Muhammad Ziya Ul Albab
(Mahasiswa Ilmu Hadist Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. Al Tahrim, ayat 6)
Surat al Tahrim masuk dalam golongan surat Madaniyah. Surat ini terdiri dari 12 ayat dan diturunkan setelah surat al Hujurat. Ia dinamai surat al Tahrim karena diambil dari ayat pertamanya tuharrimuuna yang berakar pada kata tahrim yang berarti pengharaman. Hubungan antara surat sebelumnya yaitu al Thalaq dengan surat al Tahrim ini secara garis besar menceritakan tentang hubungan keluarga Rasulullah SAW dengan para istrinya. Namun pada surat al Thalaq fokus membahas tentang bagaimana cara bergaul dan bertindak terhadap istri, sedangkan pada surat al Tahrim fokus membahas tentang beberapa hal yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dan para istrinya serta cara Nabi menyikapinya agar bisa menjadi pelajaran umatnya kelak.[1]
Amanah Besar Dari Allah
Menurut Imam ath Thabari pada awal ayat ke 6 tersebut Allah memberikan kita amanah untuk menjaga diri dan keluarga. Amanah yang diberikan disini tidak hanya sekedar memberikan harta dan fasilitas dunia semata, melaikan amanah untuk mendidik dan mengajar. Pendidikan dan pengajaran yang dimaksudkan disini adalah mengenai segala bentuk keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang nantinya akan menjadi sebab seseorang itu terlindungi dari api neraka.[2] (ath thabari). Dalam salah satu riwayat atsar disampaikan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib menjelaskan arti ayat tersebut adalah ‘allimuuhum wa addibuuhum yang atinya mengajar dan mendidik.
Kata quu anfusakum terdiri dari dua suku kata, yaitu quu yang berarti kata perintah untuk objek plural dan anfusakum yang berarti oleh diri kalian. Dalam konteks ayat ini berarti Allah SWT memerintahkan untuk menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka. Cara menjaganya adalah dengan memerintakan anggota keluarga kita untuk melakukan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan serta mencegah mereka dari melakukan apa yang Allah dan Rasul-Nya larang. Tujuan akhirnya adalah agar kita sekeluarga tidak masuk ke dalam nerakanya Allah SWT.[3] Ketahuilah bahwa neraka Allah SWT itu sangat menyeramkan sebagaimana tergambar pada ayat tersebut. Malaikat yang menjaga neraka disifatkan dengan kata ghilazh dan syidad yang berarti kasar, bengis, keras hati, sangat tegas, dan mereka tidak segan-segan menyiksa siapapun yang sudah Allah SWT perintahkan untuk disiksa sekalipun orang itu adalah seorang yang luar biasa hebat semasa di dunia. Malaikat itu adalah malaikat Zabaniyah yang mampu mendorong 70.000 orang sekaligus untuk masuk ke neraka dalam sekali dorongan.[4]
Dimulai Dari Diri Sendiri
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka kita wajib untuk mengingatkan diri kita sendiri dan orang lain untuk mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Namun itu semua tidak akan bisa dilakukan kecuali dimulai dari sendiri. Bahkan jauh sebelum akad nikah dibacakan, hendaknya seorang suami atau istri sudah benar-benar mempersiapkan keimanan dan ketaqwaanya. Tentunya bukan menunggu hingga sempurna, karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT. Namun setidaknya kita sudah mengetahui dan memahami dasar-dasar agama, sehingga kita bisa tau apa yang harus diperintahkan dan apa yang harus dilarang. Dengan demikian penting rasanya untuk kita belajar ilmu pranikah, ilmu parenting ala Islam, ilmu fiqh dan syariah, dan keilmuan yang diperlukan lainnya minimal pada level dasar, sebelum memulai ibadah yang terpanjang yaitu menikah dan berkeluarga.
