Peran Niat dan Ketakwaan Dalam Membentuk Rumah Tangga

Muhammad Ziya Ul Albab (Mahasiswa Ilmu Hadis UAD)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝  اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ۝  فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ 

(14)Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (15)Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar. (16)Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu! Dengarkanlah, taatlah, dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu! Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al Taghabun ayat 14-16)

Surat al Taghabun masuk dalam golongan surat Madaniyyah dan diturunkan setelah surat al Tahrim. Surat ini berjumlah 18 ayat. Nama surat “al Taghabun” ini diambil dari potongan ayat 9, yang artinya “Hari Pengungkapan Kesalahan-Kesalahan”. Surat al Taghabun menjelaskan tentang keimanan, hukum hukum, nasib orang-orang terdahulu yang mendurhakai para Rasul, serta penjelasan bahwa harta-anak-istri-keluarga bisa menjadi musuh bagi seseorang, yang mana kata ‘aduww atau musuh tersebut disebutkan sebanyak 35 kali dalam Al Quran. Jika pada surat sebelumnya yaitu al Munafiqun dijelaskan tentang sifat-sifat orang munafik, maka pada surat al Taghabun ini diterangkan tentang sifat-sifat orang kafir. Keduanya sama-sama mengingatkan kaum muslim untuk berhati-hati terhadap ujian berupa harta dan anak-anak, yang mungkin berpotensi memasukkan seseorang ke dalam neraka.

Istri dan Anak Adalah Musuh Cita-Cita

Ketika membaca ayat ini mungkin terlintas di benak kita suatu pertanyaan, “kenapa anak dan istri bisa menjadi musuh?, “musuh seperti apa yang dimaksud ayat ini?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita buka tafsir al Azhar karya Buya Hamka. Menurut Buya Hamka kata musuh pada ayat ke 14 berarti “musuh dalam cita-cita”. Buya Hamka mengutip asbabun nuzul ayat ini dari Imam Tirmidzi di dalam Sunannya. Ringkasnya, ketika itu ada beberapa penduduk Muhajirin yang ingin ikut hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke  Madinah, namun mereka dilarang oleh istri dan anak mereka. Mereka tidak mau hijrah ke Madinah karena takut kehilangan harta yang sudah mereka miliki, karena tidak mungkin dalam proses hijrah atau berpindah ke Madinah mereka membawa semua harta benda mereka.

Setelah sekian lama barulah orang-orang tersebut pindah ke Madinah, namun ternyata suasana keislaman dan keilmuan di Madinah sudah sangat berkembang pesat dan mereka tertinggal jauh (karena dilarang istri dan anak mereka untuk ikut ke Madinah sejak awal). Jika kita melihat kebelakang, percontohan dari istri dan anak sebagai musuh adalah seperti istri Nabi Luth AS. dan anak Nabi Nuh AS. Jika dilihat di era kontemporer saat ini bisa dilihat dari kasus kriminal yang terjadi di Indonesia. Misalnya korupsi, ada pelaku korupsi yang dipidana hanya karena faktor “ingin memenuhi permintaan istri dan keluarga”.

Cara Menghadapi Musuh

Yang perlu digarisbawahi adalah sekalipun istri terkadang bisa menjadi musuh untuk suami  atau anak bisa menjadi musuh untuk kedua orangtuanya, justru mereka harus disikapi dengan penuh akhlak dan adab, sebagaimana diujung ayat 14. Ada 3 tahapan yang mesti kita lakukan, pertama وَإِنْ تَعْفُوا (memaafkan), kedua (وَتَصْفَحُوا) lupakan kesalahan mereka atau jangan terlalu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan masalah baru, dan ketiga (وَتَغْفِرُوا) adalah mencontoh sifat Allah SWT yaitu mengampuni mereka dengan tetap menasehati mereka, tidak berputus asa terhadap mereka serta tidak berbuat kasar lagi jahat pada mereka. Jika yang menjadi musuh adalah istri (dalam hal ini mereka berbuat nusyuz) maka cara menyikapinya adalah dengan memberikan nasehat, pisah ranjang, atau kalau perlu memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan tapi mendidik.

