web stats
Home » Ta’sis Sirah Nabawiyah dalam Risalah Islam Berkemajuan: Sebuah Fondasi yang Imperatif

Ta’sis Sirah Nabawiyah dalam Risalah Islam Berkemajuan: Sebuah Fondasi yang Imperatif

by Redaksi
0 comment

Oleh KH. Asep Sobari, Lc. (Founder Sirah Community Indonesia)

Pendahuluan: Memaknai ‘Ta’sis’ dalam Konteks Sirah

Istilah ‘ta’sis’ yang berarti ‘peletakan asas’ atau ‘fondasi’ sengaja dipilih untuk menegaskan bahwa posisi Sirah Nabawiyah dalam memahami Risalah Islam Berkemajuan bukanlah posisi sekunder atau komplementer (pelengkap) semata. Ia adalah landasan filosofis, metodologis, dan operasional yang fundamental. Sirah Nabawiyah, dalam perspektif ini, dipandang sebagai pengejawantahan paling sempurna dari seluruh ajaran Islam yang telah diridhai Allah. Hal ini sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu” (QS Al-Maidah: 3). Keredhaan Allah terhadap Islam tidak hanya tertuju pada kumpulan teks wahyu semata, melainkan pada bagaimana teks-teks suci tersebut diwujudkan secara nyata, utuh, dan sempurna dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya. Inilah hakikat dan esensi dari Sirah Nabawiyah.

Penting untuk ditekankan bahwa Sirah Nabawiyah bukan sekadar biografi individu Nabi Muhammad semata. Ia adalah narasi kolektif yang mencakup perjalanan Rasulullah bersama para sahabatnya. Mustahil memahami Sirah dengan benar tanpa menyertakan para sahabat sebagai unsur integral dan sentral dalam perjalanan dakwah Islam. Dengan mengangkat Sirah, sesungguhnya kita mengangkat pelaksanaan kolektif Islam itu sendiri. Keutuhan inilah yang kemudian membentuk Sirah Nabawiyah sebagai sebuah paket utuh yang komprehensif.

Sirah Nabawiyah sebagai Pisau Bedah: Melampaui Dhahirah menuju Ayat

Secara operasional, Sirah Nabawiyah dapat difungsikan sebagai pisau bedah (analytical tool) untuk membaca realitas apa pun, termasuk Risalah Islam Berkemajuan. Pendekatan ini lahir dari interaksi intensif dengan materi Sirah selama puluhan tahun dan terinspirasi dari metodologi yang dikembangkan oleh para ulama seperti Prof. Akrom Umari. Kunci dari pendekatan ini adalah tidak berhenti pada aspek dhahirah (permukaan) Sirah, yaitu sekadar kumpulan data, kronologi, dan peristiwa historis belaka.

Di balik dhahirah tersebut, terdapat lapisan makna yang lebih dalam, yang disebut sebagai ayat (tanda atau isyarat mendalam). Ayat inilah yang menjawab pertanyaan ‘mengapa’ suatu peristiwa terjadi dan ‘mengapa’ suatu keputusan diambil. Dalam Sirah terkandung maqashid (tujuan-tujuan syar’i), ma’ani (makna-makna filosofis), qiyam (nilai-nilai fundamental), dan mitsal (model ideal) dalam segala aspek kehidupan. Dengan cara pandang seperti inilah Sirah dapat menjadi landasan berpikir dan instrumen analisis untuk membedah fenomena kehidupan kontemporer. Rasulullah shallallahu ‘alhi wasallam memang telah ditetapkan oleh Allah sebagai uswah hasanah (teladan paripurna) yang bersifat general dan universal untuk semua aspek kehidupan (QS Al-Ahzab: 21). Oleh karena itu, tidak ada satu pun aspek kehidupan—mulai dari lingkungan, ekonomi, sosial, hingga hubungan antarbangsa—yang tidak dapat dirujuk kepada Sirah, asalkan kita mampu menggali qiyam dan maqashid-nya, bukan hanya terpaku pada dhahirah-nya.

Urgensi Sirah Nabawiyah sebagai Asas bagi Risalah Islam Berkemajuan

Lantas, seberapa mendesak penempatan Sirah Nabawiyah sebagai asas bagi Risalah Islam Berkemajuan? Jawabannya sangat mendesak dan imperatif. Merujuk pada naskah Risalah Islam Berkemajuan Muhammadiyah, misalnya pada tujuan pertamanya: “Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam kepada penduduk Bumi Putra di dalam daerah Yogyakarta”. Kata “pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad” mustahil dipahami hanya sebagai transfer teks-teks Al-Qur’an dan Hadits semata. Ajaran Rasul adalah suatu kesatuan utuh yang mencakup bagaimana teks-teks tersebut diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, Sirah Nabawiyah adalah alat (tool) yang mutlak harus disertakan untuk mengoperasionalkan tujuan tersebut.