Upaya Menunaikan Amanah
Sebagian orang mungkin kebingungan mengenai hal apa yang mesti ia lakukan setelah mengetahui bahwa ternyata keluarga itu juga amanah yang berat tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT. Ada beberapa pilar pendidikan yang bisa kita berikan dalam rangka upaya menunaikan amanah keluarga ini, yaitu:
(1) Tarbiyah Ruhiyah, maksudnya adalah kita mesti memberikan pendidikan mengenai syariat Islam minimal pada tingkat dasar. Seyogyanya kita selaku orang tua yang berperan aktif dalam memberikan pendidikan agama. Hal itu menjadi penting karena Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan dalam Hadis beliau bahwa anak yang soleh itu bisa menjadi investasi pahala untuk kita di akhirat. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ : إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ[5]
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: kecuali dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”
Jika yang mengajarkan keislaman saja sudah orang lain, maka orang tua akan kehilangan banyak potensi pahala. Orang tua tidak boleh membiarkan anaknya tidak shalat, tidak membaca Al Quran, tidak boleh hanya fokus memberikan ilmu-ilmu umum namun abai pada ilmu agama atau syariat, tidak boleh membiarkan anaknya tidak shalat subuh karena kasihan jika dibangunkan, tidak boleh membiarkan aurat anak terbuka, tidak boleh membiarkan anak berpacaran apalagi menyuruhnya, dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya yang pada zaman sekarang ini cenderung dinormalisasi. Anak dan keluarga harus dididik spiritualnya agar mereka menjadi hamba yang mengenal dan takut kepada Allah SWT, karena iman dan taqwa yang benar kepada Allah SWT akan melahirkan pribadi muslim yang optimal dalam hubungannya kepada Allah (Hablun Minallah) dan optimal dalam hubungan, empati, dan jiwa sosial kemasyarakatannya pada orang lain (Hablun Minannas).
(2) Tarbiyah Jasadiah, maksudnya adalah amanah untuk menjaga kesehatan fisik sekaligus mental diri sendiri dan keluarga. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم “المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف……[6]
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah.”
Konsekuensinya adalah penting di dalam suatu keluarga untuk mengadakan jadwal olahraga individu ataupun bersama. Penting untuk memilah dan memilih makanan dan minuman yang halal lagi baik untuk keluarga. Penting untuk mendidik perihal pola hidup, pola makan, dan pola tidur yang sehat. Penting untuk belajar mendengar anak dan keluarga, mempelajari ilmu parenting dan psikologi dalam mendidik dan berkeluarga, serta mempelajari ilmu lainnya yang relevan untuk menjaga kesehatan mental anggota keluarga. Hal ini sering disepelekan padahal ia amat penting. Karena fisik yang prima dan mental yang sehat akan menghasilkan pribadi yang hidupnya lebih berkualitas.
(3)Tarbiyah ‘Aqliyah, maksudnya adalah kita mesti menjaga amanah akal dan intelektual yang telah Allah berikan pada diri dan keluarga kita. Maka dari itu penting untuk diri kita sendiri terus belajar dan menuntut ilmu agar ketika anak atau kelurga bertanya, kita bisa menjadi pilihan pertama mereka untuk mencari jawaban. Penting untuk memberikan edukasi terkait soft skill, hard skill, bahkan jika mampu memberikan edukasi perihal teknologi, informasi dan komunikasi serta penggunaan AIpada keluarga terutama anak, karena kelak sang anak akan menghadapi berbagai disrupsi dan globalisasi zaman yang menuntutnya untuk tangguh dan adaptif.
Dengan demikian, marilah kita sebagai hamba Allah SWT yang telah diberi amanah berupa keluarga, untuk selalu belajar dan berusaha bertanggung jawab atas amanah tersebut. Keluarga yang sukses itu adalah mereka yang mewariskan keimanan, adab, dan ketaatan. Keluarga yang sukses itu tidak hanya bersama di dunia, tapi juga semoga bersama hingga di surga.
Daftar Pustaka
[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010), hlm. 204
[2] Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Muhammad Shakir, jil. 23, (Mekah: Dar al-Tarbiyah wa al-Turath), hlm. 491
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10 (Jakarta: Departemen Agama RI, 2010), hlm. 206
[4] Al-Ḥusayn ibn Mas’ūd al-Baghawi, Ma’ālim al-Tanzīl fī Tafsīr al-Qur’ān (Tafsīr al-Baghawī), ed. Muḥammad ‘Abdullāh al-Nimr, ‘Uthmān Jum’ah Ḍamiriyyah, dan Sulaymān Muslim al-Ḥarash, cet. 4, jil. 6, (Riyadh/Mekah: Dār Ṭayyibah li al-Nashr wa al-Tawzī’, 1997), hlm. 169-170
[5] Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, ed. Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, jil. 3 (Kairo: Maṭba’at ‘Īsā al-Bābī al-Ḥalabī wa Shurakāh, 1955), hlm. 1255
[6] Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī al-Naysābūrī, Ṣaḥīḥ Muslim, ed. Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī, jil. 4 (Kairo: Maṭba’at ‘Īsā al-Bābī al-Ḥalabī wa Shurakāh, 1955), hlm. 2056