Peran Niat dan Ketaqwaan

Rumah tangga akan terasa sulit dijalani bahkan berpotensi menjerumuskan seseorang ke neraka, jika tidak dibarengi dengan niat ikhlas karena Allah SWT serta keimanan dan ketaqwaan yang benar. Niat yang benar karena Allah SWT akan menjadi guide (pedoman/penuntun) seseorang untuk melakukan sesuatu. Suatu hal yang dilakukan tanpa niat karena Allah SWT maka hanya akan menghasilkan material yang seringkali hampa dalam jiwa. Sebaliknya, jika niatnya karena Allah SWT maka minimal ia sekeluarga mendapatkan beberapa bagian pahala atas niat ikhlas tersebut. Niat menikah yang ikhlas karena Allah SWT akan menjadikan sebuah rumah tangga sebagai ibadah. Tidak mungkin sesuatu yang dikatakan ibadah dilakukan dengan sesuka hati apalagi melanggar syariat-Nya. Untuk menjadikan pernikahan dan niat tersebut tetap langgeng adalah dengan bertaqwa kepada Allah SWT. Orang yang bertaqwa akan menghasilkan pribadi yang ihsan. Ihsan adalah ketika seseorang yakin bahwa ia dilihat oleh Allah SWT, sekalipun ia tidak melihat Allah SWT. Dengan perasaan dilihat oleh Allah SWT tersebut akan menjadi pengingat baginya untuk menjalankan amanah rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Mulai Dari Diri Sendiri

Semua yang sudah kita bahas sebelumnya tidak akan cukup jika hanya sekedar dibaca, perlu pemahaman yang benar diserta dengan pengamalan yang maksimal agar bisa terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa contoh pengamalan yang bisa kita mulai saat ini juga adalah:

Pertama, menjadi seseorang yang lemah lembut dalam bergaul dengan keluarga, sekaligus tegas dalam prinsip, kedisiplinan, terlebih urusan spiritual. Jangan sampai kita mengizinkan anak atau istri untuk melakukan maksiat (misal, anak berpacaran, anak malas bangun shalat subuh, istri memaksa untuk membeli barang mahal yang tidak diperlukan, anak minta kendaraan mewah demi terlihat hedon, dan lain sebagainya) dengan alasan “kasihan”. Perlu ketegasan sebagai seorang ayah dan kepala rumah tangga. 

Kedua, jika aggota keluarga kita ada yang berbuat kesalahan maka jangan disikapi dengan berlebihan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Biasakan untuk وَإِنْ تَعْفُوا (memaafkan), (وَتَصْفَحُوا) melupakan kesalahan mereka, dan (وَتَغْفِرُوا) mengampuni mereka dengan tetap menasehati dan tidak berputus asa terhadap mereka. Terkait poin kedua ini, maka dalam keluarga perlu untuk membuat ruang dan sesi bercerita yang aman dan nyaman bagi setiap anggota keluarga, harus ada waktu yang disiapkan untuk duduk dan bicara bersama dari hati ke hati, harus belajar saling mendengarkan dengan empati dan tanpa menghakimi. Dengan adanya ruang untuk berbagi cerita, duka, dan lara, akan membantu suatu keluarga untuk tetap bertahan dengan segala gelombang ujian rumah tangga.

Ketiga, belajar dan mengajarkan Islam, Tauhid, Akhlak, dan ilmu pengetahuan pada diri sendiri dan keluarga, sesuai dengan kemampuan (فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ). Paling minimal, hendaklah menanamkan pada diri sendiri dan keluarga bahwa “Allah melihat kita”. Sehingga dengan pola pikir demikian akan menghadirkan pribadi yang berakhlak, beradab, mudah bersedekah (sebagaimana pada ayat 15 bahwa harta bisa jadi ujian untuk seseorang), dan menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah karena sebab berkah dari ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk selalu ikhlas karena Allah dalam segala hal dan selalu bersungguh sungguh lagi istiqamah dalam melakukan berbagai kebaikan dan kemaslahatan.

Daftar Pustaka

Al-Marāghī, Aḥmad ibn Muṣṭafá. Tafsīr Al-Marāghī. Mesir: Sharikat Maktabat wa Maṭbaʻat Muṣṭafá al-Bābī al-Ḥalabī wa Awlāduh, 1946.

Al-Naysābūrī, Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī. Shahih Muslim. Edited by Muḥammad Fu’ād ’Abd Al-Bāqī. Kairo: Maṭba’at ’Īsā al-Bābī al-Ḥalabī wa Shurakāh, 1955.

Al-Tirmidzī, Muḥammad ibn ’Īsá. Sunan Al Tirmidzi. 1st ed. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1996.

Hamka. Tafsir Al Azhar. Depok: Gema Insani, 2015.

RI, Departemen Agama. Al Quran Dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan). Jakarta: Penerbit Lentera Abadi, 2015.

Related posts

KELUARGA SEBAGAI AMANAH DARI ALLAH

Kriteria Pasangan Ideal dalam Islam: Meneladani Sabda Nabi tentang Keutamaan Agama

Penguatan Peran Keluarga, Bangun Generasi Berkarakter Islami