Contoh lain, dinyatakan bahwa keunggulan umat Islam harus bermakna bagi kemajuan bangsa dan umat manusia sebagai perwujudan risalah Nabi. Untuk mewujudkan risalah Nabi di zaman sekarang, kita mustahil mengabaikan model perwujudannya yang pertama dan orisinal, yaitu yang tercatat dalam Sirah Nabawiyah. Sirah adalah modal dasar dan konstruk asli yang telah ada. Mengabaikannya berarti membangun konstruk baru yang bisa jadi tercerabut dari akarnya. Istilah “membumikan Al-Qur’an” pun menjadi kurang tepat, karena Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah bersifat aplikatif. Pembumiannya yang pertama dan paling sempurna justru terjadi dalam kehidupan Rasulullah. Beliau adalah khuluqul Qur’an (budi pekerti Al-Qur’an yang berjalan). Bahkan dalam kapasitas kemanusiaannya (basyariyah) yang mungkin melakukan kekeliruan, beliau langsung ditegur oleh wahyu (seperti dalam QS At-Tahrim: 1), menunjukkan bagaimana wahyu senantiasa membingkai dan mengoreksi praktik nyata kehidupan. Inilah esensi Sirah yang menjadi rujukan imperatif.

Islam Berkemajuan sebagai Cara Pandang dan Peran Sirah di Dalamnya

Islam Berkemajuan, sebagaimana dipahami dari teks Risalah, pada hakikatnya adalah sebuah cara pandang (worldview) bahwa Islam adalah agama yang membawa kemajuan dalam segala aspek kehidupan. Sebagai sebuah cara pandang, ia harus bersumber dari cara pandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kehidupan itu sendiri. Cara pandang beliau terhadap kekuasaan, ekonomi, sosial, dan lainnya terlihat jelas dan konsisten dalam Sirah.

Sebagai ilustrasi, cara pandang Rasulullah tentang kekuasaan sangatlah jelas. Sejak di Makkah, beliau menolak tawaran kekuasaan dan kekayaan dari para pembesar Quraisy. Di Madinah, ketika Musailimah al-Kadzdzab meminta diangkat sebagai suksesor, Rasulullah menegaskan bahwa kekuasaan adalah anugerah Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki (QS Ali ‘Imran: 26), bukan hasil negosiasi atau penunjukan sepihak. Proses suksesi dari Abu Bakar kepada Umar pun bukanlah ta’yin (penunjukan langsung) melainkan tarsyih (pencalonan) yang kemudian harus disahkan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi (dewan syura) dan dibaiat oleh masyarakat. Ini menunjukkan cara pandang yang sangat modern tentang legitimasi kekuasaan yang bertumpu pada musyawarah dan kerelaan rakyat, bukan pemaksaan.

Demikian pula cara pandang Islam tentang ekonomi. Kepemilikan dalam Islam bersifat sakral dan tidak dapat dialihkan kecuali melalui mekanisme syar’i dan asas kerelaan. Pungutan wajib dari negara sangat dibatasi, bahkan untuk zakat pun besarnya proporsional dan ringan. Ekonomi Islam lebih menekankan pada anjuran (targib) seperti sedekah, infak, dan wakaf yang didorong oleh stimulasi pahala, bukan pemaksaan. Ini semua menunjukkan cara pandang yang khas yang hanya dapat dipahami secara utuh melalui studi Sirah.

Tauhid sebagai Jauhar: Menghubungkan Sirah dengan Realitas Kontemporer

Karakter pertama Risalah Islam Berkemajuan adalah berlandaskan tauhid. Namun, tauhid harus dipahami bukan sekadar konsep teologis, melainkan sebagai jauhar (substansi ontologis) yaitu hubungan ‘ubudiyyah (penghambaan) manusia hanya kepada Allah. Segala pemikiran, keputusan, dan tindakan manusia tidak boleh keluar dari makna penghambaan ini. Inilah yang menafikan sekularisasi dan dikotomi dunia-akhirat.

