web stats
Home » MUSYAWARAH DAN KESETARAAN DALAM RUMAH TANGGA

MUSYAWARAH DAN KESETARAAN DALAM RUMAH TANGGA

by Redaksi
0 comment


Hanna Alghumaida (Mahasiswa Ilmu Hadist Universitas Ahmad Dahlan)

وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah ayat 233)[1]

Prinsip Musyawarah dan Kesetaraan dalam Keluarga

Secara keseluruhan, surat Al Baqarah merupakan surah Madaniyyah, dan secara khusus ayat 233 membahas persoalan hukum penyusuan (rada’ah), nafkah anak dan ibu, dan juga hak- hak orang tua setelah perceraian, dimana hal-hal tersebut termasuk kedalam pembahasan  hukum sosial dan keluarga yang merupakan salah satu ciri khas ayat-ayat Madaniyyah.

Ayat ini secara garis besar membahas tentang tentang penyusuan (rada’ah), dan juga kewajiban masing-masing orang tua kepada anaknya, tetapi bukan hanya itu, ayat ini juga membahas adanya dan perlunya musyawarah, keadilan, dan kesetaraan dalam sebuah rumah tangga.

Dalam Tafsir At-Tanwir dan Tafsir Al-Azhar, QS. Al-Baqarah ayat 233 menekankan perlu adanya keseimbangan antara peran suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, dan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut, seharusnya musyawarah dan kerelaan hati menjadi salah satu hal utama dalam berumah tangga, tidak hanya dalam bagian persoalan penyusuan anak namun juga sebagai panduan etika dalam keluarga Islam yang selalu mengusahakan keadilan, kesetaraan, kesalingan dan tanggung jawab bersama.

Tafsir At-Tanwir menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa ketentuan menyusui anak selama dua tahun bagi yang ingin menyempurnakannya merupakan bentuk tanggung jawab seorang ibu dalam mengasuh dan merawat anaknya. Namun disaat yang bersamaan, Al-Quran juga menyebutkan kewajiban seorang ayah adalah memenuhi kebutuhan sang istri yang sedang menyusui anak mereka bil ma’ruf atau secara layak. Dengan begitu terciptalah sebuah kesetaraan moral dan sosial diantara mereka, yaitu sang ibu bertanggung jawab dalam mengasuh anak, dan sang ayah memenuhi seluruh kebutuhan hidup mereka.[2]

فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا

Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya

Dijelaskan dalam kedua tafsir tersebut bahwa bagian ayat diatas mengajarkan tentang konsep musyawarah suami dan istri dalam hubungan rumah tangga. Keputusan yang lahir dan bersangkutan dengan anak seperti penyapihan sebelum anak tersebut berumur dua tahun adalah suatu hal yang tidak bisa dilakukan secara sepihak walaupun mungkin hal tersebut tampak seperti urusan yang kecil dan mudah, namun ternyata tetap harus ada komunikasi, saling mendengarkan, dan kesepakatan yang hadir dari kerelaan dua belah pihak. Prinsip ini menunjukkan bahwa Al-Quran menempatkan suami dan istri dalam posisi yang setara, tidak ada yang mendominasi atau keterpaksaan diantara mereka, melainkan dilandasi rasa cinta, saling percaya, dan saling menghargai keputusan yang lahir dari keduanya, dengan demikian ayat ini bukan hanya tentang teknis penyusuan, namun adanya nilai-nilai kesetaraan dalam berumah tangga sehingga menciptakan rumah dan keluarga yang harmonis, tentram dan berjalan atas dasar cinta, kasih sayang, tanggung jawab.

Selain itu, At-Tanwir melihat kalimat

لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِ

Tidak boleh seorang ibu menderita karena anaknya dan tidak pula seorang ayah karena anaknya

sebagai sebuah penegasan prinsip keadilan dalam rumah tangga. Seorang ibu tidak boleh diperlakukan secara semena-mena, dan ayah puntidak boleh dirugikan. Kedua belah pihak memiliki hak dan kewajibannya sesuai kapasitas yang disanggupinya.[3]

Hamka pun menyoroti keseimbangan peran antara suami dan istri di struktur ayat 233. Seperti, seorang ibu yang memiliki tanggung jawab menuyusui anak selama dua tahun sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian terhadap anak tersebut. Ayah yang berkewajiban untuk memenuhi nafkah yang layak bagi keluarganya sesuai kapasitas dan kemampuannya. Dan keduanya tidak boleh saling menzalimi “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya”[4]

Kesetaraan dalam Keluarga Islami di Era Modern

Nilai-nilai yang ada dalam QS. Al-Baqarah ayat 233, terlebih pada bagian musyawarah dan kesetaraan bersama, memiliki arti yang sangat relevan dengan kehidupan keluarga di era modern. Teori Gender Role Equilibrium adalah sebuah teori yang menyoroti pentingnya keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalan kehidupan sosial, keluarga, dan masyarakat. Teori ini juga berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan bukanlah dua pihak yang saling bertentangan, namun justru saling melengkapi dalam berbagai aspek kehidupan.[5] Tujuan dari teori ini untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) antara peran tradisional (misalnya, laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengasuh) dengan peran yang terkesan lebih setara dan kolaboratif di era modern karena pembagian peran tradisional tidak bersifat tetap namun kembali lagi menyesuaikan dengan konteks sosial dan kemampuan individu yang ada.

