web stats
Home » Ibn Taimiyyah dan Revolusi al-Rujū‘ ilā al-Qur’ān

Ibn Taimiyyah dan Revolusi al-Rujū‘ ilā al-Qur’ān

by Redaksi
0 comment

Hamdan Maghribi

Anggota Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah
Dosen Pascasarjana UIN Surakarta

Di tengah pusaran pemikiran filsafat Yunani, logika skolastik, dan pelbagai spekulasi teologis yang menyelimuti dunia Islam pasca abad ke-3 Hijriyah, Ibn Taimiyyah muncul bukan aktor ‘replikasi epistemik’ masa silam, melainkan pembongkar tradisi yang telah kehilangan akarnya, keterputusan epistemik (qaṭi‘ah al-ma‘rifah). Ia menggugat warisan intelektual umat yang menurutnya telah ‘menyimpang’ dari sumber primer, al-Qur’ān dan al-Sunnah.

Gagasan pokok Ibn Taimiyyah dapat dirangkum dalam satu prinsip besar, al-rujū ilā al-Qur’ān wa al-Sunnah. Ini bukan sekadar slogan apologetik-romantisme-nostalgia, melainkan proyek radikal untuk merekonstruksi kembali bangunan Islam dalam segala aspek; teologi, fiqh, politik, bahkan epistemologi.

Krisis Umat: Konteks Lahirnya Kritik

Ibn Taimiyyah hidup di abad ke-7-8 Hijriyah (13-14 Masehi), era dinasti Mamluk, ketika dunia Islam dilanda keterpurukan politik dan perpecahan intelektual. Kalām, filsafat, dan sufi ekstrem telah menjarah otoritas al-Qur’an; Islam dibungkus debat akal dan ‘drama’ perasaan (żauq) tanpa batas. Tafsir menjadi ajang pertarungan simbolik antara ahl al-ra’yi dan ahl al-isyārah.

Dalam situasi inilah Ibn Taimiyyah berdiri, bukan sebagai anti-intelektual, tetapi sebagai reformis epistemik. Ia melihat bahwa satu-satunya jalan menyelamatkan umat adalah kembali kepada otoritas naṣṣ; bukan dengan meninggalkan akal, tetapi dengan menundukkannya pada teks wahyu. Al-rujū ilā al-Qur’ān bukan sekadar seruan spiritual; ia adalah revolusi ilmiah dan politik.

Dalam karya besarnya Dar Taāru al-Aql wa al-Naql, Ibn Taimiyyah menentang keras dominasi akal dalam teologi kalām. Bagi dia, pertentangan antara akal dan wahyu adalah ilusi yang lahir dari kesalahan mendasar dalam epistemologi kalām; menganggap akal sebagai ākim atas naṣṣ.

Padahal, kata Ibn Taimiyyah, akal itu fungsional, bukan final. Ia pembuka pintu, bukan penentu kebenaran mutlak. Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan wahyu yang ṣaḥī. Maka ia menegaskan: “Apabila terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka pasti yang ‘keliru’ adalah pemahaman akal terhadap wahyu.”

Ibn Taimiyyah menolak tafsir yang berbasis intuisi batin (seperti dalam tafsir isyārī), logika spekulatif (dalam filsafat), maupun metode alegoris yang tidak memiliki dasar dari salaf al-ṣāliḥ. Dalam Muqaddimah fī Uṣūl al-Tafsīr, ia menyusun metode tafsir Qur’ānī yang kembali ke; Tafsir al-Qur’ān dengan al-Qur’ān, Tafsir al-Qur’ān dengan Sunnah, dan Tafsir berdasarkan pemahaman sahabat.

Baginya, tafsir bukan ruang bebas tak berbatas untuk menumpahkan kreasi dan imajinasi, tapi wilayah yang tunduk pada metodologi wahyu. Ini adalah bentuk nyata dari al-rujūʿ ilā al-Qur’ān dalam disiplin ilmu.

Siyāsah Syar‘iyyah dan Kritik Negara Otoriter

Dalam al-Siyāsah al-Syariyyah, Ibn Taimiyyah menyerang model kekuasaan absolut. Ia menolak negara yang berdiri atas dasar kehendak penguasa, adat lokal, atau prinsip Machiavellian. Negara, kata Ibn Taimiyyah, hanya sah jika berdiri di atas syariat wahyu, bukan karena “kemauan penguasa” atau “rasionalitas kemaslahatan” semata.

Ia dengan berani menyatakan bahwa keadilan hanya bisa ditegakkan bila kekuasaan tunduk pada Qur’ān dan Sunnah. Dalam hal ini, al-rujū ilā al-Qur’ān adalah prinsip perlawanan terhadap tirani dan penyimpangan politik.

Dalam al-Jawāb al-Ṣaī li-man Baddala Dīn al-Masī, Ibn Taimiyyah tidak membalas kritik Kristen terhadap Islam dengan filsafat Aristoteles atau apologetik rasional murni. Ia kembali ke naṣṣ, membongkar kelemahan doktrin Kristen dari sisi Qur’anik; logika tauhid, kerasulan, dan wahyu.

Ini menegaskan bahwa bahkan dalam polemik teologis lintas agama, Ibn Taimiyyah konsisten menjadikan al-Qur’ān sebagai poros utama argumen. Ia tidak menggunakan pendekatan kompromistis atau sinkretik.

Buku al-Radd alā al-Maniqiyyīn adalah deklarasi perang terhadap dominasi logika Yunani. Menurut Ibn Taimiyyah, logika formal (maniq) telah membelenggu kreatifitas akal Muslim dan menjauhkan dari manhaj kenabian.

Ia menawarkan pendekatan baru, realitas harus dikenali melalui fiṭrah dan naṣṣ, bukan silogisme atau deduksi Aristotelian. Maka al-rujū ilā al-Qur’ān juga merupakan sikap epistemologis, yaitu menolak pendekatan asing yang menggantikan metode kenabian.

Kesimpulan

Bagi Ibn Taimiyyah, al-rujū‘ ilā al-Qur’ān bukan ajakan apologetik-romantik kepada masa lalu. Ia adalah proyek intelektual dan sosial-politik yang menuntut rekonstruksi total; dari cara berpikir, menafsir, bernegara, hingga membela Islam dalam kancah global. Prinsip ini hidup bukan dalam slogan, tapi dalam kritik tajam, metodologi konkret, dan keberanian menggugat arus dominan.

Dan warisan ini masih hidup hari ini. Di tengah dunia yang tenggelam dalam relativisme, hiper-rasionalitas, dan spiritualisme kosong, seruan Ibn Taimiyyah untuk kembali kepada al-Qur’ān tetap menyala, bukan sebagai dogma, tapi sebagai metode berpikir dan bertindak nyata.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00