Dalam praktiknya, operasionalisasi tauhid adalah hidup selaras dengan sunnatullah, yang mencakup sunnah syar’iyyah (hukum syariat) dan sunnah kauniyyah (hukum alam/sosial). Relasi manusia dengan unsur-unsur wujud pun harus jelas: menghamba kepada Allah, berinteraksi dengan sesama manusia berdasarkan ‘adl wa ihsan (keadilan dan kebaikan), memanfaatkan alam semesta dengan prinsip taskhir (pemanfaatan teratur untuk kemaslahatan), memandang kehidupan sebagai ujian, dan memandang akhirat sebagai tempat pertanggungjawaban.

Konsekuensinya, kemuliaan manusia tidak diukur dari kekayaan atau jabatan duniawi, tetapi dari bagaimana ia menyikapi apa yang dimiliki dan bagaimana ia bertindak. Paradigma jahiliah yang mengaitkan kehormatan dengan kekayaan semata adalah syirik yang harus didekonstruksi. Capaian gerakan Islam, termasuk Muhammadiyah, harus diukur dengan neraca akhirat, bukan sekadar indikator material duniawi. Inilah pelajaran mendalam yang digali dari Sirah kehidupan para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar yang memimpin dengan kerendahan hati dan kesadaran penuh akan pertanggungjawaban di akhirat.

Sumber Al-Qur’an dan Sunnah: Ke mana tanpa Sirah?

Karakter kedua Risalah Islam Berkemajuan adalah bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Poin ini justru semakin mengukuhkan urgensi Sirah Nabawiyah. Mustahil memahami Al-Qur’an dan Sunnah secara utuh tanpa merujuk pada Sirah, karena Sirah adalah realitas empiris dari kedua sumber tersebut. Sirah memberikan big picture yang menghidupkan teks-teks suci dan menjadikannya relevan untuk konteks apa pun. Ittiba’ (mengikuti) Rasul tidak mungkin dilakukan tanpa memahami perjalanan hidup beliau secara komprehensif.

Ijtihad, Tajdid, dan Wasathiyyah: Melihat Sirah sebagai Inspirasi Dinamis

Karakter ketiga dan keempat adalah menghidupkan ijtihad dan tajdid serta mengembangkan wasathiyyah (moderasi). Ijtihad adalah keniscayaan dalam merespons sunnatullah yang terus menciptakan hal-hal baru (khalqun jadid). Namun, ijtihad yang dimaksud bukanlah penggunaan akal bebas (‘aql mujarrad), melainkan akal yang terarah dan terkoreksi oleh wahyu (al-‘aql al-musaddad). Model ijtihad Mu’adz bin Jabal—yang merujuk kepada Al-Qur’an, Sunnah, dan kemudian ra’yu (ijtihad akal)—menjadi contoh abadi dari metode ini. Sirah memberikan banyak contoh bagaimana Rasulullah dan para sahabat melakukan ijtihad dalam situasi baru.

Tajdid (pembaruan) pun bukanlah modernisasi sekuler, melainkan upaya menghidupkan kembali ruh Islam dengan menjawab tantangan zaman berdasarkan nilai-nilai dasar yang abadi. Semangat hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah adalah contoh tajdid yang sempurna: sebuah lompatan strategis untuk mewujudkan nilai-nilai Islam secara kolektif dalam sebuah tatanan sosial-politik yang maju, bukan sekadar pelarian. Dalam waktu relatif singkat, Madinah berubah dari kota kecil menjadi pusat peradaban baru yang disegani. Ini adalah bukti nyata dari Islam yang berkemajuan.

Wasathiyyah (moderasi) juga tercermin dalam seluruh sirah Nabi, yang menolak ekstremitas dan selalu mencari jalan tengah yang adil dan bermaslahat.

Penutup: Sirah Nabawiyah sebagai Ruh yang Menghidupkan

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa Sirah Nabawiyah bukanlah lampiran atau pelengkap dalam diskursus Risalah Islam Berkemajuan. Ia adalah fondasi (ta’sis), pisau bedah, sekaligus ruh yang menghidupkan. Risalah Islam Berkemajuan akan kehilangan roh otentisitasnya jika tercerabut dari akar Sirah Nabawiyah. Memahami Sirah dengan pendekatan yang tepat melampaui dhahirah menuju ayat—akan membuka khazanah pengetahuan dan pedoman yang tidak pernah kering untuk menjawab tantangan zaman mana pun. Pada akhirnya, mengokohkan Sirah Nabawiyah sebagai landasan berarti menjaga dan menguatkan misi Muhammadiyah untuk konsisten berkemajuan dalam kerangka berpikir dan bergerak yang otentik, relevan, dan membawa rahmat bagi semesta.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00