Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. MA.
قال الله تعالى: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚوَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (الكهف: ٨٢)
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah mereka adalah seorang yang shalih, maka Rabb-mu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Tidaklah aku (Khidhir) melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah _ias_g_ perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Q.S. Al-Kahfi: 82)
Ayat di atas terkait dengan kisah perjalanan ilmu Nabi Musa dan Nabi Khidhir. Dimana ada tiga kejadian yang membuat Nabi Musa keheranan atas apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir. Pertama, saat Nabi Khidhir melubangi perahu tanpa sebab yang jelas. Kedua, saat ia membunuh seorang pemuda tanpa _ias_g_ yang kuat. Ketiga, saat ia membangun kembali sebuah rumah yang hendak roboh.
Fokus kita kali ini adalah pada kisah yang ketiga. Kisah yang ketiga ini diceritakan dalam Alquran Surah Al-Kahfi ayat 77, dimana saat itu keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua berharap dijamu oleh penduduknya, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka berdua.
Kemudian keduanya mendapatkan dinding suatu rumah yang _ias_g roboh, lalu Nabi Khidhir menegakkan atau membangunnya kembali. Nabi Musa pun berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu.” Nabi Khidhir tidak berkenan dengan usulan Nabi Musa itu.
Singkat cerita, akhirnya Nabi Khidhir pun menjelaskan satu persatu _ias_g_ mengapa ia melakukan tiga hal aneh tersebut. Termasuk mengapa ia susah-payah membangun kembali rumah yang mau roboh, dengan tidak meminta imbalan sama sekali, di saat mereka berdua butuh makanan atau harta untuk membeli makanan, sebagaimana tersurat dalam ayat di atas.
Dari kisah tersebut, ada beberapa pelajaran atau ibroh tarbawiyah yang _ias kita ambil, di antaranya adalah:
Pertama, bahwa keshalihan kita sebagai orang tua akan berefek positif kepada anak-anak kita. Bukan hanya berupa keshalihan yang terwariskan karena qudwah (keteladanan) dan tarbiyah (pendidikan) yang kita berikan kepada mereka, tetapi juga berupa penjagaan dari Allah kepada anak-anak kita tersebut. Sebagaimana penafsiran As-Sa’di terkait ayat di atas, bahwa kedua anak tersebut dijaga karena keshalihan kedua orang tuanya.
Kedua, penjagaan yang Allah berikan bukan hanya terbatas kepada anak-anak kita saja, tetapi juga kepada cucu-cucu atau keturunan yang jaraknya jauh dari kita. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menjaga diri orang yang shalih dan anak keturunannya, meskipun jauh darinya (beberapa generasi setelahnya). Diriwayatkan bahwa dalam ayat tersebut Allah menjaga keshalihan pada generasi ketujuh dari keturunannya.” (Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an: 39/11).
Ketiga, kebaikan dan penjagaan yang Allah berikan kepada anak keturunan orang shalih itu _ias jadi karena: balasan dan keberkahan amal yang dilakukan oleh orang tua shalih tersebut, atau karena doa Ishlah Dzuriyyah (perbaikan keturunan) yang dilantunkan orang tua shalih tersebut, atau sebagai kesempurnaan nikmat yang Allah ganjarkan kepadanya, karena yang namanya orang tua pasti menginginkan kebaikan untuk anak-cucunya.
Keempat, hal ini tentu menjadi targhib (motivasi) bagi kita sebagai orang tua untuk lebih giat dalam beramal shalih. Betapa ternyata amalan kita bukan hanya untuk kepentingan kita sendiri, tetapi juga demi kebaikan anak-cucu kita di masa yang akan _ias_g, baik dunia ataupun akhirat. Diriwayatkan bahwa saat Ibnu Mas’ud menunaikan salat malam, lalu ia memandang anaknya yang sedang tidur, ia pun berkata, “Ini demi dirimu, wahai anakku”. Lalu ia pun membaca ayat tersebut di atas.
Kelima, kita _ias menjadikan amal shalih kita sebagai tawasul yang syar’I, agar dengannya Allah berkenan menjaga anak keturunan kita. Sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu ‘Ajibah dalam Al-Bahrul Madid, bahwa suatu malam Sa’id bin al-Musayyab melebihkan raka’at salat malamnya, lalu ia berkata kepada anaknya, “Sesungguhnya tadi aku telah menambah salatku, berharap agar Allah senantiasa menjagamu.” Kemudian Sa’id membaca Surat Al-Kahfi ayat 82 tersebut dengan bercururan air mata. <>