TABLIGH.ID, YOGYAKARTA — Dalam Rapat Kerja Nasional 2 (Rakernas 2) Majelis Tabligh Muhammadiyah di Kusuma Agrowisata Resort & Convention Hotel 25/10, KH. Tafsir, M.Ag., menyampaikan pandangan tajam mengenai tantangan umat Islam di era sekarang. Menurutnya, persoalan utama umat saat ini bukan lagi sebatas penyakit fisik atau persoalan sosial klasik, melainkan krisis ekonomi berupa pengangguran dan kehilangan mata pencaharian.
“Banyak orang sekarang susah bukan karena sakit, tapi karena tidak punya pekerjaan. Inilah tantangan baru yang harus kita jawab,” tegas KH. Tafsir.
Beliau menyoroti bahwa Muhammadiyah telah menjadi “pasar besar” dengan perputaran uang mencapai sekitar lima triliun rupiah per tahun. Namun, ironisnya, sebagian besar manfaat ekonomi tersebut justru dinikmati oleh pihak luar persyarikatan.
“Kita punya rumah sakit, sekolah, dan universitas, tetapi alat kesehatan dan obat-obatan justru kita beli dari luar. Perputaran uang besar itu belum kembali untuk kesejahteraan umat kita sendiri,” ujarnya.
KH. Tafsir mengkritik pola berpikir di kalangan akademisi Muhammadiyah yang masih terlalu berorientasi pada angka-angka akademik semata. Ia mengajak para profesor dan dosen untuk memikirkan produksi dan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Mengapa para profesor kita hanya mengejar skor akademik, bukan produksi? Ilmu itu harus menghasilkan sesuatu yang bisa diimplementasikan untuk kesejahteraan umat,” katanya.
Begitu pula dengan para dokter dan profesional lain, menurutnya perlu memahami aspek manajerial dan produktif dari lembaga yang mereka kelola. “Kita punya modal, tapi belum terkonsolidasi. Maka, kita harus berani membangun gerakan ekonomi: jangan hanya menjadi konsumen besar, tapi jadilah produsen dan pengelola pasar,” tegasnya.
KH. Tafsir mengingatkan semangat kemandirian ekonomi yang dicontohkan sahabat Nabi ﷺ.
“Ketika hijrah, Abdurrahman bin Auf tidak meminta bantuan konsumtif, tapi berkata, ‘Tunjukkan di mana pasar.’ Itulah mental produktif yang harus kita hidupkan,” ujarnya.
KH. Tafsir menyoroti pula tata kota tradisional Jawa yang menempatkan masjid di pusat kehidupan sosial: dekat pasar, pemerintahan, dan ruang publik. Hal ini, katanya, mencerminkan keseimbangan antara ibadah, kerja, dan kehidupan sosial.
Namun, ia menyesalkan pengelolaan dana masjid di masa kini yang sering kali sempit dan tidak profesional.
“Kotak amal hanya dipandang untuk kepentingan fisik masjid. Padahal, dana itu bisa dibagi secara proporsional: untuk ibadah, pendidikan, sosial. Bandingkan dengan gereja yang punya sistem pembagian dana yang jelas,” ujar KH. Tafsir.
Beliau menekankan pentingnya tata kelola profesional agar masjid menjadi pusat kesejahteraan dan kebudayaan, bukan sekadar tempat ritual.
Dalam pandangannya, Muhammadiyah harus berani melangkah ke arah industrialisasi kelembagaan. Kampus dan rumah sakit Muhammadiyah, kata KH. Tafsir, sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk mendirikan unit bisnis, pabrik, atau industri.
“Kampus kita punya modal besar, tapi beraninya baru pada tataran akademik, belum pada produksi. Seringkali yang membedakan antara yang maju dan tidak hanyalah keberanian mengambil risiko,” jelasnya.
KH. Tafsir merumuskan tiga fokus strategis bagi gerakan Muhammadiyah ke depan, diantaranya adalah Kaderisasi dan ideologisasi yang menjadi penjaga agar nilai dan visi perjuangan tetap hidup di setiap level kader. Selanjutnya Industrialisasi yang mampu membangun basis produksi ekonomi mandiri di lingkungan persyarikatan, dan yang terakhir adalah Asistensi sosial yang mampu memperkuat sistem perlindungan dan saling bantu bagi warga dan masyarakat sekitar.
“Seratus tahun lalu, Muhammadiyah membantu orang lapar dan sakit. Sekarang, yang lapar bukan karena tidak ada makanan, tapi karena tidak ada pekerjaan. Maka, prioritas kita harus bergeser ke penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan ekonomi,” ujarnya.
KH. Tafsir juga menekankan perlunya sinergi antara fungsi akademik dan fungsi organisasi. Rektor bekerja dengan ukuran kinerja dan anggaran, sementara pimpinan organisasi mengelola gerakan yang lebih luas. Keduanya harus saling memahami agar tidak terjadi benturan peran.
Ia menyinggung pula pentingnya pendamping bagi pemimpin, karena “siapa yang mendampingi pemimpin akan menentukan arah kebijakan.” Maka, membina kader yang mampu menjadi pendamping pemimpin di daerah maupun nasional menjadi keharusan.
Menutup paparannya, KH. Tafsir menegaskan kembali posisi strategis Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang harus adaptif terhadap zaman.
“Kita harus hadir sebagai penolong umat secara kontekstual — menjawab tantangan zaman: lapangan kerja, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan sistem sosial. Muhammadiyah bukan hanya organisasi amal, tapi penggerak perubahan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan,” tandasnya. (Indra)

