai mencipta teknologi, tetapi kehilangan makna kemanusiaan,” ujarnya dengan nada prihatin.
Berangkat dari krisis-krisis tersebut, KH. Fathurrahman menjelaskan bahwa Muhammadiyah memaknai kemajuan secara berbeda. Dalam pandangan Muhammadiyah, kemajuan bukan hanya ukuran material, tetapi kemajuan yang berlandaskan pada ruh Islam dan cahaya wahyu. “Kemajuan dalam Islam bukan sekadar pertumbuhan ekonomi atau kemajuan teknologi, melainkan tumbuhnya akal, moral, dan ruhani manusia menuju kesempurnaan peradaban,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan umat memiliki kekuatan sejati di akar rumput, bukan di kekuasaan. “Gerakan ini lahir dari bawah, bukan dari atas. Kekuatan sejatinya adalah kekuatan umat. Majelis Tabligh di pusat tidak akan berarti jika ranting dan cabang tidak bergerak. Tetapi bila dakwah di akar rumput hidup, maka eksistensi Muhammadiyah akan dirasakan masyarakat,” ucapnya.
Pandangan hidup Muhammadiyah, lanjutnya, sepenuhnya bersumber dari ajaran Islam. Seluruh konsep, program, dan strategi dakwah Muhammadiyah tidak lahir dari pemikiran luar, melainkan dari spirit Islam yang murni. Karena itu, Risalah Islam Berkemajuan berfungsi sebagai manifesto dan sekaligus keyakinan perjuangan. Sebagai manifesto dakwah, ia menjadi panduan arah perjuangan Muhammadiyah untuk mewujudkan kemajuan berdasarkan cahaya Islam (at-taqaddum ‘alā rūḥil-Islām wa nūril-Islām). Sedangkan sebagai keyakinan perjuangan, ia ibarat niat dalam shalat—harus tertanam dalam hati, disistematisasi, dan dikonsolidasikan dalam seluruh gerak dakwah.
Menutup materinya , KH. Fathurrahman Kamal menegaskan bahwa Islam itu sendiri adalah hakikat kemajuan. Rasulullah ﷺ dan para sahabat merupakan teladan paling paripurna dari kemajuan sejati—kemajuan ruhani, intelektual, sosial, dan peradaban. “Rasulullah diutus untuk membangkitkan manusia dari kegelapan jahiliah menuju ilmu, akhlak, dan tauhid. Inilah makna sejati Islam Berkemajuan,” tandasnya.
Dalam pandangan KH. Fathurrahman, istilah jahiliah yang disebut Al-Qur’an mencakup kesesatan berpikir, penolakan terhadap hukum Allah, penyimpangan sosial dan budaya, serta fanatisme rasial. Semua itu menjadi bentuk kemunduran yang harus dilawan dengan dakwah berkemajuan. “Islam datang untuk memutus mata rantai jahiliah dan membangun manusia yang tercerahkan. Itulah misi dakwah Muhammadiyah yang sejati,” pungkasnya.
Kegiatan Sekolah Tabligh ini menjadi bagian dari upaya Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan dalam mengkonsolidasikan gerakan dakwah berbasis Risalah Islam Berkemajuan di seluruh lini tabligh. Melalui forum ini, para kader diajak memahami bahwa dakwah bukan hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga menggerakkan umat menuju kemajuan peradaban yang berkeadaban dan berkeimanan.

