TABLIGH.ID, TANGGULANGIN, SIDOARJO — Pengajian Fajar Timur Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanggulangin yang digelar dalam rangka Milad Muhammadiyah ke-113 pada 23November 2025 berlangsung khidmat dan penuh kekhidmatan spiritual. Sekitar dua ribu jamaah memadati lokasi untuk mengikuti tausiyah Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, KH. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I., yang menyampaikan pesan mendalam mengenai jati diri Muhammadiyah sebagai gerakan milik Allah dan bahwa para pemimpinnya sesungguhnya adalah “mandataris langit” yang menunaikan amanat Ilahi di bumi.
Dalam mukadimahnya, KH. Fathurrahman Kamal menyampaikan salam penghormatan kepada para tokoh Muhammadiyah, pejabat pemerintah daerah, unsur TNI–Polri, serta para jamaah yang hadir. Beliau menyoroti kehadiran Wakil Bupati Sidoarjo, Minik Hidayana, beserta para pejabat kecamatan dan lurah setempat yang tampil apa adanya dan merakyat. Menurutnya, karakter kepemimpinan seperti itu adalah modal sosial penting dan merupakan cerminan dari pemimpin yang menjalankan amanah rakyat dengan hati yang jernih.
Di hadapan jamaah, KH. Fathurrahman menegaskan bahwa kebersamaan Muhammadiyah dengan negara bukanlah kebersamaan politik, melainkan kebersamaan dalam nilai, akhlak, dan pengabdian. Ia mencontohkan hubungan harmonis Muhammadiyah dengan berbagai unsur pejabat negara selama ini, yang menurutnya mengalir karena adanya energi kesalehan sosial yang dibangun Muhammadiyah sejak berdirinya. Muhammadiyah, lanjutnya, bukan berdiri dari ambisi personal, tetapi dari mandat Ilahi yang dibawa para pendirinya untuk memikul tugas mencerahkan umat.
Pada bagian inti tausiyah, KH. Fathurrahman menguraikan Surah Ibrahim ayat 5 yang menjadi dasar refleksi peringatan Milad Muhammadiyah. Menurutnya, ayat tersebut menggambarkan dua misi besar Nabi Musa: membebaskan umat dari kegelapan menuju cahaya, dan mengingatkan manusia akan hari-hari Allah—peristiwa-peristiwa agung yang mengandung tanda-tanda kebesaran-Nya. “Inilah hakikat gerakan Muhammadiyah,” tegasnya, “gerakan yang diamanahkan Allah untuk menerangi, bukan sekadar membangun bangunan, tetapi membangun peradaban.”
Ia menjelaskan bahwa para pemimpin Muhammadiyah sejak awal bukanlah figur-figur yang mengejar jabatan duniawi. Mereka adalah orang-orang yang hadir karena panggilan tugas, bukan panggilan posisi. “Pemimpin Muhammadiyah itu mandataris langit,” ujarnya, “yang membawa amanah Allah untuk dibumikan dalam kerja nyata, bukan gelar. Mereka datang bukan untuk memerintah, tetapi untuk melayani.” Pernyataan ini disambut takbir dan tepuk tangan jamaah yang terharu dengan penekanan spiritual tersebut.
KH. Fathurrahman mencontohkan keteladanan para tokoh bangsa yang berinteraksi dengan Muhammadiyah, mulai dari Soekarno yang belajar agama di rumah HOS Tjokroaminoto, Fatmawati yang menjahit bendera pusaka sambil melantunkan lagu-lagu Aisyiyah, hingga B.J. Habibie yang menghabiskan hari-hari tuanya dengan membaca Al-Qur’an serta membawa tasbih, simbol kesadaran spiritual yang tidak pernah tercerabut dari dirinya. Baginya, figur-figur itu adalah bukti bahwa nilai-nilai Islam yang murni selalu menjadi sumber kekuatan bangsa.
Dengan gaya bertuturnya yang khas—mengalir, humoris, namun sarat makna—KH. Fathurrahman juga menyinggung perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang penuh nikmat Allah. Ia menyebut bagaimana para pemimpin negara selalu menjadikan ulama dan tokoh umat sebagai rujukan moral ketika bangsa menghadapi kegentingan. Dari era Sukarno hingga era sekarang, negara tetap menjadikan suara moral para ulama sebagai cahaya penuntun. “Ini ayyamullah,” katanya, “hari-hari Allah ketika kita menyaksikan bagaimana bangsa ini dijaga bukan oleh kekuatan politik, melainkan oleh kekuatan iman.”
Dalam konteks itulah, Muhammadiyah disebutnya sebagai aset kepemilikan Ilahi yang kehadirannya selalu membawa kemaslahatan. “Muhammadiyah bukan milik manusia, bukan milik satu tokoh atau satu generasi. Muhammadiyah itu milik Allah,” tegasnya. “Siapa pun yang memimpin Muhammadiyah, dia bukan sekadar ketua atau pejabat organisasi, tetapi mandataris dari langit yang memikul tugas kenabian: membawa umat dari kegelapan menuju cahaya.”
Pengajian kemudian diakhiri dengan doa bersama agar Muhammadiyah tetap kokoh sebagai gerakan pencerahan dan para pemimpinnya senantiasa istiqamah memegang amanah yang berasal dari Allah.