Maka nilai-nilai yang diajarkan ayat 233 ini kini banyak dikontekstualikan sehingga lebih mudah untuk diterapkan dalam keluarga modern yang nenerapkan peran kolaboratif dimana suami dan istri saling membantu dalan pekerjaan rumah, pengasuhan anak, serta dukungan karier satu sama lain. Dalam konteks modern akhirnya kesetaraan itu bukan berarti identik, tetapi saling melengkapi berdasarkan kemampuan, cinta, dan kasih sayang.

Keterlibatan Anak dalam Musyawarah Keluarga

Dalam kehidupan berkeluarga, sebenarnya konsep musyawarah ini tidak hanya proses komunikasi dua arah antara suami dan istri, tetapi melibatkan semua anggota keluarga termasuk sang anak. Namun kenyataannya, kita sering kali mengabaikan atau melupakan posisi sang anak. Padahal dalam keluarga modern yang menekankan keseimbangan, kesetaraan, dan komunikasi yang sehat, anak juga merupakan peran penting yang perlu dilibatkan dan perlu didengarkan, tertutama dalam Keputusan yang bersangkutan langsung dengan hidup dan masa depen mereka.

Sebuah penelitian dalam jurnal menunjukkan bahwa pola komunikasi dalam keluarga sangat mempengaruhi kemandirian dan keterlibatan anak dalam mengambil keputusan[6]. Penelitian tersebut mengatakan bahwa sebagian besar keluarga di Indonesia masih menempatkan orang tua sebagai pusat kekuasaan dalam keluarga, sehingga keputusan yang muncul sering bersifat satu arah atau dominan, sementara suara anak kurang didengar atau dihargai. Hal seperti ini menciptakan tekanan pada psikologi sang anak dan mengakibatkan Keputusan yang tidak sesuai dengan minat anak, sehingga muncullah ketidaknyamanan dan hilangnya motivasi, bahkan terkadang kasus-kasus tertentu, anak sampai kehilangan arah dan tujuan hidup.

Walau demikian, penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa komunikasi keluarga tidak selalu seperti itu, banyak keluarga yang menerapkan pola demokratis dalam komukasinya, seperti mengajak anak berdikusi, memberi ruang anak untuk menyampaikan pendapat, menyepakati keputusan melalui dialog. Dalam pola komunikasi yang bentuknya seperti ini, musyawarah menjadi wadah untuk pendidikan karakter sang anak, mereka diajarkan untuk bertanggung jawab dengan pilihannya, berpikir kritis, serta memahami konsekuensi dari sebuah keputusan yang mereka ambil. Dan pola komunikasi seperti ini lebih efektif untuk sebuah keluarga modern karena keputusan-keputusan yang ada dihargai sebagai hasil dari pertimbangan, dan kerelaan hati bersama.

Meskipun begitu, musyawarah dengan anak tetap memiliki batasan. Tidak semua hal bisa dimusyawarahkan dengan anak, seperti keputusan yang menyangkut ranah suami dan istri, kebijakan keluarga yang sudah menjadi prinsip atau nilai dasar agama, moral, maupun sosial.

Pada akhirnya, musyawarah dalam keluarga bukan hanya hak orang dewasa, tetapi juga sarana pendidikan komunikasi, nilai, dan tanggung jawab bagi anak. Keterlibatan mereka dalam sebuah musyarwarah membuat mereka merasa lebih dihargai, meningkatkan kepercayaan diri sang anak, menumbuhkan hubungan emosional antara anak dan orang tua, serta membangun keluarga yang demokratis.






[1] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir At-Tanwir, Jilid 2 (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2022), hlm. 267

[2] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir At-Tanwir, Jilid 2 (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2022), hlm. 276-277

[3] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir At-Tanwir, Jilid 2 (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2022), hlm. 274-275

[4] Prof. DR, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 (Jakarta, Gema Insani, 2017), hlm. 458-459

[5] Nopiarabiyani Jumsyah, “Aplikasi Prinsip Gender Equilibrium di Kalangan Pasangan Suami Istri pada Tokoh Masyarakat Desa Semuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser,” eJournal Sosiatri-Sosiologi, Vol. 6, No. 2 (2018), hlm. 17–18.

[6] Tuhfah Zakira, Joyo Nur Suryanto Gono, dan S. Rouli Manalu, Proses Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keputusan Program Studi di Perguruan Tinggi, FISIP Universitas Diponegoro (Semarang, Jurnal Studi Komunikasi, 2024)

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00